Mohon tunggu...
Hilmy Abyansyah
Hilmy Abyansyah Mohon Tunggu... Freelancer - -

Freelancer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Putus (Part 1)

23 Maret 2021   20:03 Diperbarui: 24 Maret 2021   08:21 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PUTUS (Part 1)

Berbicara mengenai masa putih abu tentu tidak melulu soal belajar belajar dan belajar, belajar buat UAS lah belajar buat UN lah juga jangan lupa satu...belajar mencintai dan memiliki. Begitu juga dengan Dafa, laki-laki berumur 20 tahun, remaja yang barus lulus dari salah satu SMA di Majalengka kota angin.

Oleh teman-teman sepermainannya dia lebih sering dipanggil “Gejrot”, tidak ada alasan filosofis mengapa dia dipanggil begitu, hanya karena ia sangat menyukai tahu gejrot, jajanan yang tidak absen dia beli ketika istirahat siang sebelum shalat dzuhur, lima ribu perak dengan cabe dua biji dan satu lagi “ekstra bawang". Dafa ini wajahnya susah dideskripsikan, berkacamata, cupu, dia cuma punya ciri khusus berupa luka baret di bawah telinga kirinya, sisa-sisa jatuh dari pohon jambu air 15 tahun silam. Kelakuannya itu mencla-mencle, aneh, random (lebih mirip kelakuan kucing kampung musim kawin), konyol (dominan bodoh), namun setia kawan dan setia sama pacarnya. Begitulah ketika teman-temannya disuruh menggambarkan sosok Dafa.

Kini pada bulan September 2015, di masa awal kuliahnya di Jatinangor hobinya masih sama, main ke warnet, dengan paket 2 jam seharga lima ribu perak ditambah minuman ale-ale gelas seharga 1000 perak, dia bisa menemukan kebahagiannya dengan bermain Ragnarok sampai adzan maghrib berkumandang. 

Di jalan pulang dari warnet menuju rumah (dulu) dan menuju kosan (sekarang) sembari mengendarai Suzuki Spacy 2009 berwarna hijau, dia sering mencari jati diri dengan selalu mendengarkan lagu Sheila On 7, dia suka semua lagu Sheila, namun diantara sekian banyak lagu yang dinyanyikan Mas Duta, lagu berjudul “Betapa” entah kenapa kini jadi lagu favoritnya sekaligus lagu yang paling dibencinya.

“Betapa hancurnyaaaa aaa aaa aaa aaa, hati dan jiwakuuuu”.

Lirik-lirik lagu tersebut kini begitu terpatri di ingatannya, memunculkan memori-memori indah di kepalanya, sembari bibirnya bergerak melafalkan lirik lagu yang sudah berkali-kali dia putar, tanpa sadar matanya berkaca, air matanya meluncur perlahan melewati pipinya yang sedikit berminyak, satu…dua…tiga, dia menghitung berapa kali dia mengusap ujung matanya yang basah, dan kalian tahu yang paling parah apa?

Hatinya sakit.

Ingatannya kembali ke bulan lalu, di Stasiun Kereta Api Prujakan, Cirebon.

(Dafa, Maret 2015)

Bebek, aku menyebutnya begitu, seorang perempuan yang baik hati, pintar, juga klik dengan sifat juga kelakuanku yang kata orang rada aneh. Perawakannya rata-rata, tidak terlalu tinggi, putih khas perempuan sunda, dan ketika dia tersenyum, bumi Sindang Kasih lahir. Kami satu sekolah, dan kelas kami hanya dipisahkan lapangan basket, jadi ketika istirahat siang sebelum dzuhur, aku biasa menghabiskan tahu gejrot yang kubeli bersama Bebek di pinggiran kelas, dia biasanya sengaja membeli dua botol teh pucuk harum untukku yang kepedasan karena bumbu tahu gejrot. 

Layaknya School Couple pada umumnya, sebelum pulang kami selalu nge-date di taman sekolah, dengan dalih belajar dan dengan membawa tumpukan buku yang urung kami baca, kami duduk takzim, membicarakan apa yang bisa dibicarakan, dari mulai yang membuat tertawa hingga yang membuat berkaca-kaca, dari mulai kawin-cerai artis, drama korea hingga skandal asmara terlarang guru di sekolah. Obrolan kami berakhir ketika matahari sudah mulai tumbang di cakrawala. 

Di penghujung masa SMA obrolan kami monoton, hampir semua tentang di universitas mana kami kuliah dan jurusan apa, begitupun hari itu, hari Senin yang biasa saja.

“Daf, setelah aku ngobrol sama Ayah Ibu, juga nimbang-nimbang soal biaya kuliah dan biaya hidup, aku mau kuliah di Yogya aja deh, di Psikologi UGM, keknya dari info guru BK, nilaiku udah pasti masuk tuh” sembari melempar senyum di ujung kalimat

“Hihi, cocok tuh” timpalku

“Kalau anda bagaimana Baginda Dafa Gejrot?” tanya bebek sambal tertawa

“Aku sih di Unpad aja Bek, ambil Antropologi, kata guru BK kemarin, cuma disitu jurusan yang pasti masuk, makanya mau gak mau aku ambil disitu Bek”.

“Oooh gitu ya” bibirnya sedikit manyun

“Kenapa Bek?” tanyaku penasaran

“Gak papa kok” jawab Bebek

Sejujurnya aku ingin bertanya sesuatu, tapi pertanyaan itu tak kunjung keluar dari ujung kerongkongan, tertahan oleh keraguan diriku sendiri.

Lalu kami berdua diam, menyisakan keheningan di tengah suasana sekolah yang masih agak ramai, dengan beberapa anak kelas 11 bermain basket, dan petugas kebersihan yang perlahan menyapu jalan tanah. Kepala Bebek sedikit menunduk, lalu dia menarik nafas dalam-dalam, menghirup udara hangat khas pukul tiga sore, wajahnya kusut, dan bodohnya aku tidak berani lagi bertanya, apa yang sebenarnya terlintas di kepalanya.

Percakapan di sore itu tak berkesimpulan apapun, namun aku agaknya sadar, ketika Bebek bilang “gak papa” sebenarnya banyak hal yang lalu lalang di pikiran dia. 

Setelah beberapa menit terdiam, aku memecah hening dengan mengajak Bebek pulang, dengan satu anggukan kepala, kami pun bergegas pulang. Di jalan pulang aku lebih sering memperhatikan ekspresi wajahnya yang sedikit kesal dari spion motor, dia berkali kali merapikan kerudungnya yang mencong-mencong tertabrak angin, lalu meniup-niup bagian atas kerudungnya, aku tersenyum, Bebek emang selalu begitu, gak berubah, selalu gemesin, hehehe.

Setelah mengantar Bebek pulang, sepanjang jalan aku memikirkan pertanyaan yang tak kunjung aku tanyakan di sekolah tadi, pertanyaan-pertanyaan yang tidak berani aku hadapi. 

“Bagaimana dengan hubungan ini?” ketika Bebek di Yogya dan aku di Bandung

 “apakah semua akan baik-baik saja?”

 Aku sendiri terlalu pengecut untuk mendengar jawabannya

          

Bersambung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun