Mohon tunggu...
Hilmi Inaya
Hilmi Inaya Mohon Tunggu... Penulis - connect with me: hilmiinaya4@gmail.com

Write what do you want, what do you think, what do you feel, and enjoy it

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Refleksi Hantu Kuntilanak dalam Budaya Patriarki

12 Oktober 2023   14:41 Diperbarui: 13 Oktober 2023   13:19 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://i.ytimg.com/vi/CVJMl0vpu-Q/maxresdefault.jpg

Hantu Kuntilanak digambarkan dengan perempuan berwajah cantik jelita, berambut hitam panjang, serta memakai gaun warna putih/merah. Kuntilanak juga digambarkan dengan sosok perempuan yang mempunyai masa lalu kelam, sehingga ia menjelma menjadi Kuntilanak. Namun, pernahkah kita berpikir mengapa pembahasan mengenai hantu Kuntilanak banyak ditemukan, baik di konten-konten youtube, cerita-cerita tongkrongan warkop, pembahasan thread horor twitter, dan lain sebagainya.

Nah, mari cek beranda dan history youtube. Apakah ada di antara pembaca yang merupakan penggemar akun youtube Jurnal Risa, Kisah Tanah Jawa, Diary Mistry Sara, dan akun lain yang serupa? Akun-akun youtube tersebut juga banyak membahas hantu perempuan/Kuntilanak serta mengangkat isu perempuan di Indonesia melalui penuturan kisah dengan cara mediasi antara crew dan hantu perempuan mengenai masa lalu mereka. Ada perempuan bunuh diri karena ditinggal pacar saat hamil karena tak kuasa menanggung malu.

Ada perempuan yang terbunuh dalam kasus KDRT oleh suaminya. Ada pula perempuan yang mengalami kekerasan dalam pacaran sampai terbunuh. Ada juga yang terus menerus mengalami kekerasan seksual oleh orang terdekat dan menganggap dirinya sendiri tidak layak. Bahkan ada juga perempuan yang terbunuh dalam perdagangan manusia. Miris bukan? Penuturan kisah pengalaman hantu perempuan tersebut merupakan refleksi dari banyaknya ketimpangan gender yang terjadi pada perempuan, bahkan hingga saat ini.

Mengapa rentetan kasus Perempuan tidak habisnya terjadi? Mengapa Perempuan banyak yang menjadi korban? Mengapa seolah tidak ada tempat aman bagi perempuan? Seyogyanya, kita bergembira dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual setelah bertahun-tahun perjuangan pengesahan UU tersebut. Akan tetapi, perjuangan aktivis Perempuan tidak hanya terhenti dengan disahkannya UU PKS, tapi bagaimana membaca dan membunyikan UU tersebut melalui moral reading. Sehingga dapat tercerna dalam setiap perilaku Aparat Hukum dan Masyarakat yang tidak bias gender. Melalui moral reading, maka akan didapat nilai-nilai penghormatan dan penghargaan terhadap kehendak, pendapat, pengalaman perempuan, dan tubuh perempuan.

Penyebab umum dalam beberapa isu perempuan di atas karena masih tertanamnya budaya patriarki dalam lapisan masyarakat, baik patriarki dalam doktrin agama, budaya patriarki dalam sosial masyarakat, budaya patriarki dalam ekonomi kapitalis, patriarki dalam penegakan hukum di Indonesia (hukum yang kelaki-lakian).

Pada level awal, nilai-nilai doktrin patriarki tertanam dalam lingkungan keluarga. Seperti, anak perempuan diarahkan untuk bermain boneka, masak-masakan, rias-riasan. Sedangkan anak laki-laki bermain bola, berlari, serta larangan tidak boleh menangis. Anak bertumbuh kembang melalui nilai-nilai yang diajarkan oleh suatu keluarga. Jika anak yang setiap hari melihat ayahnya membentak ibunya, maka akan menganggap hal tersebut wajar dilakukan. Anak yang setiap hari melihat perbedaan pekerjaan berdasarkan doktrin gender, maka akan memiliki nilai-nilai seperti: perempuan tidak harus berpendidikan tinggi, karena kodrat perempuan hanya pada dapur yaitu memasak dan melayani suami. Pendidikan dasar dalam keluarga berpengaruh terhadap pola pikir dan perkembangan anak.

Budaya patriarki yang tertanam sejak dini dipengaruhi pula oleh lingkungan budaya masyarakat setempat. Lingkungan sekitar turut berpotensi melanggengkan budaya patriarki. Masyarakat suatu desa jika beranggapan anak telah berumur 17 tahun, namun belum menikah maka akan dijuluki perawan tua atau Perempuan tidak laku. Sehingga anak perempuan berlomba-lomba untuk menikah pada usia anak. Padahal pernikahan pada usia anak akan membahayakan aspek tubuh perempuan, reproduksi perempuan, berkurangnya kesempatan pendidikan, rentannya aspek kesehatan dan ekonomi. Budaya tersebut tanpa sadar telah menjadikan perempuan sebagai second sex. 

Perempuan dinomorduakan dalam berbagi aspek. Karena cita-cita utama mereka diarahkan untuk menikah dengan pria idaman seperti imajinasi cerita princess dalam film Disney. Sehingga perempuan sejak kecil terkungkung dengan tidak dapat mengembangkan bakat dan potensi, serta terbatasi aksesnya dalam ranah publik.

Kesadaran masyarakat yang menilai perempuan sebagai second sex, akan menimbulkan dampak yang signifikan bagi perempuan, seperti:

  • Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)

Akhir-akhir ini KDRT diberitakan marak sekali. Baik kekerasan secara fisik maupun psikis. Kekerasan tersebut seperti bom waktu yang menunggu dengan berakhirnya nyawa korban jika tidak segera ditangani dan mendapat tempat aman. Herannya, masih saja terdapat orang yang berpendapat "ini kan salah korban, udah tau toxic kok malah tetep aja mau dan gak menjauh".

Menurut perspektif korban, maka dapat melihat bahwa pola kekerasan yang terjadi secara berulang bisa terjadi karena adanya ancaman yang membuat korban tidak berdaya, tidak adanya rumah aman bagi korban untuk bercerita, perilaku manipulatif pelaku yang mengatakan akan berubah, ketidakberdayaan ekonomi, dan lain sebagainya. Perlu diingat bahwa kekerasan dilakukan sebagai upaya penundukan dengan mengatur dan mengendalikan korban dengan ancaman dan intimidasi. Kekerasan dilakukan untuk melanggengkan relasi kuasa pelaku.

Dalam perspeketif gender, KDRT disebabkan karena nilai yang mengatakan bahwa perempuan harus melayani laki-laki, perempuan harus tunduk kepada laki-laki, karena perempuan adalah second sex. Dalam suatu hubungan ideal (menurut budaya patriarki) laki-laki adalah pelindung, sedangkan perempuan adalah makhluk yang harus dilindungi. Hal ini mengindikasikan anggapan perempuan yang tidak berdaya dan rentan, sehingga perlu dilindungi. Anggapan perempuan adalah makhluk rentan, dapat membatasi akses perempuan ke publik, seperti "perempuan jangan sekolah jauh-jauh, nanti tidak bisa dijagain," "perempuan jangan kuliah, nanti semaunya sendiri." Hal-hal tersebut, membatasi akses perempuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. 

Seringkali KDRT dianggap masalah pribadi/privasi masing-masing keluarga/domestic violance. Padahal KDRT adalah masalah publik, di mana masyarakat turut memberikan ruang aman bagi korban. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyatakan dengan jelas bahwa masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya dalam Pasal 15 dijelaskan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a. mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. memberikan perlindungan kepada korban; c. memberikan pertolongan darurat; dan d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. Dengan banyaknya kasus KDRT yang berujung kematian, maka sudah seyogyanya Kepolisian setempat tidak lagi abai terhadap laporan masyarakat dan memberikan perlindungan terbaik bagi korban.

Pada jenjang pernikahan, terdapat doktrin agama yang tertuang dalam Pasal 79 Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Sekilas maka pasal ini terasa biasa saja. Akan tetapi ternyata pasal ini mempunyai dampak yang besar terhadap kesempatan akses perempuan teradap ranah publik. Pasal ini tidak saja membatasi ruang gerak bagi Perempuan, melainkan juga menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dalam pekerjaan. Ditafsirkan dari pasal 79 bahwa istri adalah ibu rumah tangga. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pekerjaan utama istri adakah ibu rumah tangga. Sehingga jika istri bekerja hanya dianggap sebegai pelengkap/membantu tugas suami. Dengan begitu, banyak instansi lembaga yang meniadakan tunjangan kesehatan bagi perempuan dan anak perempuan bekerja. Karena perempuan dinilai telah mendapat tunjangan kesehatan melalui pekerjaan suami. Lantas bagaimana dengan ibu yang bekerja sebagai single parent dan menghidupi anak-anaknya seorang diri? Tidak berhenti disitu saja, perempuan yang bekerja dianggap tidak becus dan merepotkan karena berposisi sebagai ibu. Maka tak ayal jika banyak perempuan yang tidak dapat menduduki jabatan teratas dalam sektor publik. Tak ayal jika banyak perempuan yang tidak dihargai dalam pekerjaannya. 

  • Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual marak sekali terjadi, bahkan pelaku adalah orang-orang terdekat dengan korban. Kekerasan seksual dalam Pasal 4 UU 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyebutkan Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas: pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, kekerasan seksual berbasis elektronik, perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap Anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban, pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan maraknya kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan, maka mengindikasikan sempitnya ruang aman bagi perempuan. Ketika korban melapor pada aparat setempat, maka yang ditanyakan justru menyudutkan korban, seperti: "salah sendiri perempuan ngapain pulang malam-malam," "lha saat itu kamu pakai baju pendek?" "coba saya lihat dulu ada gak videonya", pertanyaan-pertanyaan seksis aparat kepada korban malah menambah beban trauma korban.  Korban yang justru seharusnya mendapat perlindungan, malah mendapat makian. Pengalaman perempuan dianggap angin berlalu, sedangkan korban justru mati-matian menahan sakit psikis dan fisiknya. Tidak hanya itu, adanya labelling pada masyarakat jika perempuan mendapat musibah  kekerasan seksual maka disebut 'perempuan rusak'. Lantas di mana ruang aman bagi perempuan untuk bercerita? Ruang aman bagi perempuan untuk menuntaskan traumanya? Ruang aman bagi perempuan untuk menuntut keadilan?

Pada kesimpulan akhir, budaya patriarki perlu diperangi. Perempuan yang berjuang tidak sedang melawan laki-laki, namun melawan patriarki.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun