Mohon tunggu...
Hilmi Inaya
Hilmi Inaya Mohon Tunggu... Penulis - connect with me: hilmiinaya4@gmail.com

Write what do you want, what do you think, what do you feel, and enjoy it

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Refleksi Hantu Kuntilanak dalam Budaya Patriarki

12 Oktober 2023   14:41 Diperbarui: 13 Oktober 2023   13:19 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://i.ytimg.com/vi/CVJMl0vpu-Q/maxresdefault.jpg

Menurut perspektif korban, maka dapat melihat bahwa pola kekerasan yang terjadi secara berulang bisa terjadi karena adanya ancaman yang membuat korban tidak berdaya, tidak adanya rumah aman bagi korban untuk bercerita, perilaku manipulatif pelaku yang mengatakan akan berubah, ketidakberdayaan ekonomi, dan lain sebagainya. Perlu diingat bahwa kekerasan dilakukan sebagai upaya penundukan dengan mengatur dan mengendalikan korban dengan ancaman dan intimidasi. Kekerasan dilakukan untuk melanggengkan relasi kuasa pelaku.

Dalam perspeketif gender, KDRT disebabkan karena nilai yang mengatakan bahwa perempuan harus melayani laki-laki, perempuan harus tunduk kepada laki-laki, karena perempuan adalah second sex. Dalam suatu hubungan ideal (menurut budaya patriarki) laki-laki adalah pelindung, sedangkan perempuan adalah makhluk yang harus dilindungi. Hal ini mengindikasikan anggapan perempuan yang tidak berdaya dan rentan, sehingga perlu dilindungi. Anggapan perempuan adalah makhluk rentan, dapat membatasi akses perempuan ke publik, seperti "perempuan jangan sekolah jauh-jauh, nanti tidak bisa dijagain," "perempuan jangan kuliah, nanti semaunya sendiri." Hal-hal tersebut, membatasi akses perempuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. 

Seringkali KDRT dianggap masalah pribadi/privasi masing-masing keluarga/domestic violance. Padahal KDRT adalah masalah publik, di mana masyarakat turut memberikan ruang aman bagi korban. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyatakan dengan jelas bahwa masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya dalam Pasal 15 dijelaskan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a. mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. memberikan perlindungan kepada korban; c. memberikan pertolongan darurat; dan d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. Dengan banyaknya kasus KDRT yang berujung kematian, maka sudah seyogyanya Kepolisian setempat tidak lagi abai terhadap laporan masyarakat dan memberikan perlindungan terbaik bagi korban.

Pada jenjang pernikahan, terdapat doktrin agama yang tertuang dalam Pasal 79 Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Sekilas maka pasal ini terasa biasa saja. Akan tetapi ternyata pasal ini mempunyai dampak yang besar terhadap kesempatan akses perempuan teradap ranah publik. Pasal ini tidak saja membatasi ruang gerak bagi Perempuan, melainkan juga menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dalam pekerjaan. Ditafsirkan dari pasal 79 bahwa istri adalah ibu rumah tangga. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pekerjaan utama istri adakah ibu rumah tangga. Sehingga jika istri bekerja hanya dianggap sebegai pelengkap/membantu tugas suami. Dengan begitu, banyak instansi lembaga yang meniadakan tunjangan kesehatan bagi perempuan dan anak perempuan bekerja. Karena perempuan dinilai telah mendapat tunjangan kesehatan melalui pekerjaan suami. Lantas bagaimana dengan ibu yang bekerja sebagai single parent dan menghidupi anak-anaknya seorang diri? Tidak berhenti disitu saja, perempuan yang bekerja dianggap tidak becus dan merepotkan karena berposisi sebagai ibu. Maka tak ayal jika banyak perempuan yang tidak dapat menduduki jabatan teratas dalam sektor publik. Tak ayal jika banyak perempuan yang tidak dihargai dalam pekerjaannya. 

  • Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual marak sekali terjadi, bahkan pelaku adalah orang-orang terdekat dengan korban. Kekerasan seksual dalam Pasal 4 UU 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyebutkan Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas: pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, kekerasan seksual berbasis elektronik, perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap Anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban, pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan maraknya kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan, maka mengindikasikan sempitnya ruang aman bagi perempuan. Ketika korban melapor pada aparat setempat, maka yang ditanyakan justru menyudutkan korban, seperti: "salah sendiri perempuan ngapain pulang malam-malam," "lha saat itu kamu pakai baju pendek?" "coba saya lihat dulu ada gak videonya", pertanyaan-pertanyaan seksis aparat kepada korban malah menambah beban trauma korban.  Korban yang justru seharusnya mendapat perlindungan, malah mendapat makian. Pengalaman perempuan dianggap angin berlalu, sedangkan korban justru mati-matian menahan sakit psikis dan fisiknya. Tidak hanya itu, adanya labelling pada masyarakat jika perempuan mendapat musibah  kekerasan seksual maka disebut 'perempuan rusak'. Lantas di mana ruang aman bagi perempuan untuk bercerita? Ruang aman bagi perempuan untuk menuntaskan traumanya? Ruang aman bagi perempuan untuk menuntut keadilan?

Pada kesimpulan akhir, budaya patriarki perlu diperangi. Perempuan yang berjuang tidak sedang melawan laki-laki, namun melawan patriarki.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun