Laila dan Laili merupakan mahasiswa yang berasal dari daerah Transmigrasi di kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara, walaupun lahir dan besar di Halmahera Utara, namun keduanya bukan dari suku Tobelo-Galela, melainkan memiliki orang tua dari suku Jawa. Lantas, kenapa keduanya tidak memilih melanjutkan studi di pulau Jawa? simak cerita dari keduanya.
Laila dan Laili, lengkapnya Laila Devi Cahyanti (19) dan Laili Devi Cahyani (19), keduanya merupakan putri kembar yang saat ini tercatat sebagai mahasiswa pada fakultas tarbiyah dan ilmu keguruan (FTIK) IAIN Ternate, Maluku Utara.
Sebagai putri kembar, membuat teman-temannya sering terkecoh saat memanggil nama keduanya, lantaran memiliki wajah dan postur tubuh yang sama. Sehingga, kerap si Laila dipanggil Laili, begitupun sebaliknya.
Walaupun begitu, ada satu tanda yang dapat membedakan keduanya, yakni Laila sebagai anak pertama memiliki tahi lalat di pipi kanan tepat di bawah mata, sementara Laili tidak memiliki tanda khusus di wajahnya.
Tahi lalat tersebut sebagai penanda, sehingga dengan mudah untuk mengenali keduanya. Terlebih, Laila merupakan mahasiswa pada program studi pendidikan bahasa Arab (PBA), sementara Laili adalah mahasiswa prodi bimbingan dan konseling pendidikan Islam (BKPI),untuk itu, dengan mudah membedakan keduanya.
"Iya, terkadang teman-teman salah memanggil nama kami," ucap keduanya, di kampus IAIN Ternate, kamis (3/10/2024).
Keduanya mengisahkan, walaupun sebagai putri kembar, tapi sejak kecil hidup berpisah, lantaran sang ibu berprofesi sebagai tenaga pendidik di kecamatan Tobelo, sedangkan bapaknya merupakan seorang petani. Sementara kakek dan neneknya yang juga sebagai petani menetap di desa Toliwang kecamatan Kao Barat, Halmahera Utara.
Untuk itu sejak lahir, Laila sebagai anak pertama diboyong sang neneknya ke desa Toliwang hingga beranjak dewasa, sementara Laili tetap diasuh oleh sang ibu di kecamatan Tobelo Halmahera Utara.
Semenjak berpisah di usia balita, namun keduanya kerap dipertemukan oleh sang nenek dan ibunya, terlebih saat memasuki usia sekolah, neneknya memutuskan agar Laila harus bersekolah di kecamatan Tobelo agar bersama adiknya Laili dan sang ibunya.
"Kami sekolah di Tobelo, kemudian ibu berpindah tugas di Toliwang saat kami berada di kelas II, jadi kami pun berpindah dan melanjutkan sekolah di SD Inpres Toliwang C," kata Laila.
Sebagai anak kembar identik, tak lantas membuat keduanya memiliki kepribadian yang sama. Pasalnya, Laila sebagai anak pertama yang sejak kecil hidup bersama sang nenek, lebih cenderung pada kepribadian extrovert ketimbang sang adiknya Laili yang lebih dominan memiliki kepribadian introvert.
Walaupun lahir dan besar di kabupaten Halmahera Utara, namun kedua bukan berasal dari suku Tobelo-Galela, melainkan memiliki orangtua berasal dari suku Jawa, yang menetap di daerah transmigrasi tepatnya di desa Toliwang kecamatan Kao Barat.
"Nenek kami berasal dari Cilacap Jawa Tengah, sementara kakek kami dari Sidoarjo Jawa Timur," terang Laila.
"Kalau kakek sudah meninggal," sambung Lalili
Putri kembar dari pasangan suami-istri Umi Masriyah (38) dan Anang Junaidi (40), ini menceritakan, sejak menamatkan pendidikan dasar di SD Inpres Toliwang C, lalu keduanya melanjutkan studi di SMPN 9 di kecamatan Malifut, Halmahera Utara, kemudian melanjutkan studi di kota Tidore Kepulauan, yakni mondok di pesantren Harisul Khairaat Bumi Hijrah.
Di pesantren Harisul Khairaat Bumi Hijrah Tidore lah, keduanya mengasah bakat seni menulis kaligrafi Arab, hingga meraih juara pada event musabaqah tilawatil qur'an (MTQ) tingkat kabupaten Halmahera Utara pada 2022 lalu.
"Sebelumnya, saat bersekolah di SMPN 9 Malifut, kami berdua juga sering ikut lomba seni menulis kaligrafi Arab," ungkap keduanya
"Kalau ikut MTQ tingkat kabupaten di Tobelo, saya meraih juara I, sementara Laili juara II," imbuh Laila.
Saat menamatkan pendidikan Madrasah Aliyah pada pesantren Harisul Khairaat Bumi Hijrah Tidore, keduanya sempat berkeinginan melanjutkan studi di Pulau Jawa. Namun, kedua orangtuanya, terlebih sang neneknya berkeinginan agar keduanya harus berkuliah di Ternate.
Menurut Laili, sang neneknya memiliki alasan tersendiri dan tak mau keduanya terbang ke pulau Jawa, lantaran merasa khawatir jika keduanya jauh dari orangtua.
"Alasannya, kalau di Ternate dekat, sehingga setiap saat mereka bisa berkunjung ke Ternate, kalau ke Jawa, butuh biaya yang tak sedikit," jelas Laili.
Rupanya, ada hikmah di balik keduanya menuruti keinginan orangtua dan neneknya, lantaran saat mendaftarkan diri di IAIN Ternate, keduanya diminta untuk ikut seleksi beasiswa transmigrasi dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) RI dan berhasil lolos, sehingga berkuliah tanpa menguras kantong orangtua.
Beasiswa Transmigrasi memang diperuntukkan bagi mahasiswa yang berasal dari daerah transmigrasi, terlebih keduanya merupakan anak-anak yang menetap di daerah transmigrasi kabupaten Halmahera Utara.
Untuk itu, menurut keduanya, semenjak lolos seleksi beasiswa transmigrasi, keduanya merasa terbantukan selama menempuh studi di IAIN Ternate. Walaupun begitu, sebagai penerima beasiswa transmigrasi, dituntut harus rajin belajar, agar indeks prestasi pada setiap semester selalu memuaskan.
"Kalau persyaratan dari beasiswa transmigrasi harus memperoleh indeks prestasi semester (IPS) yakni 3,00, alhamdulillah pada semester pertama dan kedua IPS kami berdua melampaui persyaratan yang ditetapkan pihak pengelola beasiswa," kata Laila
Putri kembar kelahiran Tobelo, 25 April 2005 ini mengungkapkan, sejak resmi menerima beasiswa transmigrasi, biaya hidup keduanya tidak lagi sepenuhnya ditanggung oleh orangtua.
Sebab, mahasiswa penerima beasiswa transmigrasi, pada setiap triwulan mereka menerima bantuan studi, kondisi ini diakui keduanya sangat terbantukan untuk biaya hidup, serta membiayai segala keperluan studinya.
"Selain untuk biaya studi, bantuan yang kami terima dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari, seperti membeli makanan, buku, maupun untuk biaya membuat tugas kuliah," jelas Laila.
"Untuk sayur kami sering dikirim oleh nenek dari kampung," kata Laili.
Dengan bantuan beasiswa, keduanya mematok target menyelesaikan studi tepat pada waktu, lantaran selain ingin menuntaskan keinginan kedua orangtua, keduanya juga ingin menunjukkan kepada adik-adik maupun teman-temannya di kampung halaman, agar mereka juga berkeinginan melanjutkan studi di IAIN Ternate.
Karena menurut keduanya, beasiswa transmigrasi yang diperuntukkan khusus anak-anak yang berasal dari daerah transmigrasi, setidaknya mendorong putra putri di daerah transmigrasi untuk meraih gelar sarjana seperti anak-anak yang berasal dari daerah perkotaan.
Putri kembar berzodiak scorpio ini mengungkapkan, pada 2023 lalu saat libur kuliah, keduanya tampil mengedukasi anak-anak SD dan SMP di kampung halamannya, tentang pentingnya menimbah ilmu sampai di bangku Perguruan Tinggi.
Menurut keduanya, dengan bantuan beasiswa memberi kemudahan kepada anak-anak di daerah transmigrasi, sehingga saat terlibat pada kegiatan kepemudaan di kampung halamannya, keduanya mensosialisasi beasiswa transmigrasi, dengan tujuan memantik anak-anak di desa Toliwang untuk melanjutkan studi di IAIN Ternate.
"Harus diakui bahwa masyarakat di daerah transmigrasi rata-rata memiliki orangtua berprofesi sebagai petani, sehingga kami mengedukasi mereka tentang bantuan studi (beasiswa transmigrasi, red) agar nantinya mereka terdorong untuk lanjut studi," tutur Laila.
Selama berada di Ternate, diakui Laili, bahwa mereka berdua tidak begitu tertarik dengan ritme kehidupan anak-anak perkotaan, terlebih pada aspek penampilan yang kerap terlihat stylist dan pintar mix and match pakaian.
Sebab, menurut dia, walaupun hidup di perkotaan, tapi sebagai mahasiswa, yang patut ditunjukkan adalah prestasi bukan tentang penampilan.
"Terkadang, kalau tidak ada tugas kuliah, kami berdua sering berkunjung ke sejumlah taman di pusat kota Ternate, tapi soal penampilan tetap menunjukkan jati diri sebagai seorang muslimah," ujarnya
Keduanya jatuh hati pada profesi guru, memang tak terlepas dari kiprah sang ibunya, lantaran ibunya merupakan guru pada sekolah dasar di kampung halamannya, untuk itu semenjak sejak kecil melihat aktivitas sang ibu di sekolah, memantik keduanya untuk memilih profesi yang sama, demi mengusung impian mencerdaskan anak-anak di daerah transmigrasi.
Walaupun tidak tertarik dengan gaya hidup masyarakat perkotaan, tapi satu hal yang membuat Laili sangat tertarik adalah nuansa pendidikan di kota, untuk itu dia sangat terobsesi jika kelak meraih gelar sarjana, ia akan memilih mengabdikan diri pada lembaga pendidikan di kota.
"Kalau saya sih tertarik menjadi guru di kota, karena menurut saya perkembangan pendidikan di kota jauh berbeda dengan di pedesaan, terlebih didukung oleh fasilitas teknologi yang mendukung proses belajar mengajar," terang Laili.
Laili mengungkapkan, semua tenaga pendidik pada prodi bimbingan dan konseling pendidikan Islam (BKPI), pada setiap aktivitas perkuliahan kerap mendorong mereka untuk meraih sukses, dan tampil menjadi tenaga pendidikan yang profesional untuk mencerdaskan generasi muda.
"Semua tenaga pendidik di prodi BKPI memang tampil menginspirasi kami, tapi satu dosen yang saya dijadikan sebagai teladan adalah dosen psikologi yakni Ibu Zaenab Canu, S.PdI., M.Si," katanya.
Berbeda dengan sang adik Laili, Laila lebih tertarik untuk menjadi tenaga pendidik di kampung halaman. Untuk itu, kata dia, jika telah menuntaskan pendidikannya di IAIN Ternate, ia bakal mengikuti langkah sang ibunya untuk mengabdikan diri di daerah transmigrasi.
"Kalau sudah resmi menyandang gelar sarjana, saya lebih memilih menjadi guru di kampung," ujarnya.
Sama halnya dengan sang adik yang terinspirasi dengan kiprah dosennya di prodi BKPI sebagai panutan, Laila pun mengungkapkan bahwa salah satu dosen yang ia jadikan sebagai role model untuk meraih sukses dan tampil sebagai tenaga pendidik yang profesional adalah sosok dosen bahasa Arab Andi Nurmawaddah, S.PdI., M.Pd
"Semua dosen di prodi kami (PBA, red), memang selalu memberi motivasi kepada kami untuk giat belajar agar meraih sukses seperti mereka," tuturnya seraya menyungging senyum.
"Dan' Ibu Andi Nurmawaddah lah yang saya jadikan sebagai panutan," imbuhnya
Menurut keduanya, lontaran-lontaran motivasi yang disampaikan para dosen, sama seperti yang disampaikan kedua orangtua serta sang neneknya, karena mereka kerap kali mengingatkan agar selalu memusatkan perhatian pada aktivitas belajar, agar menyelesaikan studi tepat waktu.
"Iya, orangtua memang selalu menasehati kami berdua agar rajin belajar, menjaga salat lima waktu dan harus mengusung target menyelesaikan studi tepat waktu," pungkas keduanya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H