Mohon tunggu...
Hilmy Harits Putra
Hilmy Harits Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Berfikir, Membaca, Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Filsafat Islam Modern Sebagai Tawaran dan Respon Atas Kemunduran Umat Islam

19 Oktober 2024   21:11 Diperbarui: 19 Oktober 2024   21:12 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh karena itu, dalam menjawab tantangan-tantangan baru itu, umat Islam harus ikut andil dan tidak boleh berpangku tangan. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Abduh bahwa kebenaran mengenai mazhab-mazhab terdahulu harus selalu adaptif dengan perkembangan zaman. Umat Islam terdahulu selalu mengikuti mazhab-mazhab dengan taqlid, tanpa olah rasio terlebih dahulu. Seakan-akan ulama terdahulu merupakan sumber kebenaran yang final, sedangkan Abduh menolak itu. Abduh ingin pintu ijtihad dibuka kembali dengan relefansi ajaran Islam sesuai semangat zamannya.

Sir Muhammad Iqbal

Tokoh yang juga berperan dalam pembaruan Islam adalah Sir Muhammad Iqbal (1877-1938). Tokoh ini menjadi unik karena gagasan filsafat khudi-nya. Menurut Hidayatullah dalam Epistemologi Pemikiran Sir Muhammad Iqbal (2019), filsafat khudi Iqbal merupakan ego yang berupa kualitas pribadi, bersifat bebas dan mengambil bagian penting dalam kehidupan. Bagi Iqbal, khudi merupakan kemampuan individu untuk mengenali potensi dan kekuatannya sendiri dan akan memungkinkan mereka mencapai kesempurnaan sebagai manusia (insan kamil).

Ia menekankan bahwa kebangkitan atas keterpurukan umat Islam dapat diatasi dengan cara kesadaran otentifikasi diri (khudi). Umat Islam sebelum Iqbal dirasa memiliki mental yang inferior, dan suka merasa minder dengan kemajuan barat. Sehingga apa yang dilakukan umat Islam masa itu bukanlah melek realita dan bagaimana caranya agar bisa maju. Melainkan mereka malah cenderung berlari menuju sufisme asketis, yang kemudian juga dikritik Iqbal. Baginya, sufisme yang bercorak panteistik juga menjadi salah satu kemunduran umat Islam.

Iqbal menilai bahwa sufisme yang bersifat asketis hanya berorientasi pada akhirat dan penyatuan diri dengan Tuhan saja. Seakan-akan mereka tidak peduli dengan kehadiran realitas duniawi, pada masa inilah interaksi sosial-politik umat Islam tidak terurus. Bukan berarti Iqbal tidak menyukai sufisme, melainkan Iqbal mengajak orientasi teologi umat Islam tidak hanya murni persoalan akhirat. Namun juga harus sadar permasalahan masyarakat yang ada di sekitar, dalam rangka membangun peradaban Islam yang lebih adaptif dan eklektik.

Dari tiga tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan pengetahuan ajaran Islam harus dikombinasikan dengan metode rasionalitas dan pendekatan filsafat. Mereka ingin membuktikan bahwa filsafat dan sains tidak berlawanan dengan wahyu dan ajaran Islam. Lebih-lebih perpaduan keduanya menjadikan pengetahuan yang dimiliki umat Islam semakin kuat dan dapat menandingi dominasi barat sebagai peradaban yang dinilai lebih maju. Hal ini telah disampaikan oleh Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam (1930), bahwa agama lebih membutuhkan landasan rasional yang kuat daripada hanya dogma-dogma agama.

Mereka juga mengetengahkan bagaimana umat Islam dapat bersatu secara ideologi dalam upaya pembebasan dari belenggu kolonialisme. Upaya-upaya emansipatoris mereka wujudkan dalam berbagai gerakan yang bercorak sosial-politik hingga pendidikan. Pembukaan pintu ijtihad dan penolakan terhadap taqlid merupakan usaha-usaha dalam reformasi pendidikan. Secara garis besar, persoalan serupa merupakan kunci utama kaum modernis untuk mengkritik kaum tradisionalis Islam.

Kaum modernis menilai bahwa metode-metode klasik tradisionalis kurang memadai dalam menyikapi dunia teknologi, ilmu pengetahuan dan politik modern. Mereka hanya berkutat pada persoalan-persoalan internal agama semata, tanpa merespons dunia luar yang senantiasa berubah. Kaum tradisionalis dirasa terlalu dogmatis dan tidak fleksibel, sehingga usaha untuk mendobrak pintu ijtihad oleh kaum modernis sangat gencar. Modernis menilai bahwa tertutupnya pintu ijtihad menjadikan stagnasi intelektual umat Islam. Pada intinya, filsafat Islam modern merupakan usaha memaknai teologi yang bukan hanya bicara persoalan langit (hablum minallah), tetapi juga menyoroti persoalan yang lebih terkini dan mendesak (hablum minannas).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun