KANG DADANG PASTI PULANG
Karya: Hilmi Lasmiyati Miladiana
Pagi ini kutengadah kepala menatap bentang langit. Jelas biru muda terhampar. Hari ini cerah bersit hatiku. Pakaian akan cepat kering. Lenganku mencapit pakaian basah ke tali jemuran.Â
Benakku mengembara. Biasanya ketika aku menjemur baju, kang Dadang selalu membantu mengangkat ember cucian dari kamar mandi ke teras depan. Ah ... Kapan akang pulang?
"Mah, Dede ada tugas bikin kolase pakai kacang hijau ...." Permintaan dede membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk, membelai rambut hitam Dede kemudian masuk ke dalam rumah.
Segera aku membuka pintu kamar tidur. Mencari celengan receh di atas lemari. Terdengar bunyi gemerincing ketika aku menumpahkan seluruh isi celengan ke atas lantai. Menghitung dan menumpuk uang logam satu persatu. Aku menarik nafas dalam-dalam sambil terisak. Terbayang jelas wajah Kang Dadang.Â
"Neng, Alhamdulillah akang dapat rute jauh sekarang. Jadi bayarannya lebih banyak. Besok akang berangkat ke Brawijaya. Ada tour pariwisata, penumpangnya orang bule semua. Doakan ya neng, dapat tipnya besar." Mata Kang Dadang berbinar mengabarkan itu.
Mataku basah mengingat itu, akang tidak bisa kembali pulang. Kabar terakhir yang kuterima dari PO bus tempat akang bekerja. Seluruh rombongan tour ke Brawijaya harus diisolasi karena salah seorang penumpangnya positif Corona.Â
Ini hampir 3 minggu sejak kang Dadang pergi. Persediaan uang sudah menipis. Aku pernah mencoba menawarkan jasa buruh cuci untuk menyambung hidup namun kini sudah tak laku. Mereka memilih mencuci di laundry kiloan dari pada menggunakan buruh cuci.
Kuhapus air mataku. Fokusku kembali  menghitung receh di tabungan. Kuselotip tumpukan receh itu. Alhamdulillah ada 38.000 bisa sekalian belanja buat masak hari ini. Namun bersit khawatir mengembus kencang. Ini uang terakhir, bagaimana besok? Air mataku berlinang lagi.
"De, mamah mau beli kacang hijau untuk tugasmu. Dede mau ikut ke pasar atau di rumah aja?" Â Tanyaku pada Dede yang sedang main balok di ruang tengah. Dede bergegas membereskan balok mainannya lalu ikut denganku ke pasar.
Jarak dari rumahku ke pasar hanya 3 menit berjalan kaki. Ramai sekali di sana. Aku kepit dompet di lengan sedang telapak tangan menggandeng Dede.Â