Mohon tunggu...
Hilwa HafizhaTajalla
Hilwa HafizhaTajalla Mohon Tunggu... Lainnya - "Indonesia tak tersusun dari batas peta, tapi gerak dan peran besar kaum muda." -Najwa Shihab

Mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi yang tertarik dengan public speaking, seni, bahasa, dan tentunya tulisan maupun karya sastra.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Immanuel Kant, Seorang Filosof dan Bapak dari Gagasan Perserikatan Bangsa-bangsa

15 Maret 2021   21:30 Diperbarui: 15 Maret 2021   21:32 2229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hai semuanya! Kali ini saya akan membahas topik yang bisa dibilang lebih mengedukasi dari bahasan-bahasan sebelumnya. Saya akan membahas tentang satu tokoh yang namanya terukir dalam sejarah filsafat, Immanuel Kant.

Ada dua jenis filosof, yang pertama adalah orang yang mencari jawaban sendiri bagi pertanyaan-pertanyaan filosofis, dan yang kedua adalah orang yang ahli dalam sejarah filsafat namun tidak menyusun filosofinya sendiri.

Immanuel Kant merupakan keduanya. Kant memiliki landasan yang kuat dalam tradisi filsafat dari masa lalu. Kant dapat dibilang akrab dengan rasionalisme milik Descartes dan Spinoza, dan empirisisme milik Locke, Berkeley, dan Hume yang merupakan filosof terdahulu.

Immanuel Kant lahir pada tahun 1724 di kota bernama Konigsberg yang berada di Prusia Timur. Kant merupakan putra dari seorang pembuat pelana kuda. Dia tinggal di sana praktis sepanjang hidupnya sampai dia meninggal pada usia delapan puluh tahun.

Kant terlahir dari keluarga yang sangat religius, dan keyakinan agamanya sendiri menjadi latar belakang penting bagi filosofinya. Dia merasa bahwa untuk melestarikan dasar-dasar kepercayaan Kristiani sangatlah penting.

Kaum rasionalis percaya bahwa dasar dari seluruh pengetahuan manusia berada di dalam pikiran. Sedangkan kaum empiris percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indra. Bahkan Hume, salah satu filosof terdahulu, mengemukakan jika terdapat batasan-batasan jelas tentang kesimpulan-kesimpulan mana yang dapat kita ambil melalui persepsi indra kita.

Lalu, yang manakah yang disetujui oleh Kant? Jawabannya adalah, Kant menganggap bahwa kedua pandangan tersebut benar sebagian, namun juga sama-sama salah sebagian. Kant beranggapan bahwa baik ‘indra’ maupun ‘akal’ sama-sama memainkan peranan dalam konsepsi kita mengenai dunia, namun dia beranggapan kaum rasionalis melangkah terlalu jauh dalam pernyataan mereka tentang seberapa banyak akal yang dapat memberikan sumbangan, dan juga kaum empirisis memberikan tekanan terlalu besar pada pengalaman indra.

Dalam titik tolaknya, Kant setuju dengan Hume dan kaum empirisis bahwa seluruh pengetahuan kita tentang dunia berasal  dari indra kita. 

Namun, dalam akal kita juga terdapat faktor-faktor pasti yang menentukan ‘bagaimana’ kita memandang dunia di sekitar kita. Dengan kata lain, terdapat kondisi-kondisi tertentu dalam pikiran manusia yang turut menentukan konsepsi kita terhadap dunia.

Oke, mari kita beri contoh kecil. Bayangkan jika kalian memakai kacamata yang lensanya dilapisi kertas mika berwarna biru. Begitu kalian melihat ke sekeliling, semua yang terlihat oleh mata kalian menjadi warna biru. Warna-warna benda yang terang menjadi warna biru muda, sedangkan benda-benda dengan warna gelap menjadi biru tua.

Mengapa demikian? Itu karena kacamata yang kalian pakai ini membatasi cara kalian melihat realitas. Segala sesuatu yang kalian lihat merupakan bagian dari dunia sekeliling kalian, tapi ‘bagaimana’ kalian melihatnya ditentukan oleh kacamata yang kalian pakai. Kalian tidak dapat mengatakan bahwa dunia itu biru meskipun kalian melihatnya seperti itu.

Nah, itulah tepatnya yang dimaksud oleh Kant ketika dia menyatakan bahwa ada kondisi-kondisi tertentu yang mengatur cara kerja pikiran dan memengaruhi cara kita memandang dunia. 

Apapun yang kita lihat pertama-tama akan dianggap sebagai fenomena dalam ‘waktu’ dan ‘ruang’.  Kant menyebut waktu dan ruang itu adalah dua ‘bentuk intuisi’ kita. Dia menekankan bahwa kedua ‘bentuk’ ini  dalam pikiran kita mendahului setiap pengalaman.

Dalam artian lain, kita dapat mengetahui sebelum kita mengalami sesuatu bahwa kita akan menganggapnya sebagai fenomena dalam waktu dan ruang, karena kita tak dapat melepaskan ‘pandangan’ atau ‘kacamata’ akal.

Apa yang kita lihat mungkin bergantung pada apakah kita dibesarkan di Amerika atau Indonesia, namun apapun kita, kita memandang dunia sebagai serangkaian proses dalam waktu dan ruang, dan kita dapat mengetahuinya sebelum mengalaminya.

Waktu dan ruang itu tidak ada sebelum diri kita sendiri. Kant berpendapat bahwa waktu dan ruang termasuk pada kondisi manusia. Waktu dan ruang adalah cara pandang dan bukan properti dunia fisik.

Ini adalah cara yang benar-benar baru dalam dalam memandang segala sesuatu, karena pikiran manusia tidak hanya menerima sensasi dari luar pikirannya. Pikiran meninggalkan jejaknya pada cara kita memahami dunia. Kita dapat membandingkannya dengan apa yang terjadi ketika kita menuangkan air ke dalam gayung berbentuk trapesium. Bentuk air mengikuti bentuk gayung tersebut. Begitu pula cara persepsi kita menyesuaikan diri dengan ‘bentuk-bentuk intuisi’ kita.

Kant menyatakan jika bukan hanya pikiran yang menyesuaikan diri dengan segala sesuatu, segala sesuatu itu sendiri menyesuaikan diri dengan pikiran.

Begitulah bagaimana dia dapat menyatakan bahwa kaum rasionalis dan kaum empirisis sama-sama benar sampai titik tertentu. Kaum rasionalis hampir melupakan makna penting dari pengalaman, dan kaum empirisis telah memandang sebelah mata terhadap pengaruh pikiran dengan cara kita memandang dunia.

Walaupun akal manusia memiliki kerangka pikiran yang sama, namun setiap bangsa mempunyai pengalaman empiris yang berbeda. Atas dasar itu, Immanuel Kant memandang perlunya pendirian sebuah Liga Bangsa-Bangsa, sebagai wadah untuk bertemunya bangsa-bangsa dalam upaya menjaga dan mewujudkan perdamaian dunia. Dalam risalah miliknya yang berjudul “Perpetual Peace”, dia menulis bahwa semua negara hendaknya bersatu dalam sebuah Liga Bangsa-Bangsa yang nantinya menjamin kehidupan bersama yang damai di antara berbagai bangsa.

Lalu setelah 125 tahun risalahnya diterbitkan, didirikan Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1795 setelah Perang Dunia Pertama. Liga itu digantikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) yang didirikan pada tahun 1945 setelah Perang Dunia Kedua.

Jadi, dapat dikatakan bahwa Immanuel Kant merupakan Bapak dari gagasan PBB. Meskipun jalan menuju berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa itu sangat berat, sudah menjadi kewajiban kita untuk bekerja demi “pemeliharaan perdamaian yang universal dan abadi”.

Didirikannya liga semacam itu merupakan tujuan jangka panjang bagi Kant, dan kita dapat mengatakan bahwa itu merupakan tujuan tertinggi filsafat.

Dan terbukti hingga sekarang pemikiran Kant tersebut adalah benar, karena Perserikatan Bangsa-Bangsa masih beroperasi dan semakin berkembang dan sangat diperlukan bagi warga dunia hingga saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun