Tahun 2020 lalu, di sebuah ruang ujian pascasarajana IAIN Ternate, mempertemukan kami sesama mahasiswa S-2. Saat itu, walaupun duduk berdekatan, kami enggan bertanya soal program studi maupun tempat tinggal, lantaran dalam ruangan tersebut, bukan hanya mahasiswa dengan program studi yang sama, melainkan seluruh mahasiswa program pascasarjana angkatan 2020.
Kami diminta pihak pengelola program pascasarjana, untuk mengikuti kuliah umum yang disampaikan oleh salah satu profesor secara daring.
Seusai mengikuti kuliah umum tersebut, seminggu kemudian barulah kami menjalani kuliah perdana pada masing-masing kelas. Nah, di momen inilah, kami mulai saling akrab antara satu dengan yang lainnya.
Sebelumnya, pada program studi Pendidikan Agama Islam (PAI) terdiri dari tiga kelas, pada kelas A saya dipercayakan menjadi Ketua Tingkat (keting), sehingga dengan mudah mengenal seluruh teman yang ada di kelas. Dari perkenalan pertama kami saat menjelang kuliah perdana, berlanjut akrab hingga saat ini.
Sebab, perkuliahan kami saat itu, tentu jauh berbeda kala berada di bangku S-1 dulu, pasalnya, platform WhatsApp dimanfaatkan untuk media saling bertukar informasi perkuliahan, dengan membentuk grub diskusi (WAG). Selain WAG untuk masing-masing mata kuliah, kami pun menyepakati sebuah WAG untuk mahasiswa.
Dari WAG inilah, komunikasi mulai terbangun secara intens, dan selain diskusi soal mata kuliah yang diajarkan oleh dosen, tak pelak obrolan lepas yang menjurus pada candaan lucu, disertai emoji dan sticker kocak yang bikin ngakak dan mengocok perut.
Adalah Bahrun Mustafa, kawan saya yang satu ini, ketika berada di dalam kelas, kerap menjahili teman-teman kala jeda perkuliahan. Bahkan, ketika berada di rumah, saat kami melangsungkan perkuliahan daring, tak jarang bergarah, sehingga membuat suasana perkuliahan mendadak riuh.
Dan bukan hanya dia yang kerap menghidupkan suasana, terkadang teman saya, Pak Abdurauf Lasuhu, yang juga sebagai pimpinan pada salah satu Madrasah Tsanawiyah di Kabupaten Halmahera Selatan.
Pun sama, berseloroh jika ada tema diskusi kami soal wanita, terlebih jika saya pun tak mau kalah, turut serta meramaikan diskusi sambil sesekali menyelipkan candaan yang memantik emosi teman-teman perempuan.
Karena saling berseloroh, akhirnya memunculkan istilah "guru membela murid" kata-kata ini muncul, kala saya dan sang kawan Bahrun Mustafa mulai tersudutkan dengan argumen yang datang bertubi-tubi, dilancarkan oleh teman wanita.
Dan, yang paling getol menghipnotis kami adalah Ibu Sahnia Syukur, ditambah dua taman lainnya, yang kami sebut sebagai muridnya beliau, adalah Sartika Juniarsih dan Liliningsih Hamid.
Energi ketiganya makin komplit, jika Ibu Ade Suryani, yang juga sebagai kepala sekolah pada Sekolah Menengah Pertama di Kota Tidore Kepulauan, turut menyuntik semangat mereka dengan beragam argument, yang terkadang membuat kami [tak berdaya].
Terlebih, jika ruangan mendadak riuh, bantahan demi bantahan mulai terlontar membuat suasana bak ajang berbalas pantun.
Kondisi seperti ini memang selalu terlihat pada setiap hari perkuliahan, maupun ketika kami kembali pulang ke rumah, dan melanjutkan diskusi via WAG.
Menariknya, mereka yang terkadang tak mendapat waktu lebih saat berada di dalam kelas, kembali melancarkan argumen ilmiahnya, yang disambut gelak tawa yang diekspresikan dengan emoji dan sticker jenaka.
Seperti yang disampaikan Ibu Sumarni, yang akrab disapa ibu Kanjen, walaupun argumennya terkesaan to the point, tetapi membutuhkan begitu banyak jawaban yang harus kami counter balik.
Terlebih jika Ibu Asriani mulai menyela -- memperkuat argumen bu Kanjen, mendadak suasana ruang kuliah seperti dentuman misterius yang menghebohkan, ha...ha...ha, ya itulah perempuan tak ingin mengalah dari lelaki wkwkwk.
Eits, tapi bukan berarti kami diam dan menerima begitu saja argumen mereka. Sebab, masih ada teman kami: Pak Amin Awad, Pak Ade Hasan, Pak Habibi Galela, Pak Iksan Suryadi, Pak Fajri Jufri, dan Pak Abdruahman Muh. Ali, yang sigap membungkam argumen mereka, walaupun dari pihak perempuan, mereka kerap meminta Ibu Maemuna Idris untuk mengcounter, namun rasanya tidak mampu membendung argumen kami, yang kami beri kuasa pada Pak Abd Rauf Lasuhu.
Pada suatu kesempatan, kala berlangsungnya perkuliahan, dan waktu menunjukkan pukul 15 tepat, saya bersama dua teman: Bahrun Mustafa, dan sang guru Abd Rauf Lasuhu, membelokkan diskusi ke tema soal poligami, tujuan kami memang sengaja membuat ruang kuliah riuh, lantaran ada sebagian yang mulai ditampar rasa ngantuk.
Sontak, kami bertiga diserang habis-habisan oleh mereka yang anti terhadap poligami, khususnya teman-teman perempuan, berbagai dalih disampaikan untuk membungkam mulut kami, terlebih sosok ibu Sahnia Syukur, yang sangat menentang jika ada seorang suami menikah lagi.
Ha...ha...ha, asyik, akhirnya terjebak juga, bahkan ketika mereka semuanya membantah argumen kami, mereka pun "menyandera" dosen kami, (alm) Dr H Sulaiman L. Azis, M.Si mengeluarkan argumen untuk membungkam kami, namun bukannya mendapat pembelaan, kami pun oleh dosen diberi kebebasan untuk berekspresi sesuai pandangan masing-masing. Sontak kami bertiga berseloroh dengan sindiran-sindiran ilmiah yang mematikan.
Begitulah, suasana di dalam ruang kuliah maupun di WAG, keakraban kami ini, akhirnya menyatukan kami seperti kerabat dekat, dengan perhatian layaknya hidup se-rumah. Bahkan, oleh salah satu dosen kami, dikatakan selama perkuliahan pada program pascasarjana di IAIN Ternate, angkatan kami paling terheboh sepanjang sejarah perjalanan pascasarjana IAIN Ternate.
Heboh, bukan berkonotasi negatif, tapi kala digelar diskusi, terlebih presentasi makalah, semuanya ambil bagian dalam menyampaikan argumen yang memperkuat materi yang disampaikan oleh teman kami dalam pembahasan makalah.
Tak pelak, suasana seperti ini pun diselipkan gelak tawa yang menghidupkan suasana. Bahkan, dari saling "balas pantun" di kelas, melahirkan istilah "entahlah" jika seseorang mulai terlihat tak bisa melancarkan argumen untuk membantah, pandangan dari teman lainnnya.
Selain keheboan dalam ruang kelas, pemandangan tak seru lainya dan selalu berkesan adalah kekompakan berlanjut pada warung makan bahkan restoran mahal, momen seperti ini memang jarang terlihat pada kelas lainnya.
Dan, bukan hanya kami -- sesama mahasiswa, melainkan kami pun kerap mengajak dosen untuk terlibat, walaupun tak jarang ada yang menolak dengan alasan kesibukan, namun kondisi ini, semakin memupuk kebersamaan kami, hingga kami dapat menyelesaikan studi tepat pada waktu -- berkat saling support dan terus mengingatkan antarsesama.
Rentetan suasana yang menjurus pada jalinan keakraban, puncaknya pada Minggu (28/7) siang, pada salah satu restoran mewah di kecamatan kota Ternate Tengah.
Sejak berlangsungnya wisuda Sabtu (27/7) kemarin, kami saling mengingatkan untuk melangsungkan acara makan bareng, yang semula diinisiasi oleh salah satu teman kami, yang juga selaku Pejabat pada Kanwil Agama Maluku Utara, juga menjabat sebagai ketua Nahdlatul Ulama (NU) kota Ternate, Abdurahman Muh. Ali.
Bagi kami, beliau termasuk sosok pejabat Low Profile, dan tentunya berhati baik. Walaupun sebagai pejabat penting di lingkup Kemenag Provini Malut, namun hal itu tak lantas membuat ia merasa lebih dari kami. Namun, yang ia tunjukkan adalah semangat kebersamaa antarsesama mahasiswa.
Untuk itu, jamuan makan siang yang diinisiasi-nya, mengahadirkan pandangan kami tentang kebaikannya, sekaligus sebagai bentuk perpisahan kami sebagai alumni pascasarjana di tahun 2022.
Walaupun perpisahan secara fisik memang merupakan keharusan, lantaran kami tidak lagi terdaftar sebagai mahasiswa, tapi di WAG yang kami buat pada 2020 lalu, tetap eksis, untuk bertukar pesan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H