Mohon tunggu...
Hilmi LasmiyatiMiladiana
Hilmi LasmiyatiMiladiana Mohon Tunggu... Guru - Laksmi Purwandita

Guru bahasa Indonesia Penulis belasan antologi bersama Penulis antologi puisi solo DARI NOL HINGGA ANANTA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Bunga untuk Ibu

4 Juni 2020   07:28 Diperbarui: 4 Juni 2020   07:25 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Rentang cakrawala biru cerah menaungi TPU Sriwedari. Semilir angin di sore itu menggoyangkan dedaunan. Sebuah hari biasa di antara gundukan tanah bernisan.

Sekuntum Kemboja mekar berseri. Daun mengerling curi pandang beberapa kali. Namun sang kembang abai tak peduli. Fokusnya pada pemandangan tak biasa di gerbang pekuburan.

Sebuah peti mati tertutup plastik digotong empat orang dengan baju tertutup seperti astronot. "Aneh, tak ada yang berpakaian hitam," benaknya bertanya.

Benaknya makin heran, ketika langkahnya makin dekat. Tak terdengar tangis atau langkah lunglai dari pengantar jenazah. Semua bergegas dengan raut datar menguburkan peti itu.

Tabur bunga tak memenuhi tanah merah, malah sekujur jenazah disemprot air berbau menyengat. Hmm ini apa? Benak Kemboja makin heran.

"Hey cantik, kok ngelamun gitu?" Lebah terbang di dekatnya. "Eh, lebah ...." Kemboja kembali pada kesadarannya.

"Pasti kamu heran, lihat kejadian ini ya?" Lebah membuka pembicaraan. Kemboja mengangguk dengan sorot penasaran.

"Tenang, nanti ini jadi biasa kok!" Lebah dengan datar menjelaskan.

"Apa, manusia sudah tak lagi bisa merasakan kehilangan?" Rona Kemboja nampak prihatin.

"Nampaknya manusia kini perlu berdamai dengan kehilangan." Lebah bergumam suaranya lirih.

"Ceritakan lebah apa yang terjadi!" Kemboja mendesak agar lebah bercerita.

"Entah aku mulai dari mana. Sebuah serangan telak telah menghantam manusia." Lebah mulai menjelaskan.

"Apakah musuhnya besar dan kuat seperti elien?" Kemboja penasaran.

Lebah menggeleng. "Justru sebaliknya ia sangat kecil tak bisa dilihat oleh mata. Ia menyerang garang lewat kerumunan."

Kemboja kaget. "Oh, ini mengapa tak ada lagi yang mengantar jenazah?"

Lebah menggangguk, " Namanya virus Corona. Ketika ia menyerang, manusia akan meninggal karena sulit bernapas. Jutaan manusia telah meninggal karenanya."

"Namanya begitu indah, namun ternyata mematikan." Kemboja bergidik.

"Nah, ia salah satu korbannya." Lebah menunjuk pada makam yang barusan dikuburkan.

***

Suasana segar pagi ini. Kemboja terbangun dari tidur panjangnya. Tersenyum pada daun dan mengucap selamat pagi pada dahan.

Suasana begitu hening. Penjual bunga dan gerombol anak peminta-minta sudah lama tak ia lihat. Mata Kemboja melihat ke arah pekuburan.

"Ini makamnya?" Sayup suara jelas menggaung di antara deretan nisan. Seorang gadis kecil berjongkok mengeja nama di makam yang dikuburkan astronot.

Seorang lelaki mendekati lalu mulai menangis. Sang gadis memeluk lelaki itu sesenggukan. "Ibu, Dede kangen ibu!" Mereka berangkulan menumpahkan kesedihan.

Kemboja muram di atas dahan. Pemandangan di depannya begitu memilukan. Berharap ia bisa mengurangi dukanya.

Lirih, Kemboja berbisik pada dirinya. Ini sudah waktunya. "Dahan terima kasih telah menjagaku ...."

Angin meniup kencang. Kuntum Kemboja meliuk berputar di udara. Jatuh tepat di telapak sang gadis kecil. Sang gadis kaget matanya membulat lalu gemintang perlahan.
"Ibu, ini bunga untuk ibu ...."

Bandung, 2 Juni 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun