Islam modern mulai muncul ketika abad-19 sebagai respon dunia Islam dalam menghadapi dinamika zaman pada masa itu. Berbagai kondisi yang melatarbelakangi lahirnya filsafat Islam modern yaitu kolonialisme Eropa, modernisasi, dan keterbelakangan politik serta ekonomi. Pada masa itu, dunia Muslim mulai mengalami krisis besar akibat kekuatan Eropa yang semakin dominan secara politik, militer, dan intelektual. Selain faktor eksternal tersebut, kemunduran umat Islam juga secara tidak langsung dipengaruhi oleh runtuhnya dinasti Abbasiyah yang berdampak pada stabilitas politik umat Islam.
FilsafatPada masa itu dinasti Abbasiyah mulai diwarnai oleh konflik internal, yang menyebabkan munculnya dinasti-dinasti kecil dalam tubuh Abbasiyah. Akibatnya mempermudah kolonialisasi barat untuk menguasai daerah-daerah kecil. Di sisi lain, corak pemikiran abad Pertengahan filsafat Islam yang cenderung berorientasi pada sufisme dan teologi juga mennyumbang stagnasi pemikiran Islam. Setelah abad ke-12, pemikiran rasional filsafat mulai terdesak oleh teologi tradisional yang lebih anti terhadap filsafat, seperti yang dipelopori oleh Al-Ghazali.
Aktivitas filsafat yang berkembang pesat di era Abbasiyah mulai melemah, dan filsafat tidak lagi menjadi kekuatan intelektual dominan. Mereka kebanyakan hanya berbicara mengenai persoalan teologi, metafisika dan relasi agama dan filsafat. Oleh karenanya, kebanyakan dari mereka mengesampingkan perbincangan mengenai interaksi sosial kemasyarakatan. Lahirnnya filsafat Islam modern bertujuan untuk membalik orientasi tersebut. Yang mana lebih memunculkan unsur subjektifitas dan rasionalitas serta kehendak bebas manusia.
Menurut Khanafi dalam bukunya Filsafat Islam Pendekatan Tema dan Konteks (2019), secara praktis, kebangkitan filsafat Islam dilatarbelakangi oleh keinginan untuk melepaskan diri dari penjajahan Barat. Artinya kemerdekan dianggap sebagai entry point untuk membangun kesadaran umat dan pemikiran Islam. Pemikiran semacam ini merupakan akibat dari interaksi modernisasi Barat dan pemikiran Islam. Integrasi antara pemikiran dunia Barat dan nilai-nilai keislaman akan menjadi corak baru dalam perkembangan filsafat Islam. Semangat yang diwarisi oleh filsafat Islam modern adalah semangat rasionalisme Barat dan etika keagamaan Islam.
Filsafat Islam modern ditandai dengan bergesernya pemikiran yang bersifat teosentris ke antroposentris. Dari yang hanya bersifat teoritis menuju hal ihwal yang praktis. Karakteristik filsafat Islam dapat dilihat dari sifatnya yang berusaha menyintesiskan antara agama dan modernitas dengan menekankan rasionalitas dan sains. Selain itu juga memerhatikan keadilan sosial-politik bagi umat Islam dalam upaya pembebasan atas penindasan bangsa kolonial. Beberapa tokoh-tokoh yang terkenal menjadi tonggak awal filsafat Islam modern adalah Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh dan Sir Muhammad Iqbal.
Jamal al-Din al-Afghani
Tokoh pertama yang berani memberikan gagasan pembaruan terhadap pemikiran Islam adalah Jamal al-Din al-Afghani (1838-1897). Dalam buku Pos-Islamisme (2011), Bayat menyebut tokoh ini menjadi ulama oposisi yang bergerak dalam menandingi kemajuan Barat. Pada saat bersamaan, beberapa negara Timur Tengah saat itu sedang dalam dominasi kolonialisasi barat. Maka dari itu semangat yang mengilhami al-Afghani merupakan semangat kebangkitan umat Islam dalam wilayah sosial-politik.
Sebagaimana perjuangan politik persatuan umat Islam untuk menandingi Barat, al-Afghani mencetuskan kubu baru yang dinamakan Pan-Islamisme. Pan-Islamisme merupakan sebuah gerakan politik yang bertujuan menyatukan umat Islam tanpa sekat dalam satu semangat anti-kolonialisme. Hal ini merupakan langkah penyadaran atas kemunduran umat Islam setelah abad-12 Masehi. Jamal al-Din al-Afghani berpendapat bahwa umat Islam setelah abad-12 mengalami kemunduran karena pemikirannya yang statis (jumud), tersekat-sekat oleh perbedaan madzhab, aliran teologi dan budaya serta tutupnya pintu-pintu ijtihad.
Muhammad Abduh
Senada dengan Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh (1849-1905) sebagai tokoh reformis Islam juga menawarkan solusi atas kemunduran umat Islam. Ia menggunakan konsep rasionalisme dalam pendidikan sebagai poros utama pembaruan Islam. Penekanan terhadap akal dalam mencapai kebenaran terhadap wahyu sangat dibutuhkan. Abduh menolak taqlid dalam mencari kebenaran agama, melainkan Abduh menawarkan takwil sebagai metode dalam penafsiran teks-teks suci.
Abbas dalam Muhammad Abduh: Konsep Rasionalisme dalam Islam (2014), menggunakan konsep dwi fungsi yang mana akal dan wahyu memiliki hubungan yang erat. Akal tidak bisa tanpa wahyu, sedangkan wahyu tidak mungkin berlawanan dengan akal. Akibat dari dasar rasional yang dipakai oleh Abduh, baginya sangat diperlukan untuk membuka pintu ijtihad kembali untuk menyikapi modernitas. Tentu dalam zaman modern memiliki berbagai kebaruan teknologi dan pengetahuan yang juga menyebabkan banyaknya variasi permasalahan yang muncul.
Oleh karena itu, dalam menjawab tantangan-tantangan baru itu, umat Islam harus ikut andil dan tidak boleh berpangku tangan. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Abduh bahwa kebenaran mengenai mazhab-mazhab terdahulu harus selalu adaptif dengan perkembangan zaman. Umat Islam terdahulu selalu mengikuti mazhab-mazhab dengan taqlid, tanpa olah rasio terlebih dahulu. Seakan-akan ulama terdahulu merupakan sumber kebenaran yang final, sedangkan Abduh menolak itu. Abduh ingin pintu ijtihad dibuka kembali dengan relefansi ajaran Islam sesuai semangat zamannya.
Sir Muhammad Iqbal
Tokoh yang juga berperan dalam pembaruan Islam adalah Sir Muhammad Iqbal (1877-1938). Tokoh ini menjadi unik karena gagasan filsafat khudi-nya. Menurut Hidayatullah dalam Epistemologi Pemikiran Sir Muhammad Iqbal (2019), filsafat khudi Iqbal merupakan ego yang berupa kualitas pribadi, bersifat bebas dan mengambil bagian penting dalam kehidupan. Bagi Iqbal, khudi merupakan kemampuan individu untuk mengenali potensi dan kekuatannya sendiri dan akan memungkinkan mereka mencapai kesempurnaan sebagai manusia (insan kamil).
Ia menekankan bahwa kebangkitan atas keterpurukan umat Islam dapat diatasi dengan cara kesadaran otentifikasi diri (khudi). Umat Islam sebelum Iqbal dirasa memiliki mental yang inferior, dan suka merasa minder dengan kemajuan barat. Sehingga apa yang dilakukan umat Islam masa itu bukanlah melek realita dan bagaimana caranya agar bisa maju. Melainkan mereka malah cenderung berlari menuju sufisme asketis, yang kemudian juga dikritik Iqbal. Baginya, sufisme yang bercorak panteistik juga menjadi salah satu kemunduran umat Islam.
Iqbal menilai bahwa sufisme yang bersifat asketis hanya berorientasi pada akhirat dan penyatuan diri dengan Tuhan saja. Seakan-akan mereka tidak peduli dengan kehadiran realitas duniawi, pada masa inilah interaksi sosial-politik umat Islam tidak terurus. Bukan berarti Iqbal tidak menyukai sufisme, melainkan Iqbal mengajak orientasi teologi umat Islam tidak hanya murni persoalan akhirat. Namun juga harus sadar permasalahan masyarakat yang ada di sekitar, dalam rangka membangun peradaban Islam yang lebih adaptif dan eklektik.
Dari tiga tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan pengetahuan ajaran Islam harus dikombinasikan dengan metode rasionalitas dan pendekatan filsafat. Mereka ingin membuktikan bahwa filsafat dan sains tidak berlawanan dengan wahyu dan ajaran Islam. Lebih-lebih perpaduan keduanya menjadikan pengetahuan yang dimiliki umat Islam semakin kuat dan dapat menandingi dominasi barat sebagai peradaban yang dinilai lebih maju. Hal ini telah disampaikan oleh Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam (1930), bahwa agama lebih membutuhkan landasan rasional yang kuat daripada hanya dogma-dogma agama.
Mereka juga mengetengahkan bagaimana umat Islam dapat bersatu secara ideologi dalam upaya pembebasan dari belenggu kolonialisme. Upaya-upaya emansipatoris mereka wujudkan dalam berbagai gerakan yang bercorak sosial-politik hingga pendidikan. Pembukaan pintu ijtihad dan penolakan terhadap taqlid merupakan usaha-usaha dalam reformasi pendidikan. Secara garis besar, persoalan serupa merupakan kunci utama kaum modernis untuk mengkritik kaum tradisionalis Islam.
Kaum modernis menilai bahwa metode-metode klasik tradisionalis kurang memadai dalam menyikapi dunia teknologi, ilmu pengetahuan dan politik modern. Mereka hanya berkutat pada persoalan-persoalan internal agama semata, tanpa merespons dunia luar yang senantiasa berubah. Kaum tradisionalis dirasa terlalu dogmatis dan tidak fleksibel, sehingga usaha untuk mendobrak pintu ijtihad oleh kaum modernis sangat gencar. Modernis menilai bahwa tertutupnya pintu ijtihad menjadikan stagnasi intelektual umat Islam. Pada intinya, filsafat Islam modern merupakan usaha memaknai teologi yang bukan hanya bicara persoalan langit (hablum minallah), tetapi juga menyoroti persoalan yang lebih terkini dan mendesak (hablum minannas).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H