Nah, itulah tepatnya yang dimaksud oleh Kant ketika dia menyatakan bahwa ada kondisi-kondisi tertentu yang mengatur cara kerja pikiran dan memengaruhi cara kita memandang dunia.
Apapun yang kita lihat pertama-tama akan dianggap sebagai fenomena dalam ‘waktu’ dan ‘ruang’. Kant menyebut waktu dan ruang itu adalah dua ‘bentuk intuisi’ kita. Dia menekankan bahwa kedua ‘bentuk’ ini dalam pikiran kita mendahului setiap pengalaman.
Dalam artian lain, kita dapat mengetahui sebelum kita mengalami sesuatu bahwa kita akan menganggapnya sebagai fenomena dalam waktu dan ruang, karena kita tak dapat melepaskan ‘pandangan’ atau ‘kacamata’ akal.
Apa yang kita lihat mungkin bergantung pada apakah kita dibesarkan di Amerika atau Indonesia, namun apapun kita, kita memandang dunia sebagai serangkaian proses dalam waktu dan ruang, dan kita dapat mengetahuinya sebelum mengalaminya.
Waktu dan ruang itu tidak ada sebelum diri kita sendiri. Kant berpendapat bahwa waktu dan ruang termasuk pada kondisi manusia. Waktu dan ruang adalah cara pandang dan bukan properti dunia fisik.
Ini adalah cara yang benar-benar baru dalam dalam memandang segala sesuatu, karena pikiran manusia tidak hanya menerima sensasi dari luar pikirannya. Pikiran meninggalkan jejaknya pada cara kita memahami dunia. Kita dapat membandingkannya dengan apa yang terjadi ketika kita menuangkan air ke dalam gayung berbentuk trapesium. Bentuk air mengikuti bentuk gayung tersebut. Begitu pula cara persepsi kita menyesuaikan diri dengan ‘bentuk-bentuk intuisi’ kita.
Kant menyatakan jika bukan hanya pikiran yang menyesuaikan diri dengan segala sesuatu, segala sesuatu itu sendiri menyesuaikan diri dengan pikiran.
Begitulah bagaimana dia dapat menyatakan bahwa kaum rasionalis dan kaum empirisis sama-sama benar sampai titik tertentu. Kaum rasionalis hampir melupakan makna penting dari pengalaman, dan kaum empirisis telah memandang sebelah mata terhadap pengaruh pikiran dengan cara kita memandang dunia.
Walaupun akal manusia memiliki kerangka pikiran yang sama, namun setiap bangsa mempunyai pengalaman empiris yang berbeda. Atas dasar itu, Immanuel Kant memandang perlunya pendirian sebuah Liga Bangsa-Bangsa, sebagai wadah untuk bertemunya bangsa-bangsa dalam upaya menjaga dan mewujudkan perdamaian dunia. Dalam risalah miliknya yang berjudul “Perpetual Peace”, dia menulis bahwa semua negara hendaknya bersatu dalam sebuah Liga Bangsa-Bangsa yang nantinya menjamin kehidupan bersama yang damai di antara berbagai bangsa.
Lalu setelah 125 tahun risalahnya diterbitkan, didirikan Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1795 setelah Perang Dunia Pertama. Liga itu digantikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) yang didirikan pada tahun 1945 setelah Perang Dunia Kedua.
Jadi, dapat dikatakan bahwa Immanuel Kant merupakan Bapak dari gagasan PBB. Meskipun jalan menuju berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa itu sangat berat, sudah menjadi kewajiban kita untuk bekerja demi “pemeliharaan perdamaian yang universal dan abadi”.