Pohon Kurma pertama di Maluku Utara, tumbuh tanpa sentuhan tangan manusia.
Jika menyebut pohon Kurma, pikiran kita pasti melayang jauh ke negara-negara Timur Tengah, seperti: Arab Saudi, Mesir, Irak, Bahrain, Kuwait, Palestina, Yaman, Oman, Sudan dan lainnya. Pohon yang bernama latin Phoenix dactylifera itu memang identik dengan daerah yang kontur tanah dan iklim kering. Walupun belakangan pohon Kurma mulai tumbuh subur di daerah tropis.
Namun, asal mula pohon ini dari daerah Timur Tengah seperti ditulis pada Wikipedia.org bahwa Kurma telah menjadi makanan pokok di Timur Tengah selama ribuan tahun lamanya. Dan diyakini berasal dari Teluk Persia dan dibudidayakan sejak zaman kuno dari Mesopotamia ke prasejarah Mesir --kemungkinan awal 4000 SM, kemudian tersebar hingga ke Arab, dan juga diabadikan di dalam al-quran seperti pada surah Maryam ayat : 25.
Berdasarkan catatan di atas, memang wajar jika membicarakan pohon Kurma pasti tidak lepas dari daerah Tmur Tengah dengan iklim kering-nya. Namun, terasa unik jika pohon ini tumbuh di daerah Tropis dan menghasilkan buah seperti di daerah Timur Tengah.
Dikutip dari Goodnewsfromindonesia.id, ada lima daerah di Indonesia yang ditanami pohon kurma dan menghasilkan buahnya -- yang ditanami pada pelataran masjid maupun di pekarangan rumah, seperti di halaman Masjid Agung Al-Barkah, Bekasi.
Pohon Kurma juga tumbuh subur di halaman masjid Agung Tasikmalaya dan berbuah, setelah ditanam sepanjang 18 tahun. Begitu pun juga halaman masjid Agung Ciamis, dari 10 pohon kurma dan satu diantaranya menghasilkan buah.
Sementara itu, di pekarangan rumah seorang warga Perumahan Bumi Kodya Asri, Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) juga memiliki pohon kurma yang berbuah lebat. Dan, di Magetan pohon kurma juga berbuah, yang ditanami Soeparlan, seorang lulusan sekolah pertanian.
Sementara itu menurut Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc., pakar kurma dari Institut Pertanian Bogor (IPB), seperti dilansir Kompas.com 7 Mei 2020 bahwa budidaya kurma tropika di Indonesia khususnya masih berada dalam tahapan awal perkembangannya.
Jika dilihat dari karakteristik pertanaman kurmanya, ada dua kelompok tanaman kurma yang dapat dijumpai di berbagai daerah di Indonesia. Kelompok pertama adalah pertanaman kurma yang sudah berumur di atas 10 tahun.
Populasinya ini tersebar di berbagai daerah di Indonesia dan biasanya jadi tanaman penghias halaman masjid. "Kelompok kedua adalah pertanaman kurma yang baru berumur antara 3-5 tahunan yang bibitnya sengaja didatangkan dari berbagai produsen bibit kurma dari berbagai negara," jelas Sudarsono
Menurut Sudarsono, pohon kurma di kelompok pertama jumlahnya tidak banyak di suatu lokasi. Beberapa pohonnya juga diketahui telah berbuah dengan baik. Tanaman kurma dalam kelompok ini diduga berasal dari semaian biji yang membuat karakteristiknya sangat beragam.
Tak itu saja, kebanyakan tanaman kurma dalam kelompok ini juga tidak bisa menghasilkan buah karena hanya dipelihara sebagai tanaman hias. Sementara pohon kurma dalam kelompok kedua memang didatangkan ke Indonesia untuk dikembangkan sebagai penghasil buah kurma.
Jika lima daerah yang memiliki pohon kurma tumbuh subur dan menghasilkan buahnya karena ditanami oleh warga di pekarangan rumah maupun di pelataran masjid. Namun berbeda dengan pohon kurma di Pulau Gonone Kecamatan Pulau Joronga, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. -- tumbuh tanpa sentuhan tangan manusia.
Seperti diceritakan Habibah Daud (115) salah satu saksi sejarah atas tumbuhnya pohon Kurma di Desa Gonone. Katanya pulau Gonone pada awalnya --sebelum Indonesia merdeka, memang pulau tak berpenghuni. Dan, ketika itu pulau ini tidak menjadi perhatian untuk ditinggali.
Sehingga, ketika itu warga memilih salah satu pulau di dekat pulau Gonone yakni Pulau Tawabi. Alasannya yakni terkait prospek kehidupan jangka panjang. Namun, kehidupan di Tawabi tidak berlangsung lama dan nyaman, konon pulau yang saat ini disebut sebagai kampung tua tersebut, pada setiap malam warga yang bermukim di pulau tersebut sering di "diganggu" oleh nyamuk, sehingga pada malam hari ada warga memilih untuk tidur di pantai, agar terhindar dari ancaman nyamuk.
Karena merasa tak nyaman ketika tidur di malam hari, sehingga beberapa warga yang awalnya menghuni pulau Tawabi kemudian bersepakat mencari pulau lain, dan Pulau Gonone-lah menjadi tujuan.
Berpindah dari pulau Tawabi dan memulai kehidupan baru di pulau Gonone, kata Nenek Habibah yang juga ibu dari ayah mertua penulis, ketika itu di Desa Gonone dihuni oleh keluarganya, yakni kedua kakeknya bernama Totu Bintang dan Totu Jambula serta tiga kepala keluarga yang tak lain merupakan keluarga mereka yakni Totu Seselo, Totu Dingoto dan Kapita. (Totu merupakan sebutan untuk Buyut dari suku Tobelo).
Sebelum berpindah ke Pulau Gonone, katanya seperti dikisahkan oleh kedua orangtuanya, bahwa di Pulau Tawabi, sering dikunjungi oleh orang Arab untuk menengok keluarga mereka. Yang dimaksud keluarga dari Arab adalah kakek dari Nenek Habibah yakni Totu Bintang dan Totu Jambula.
Sehingga cerita tentang pohon Kurma di pulau Gonone sendiri memang tidak terlepas dari keberadaan keluarga Arab di Pulau Tawabi dan kemudian berpindah ke Pulau Gonone. Kata Nenek Habibah, namanya juga merupakan pemberian dari salah seorang Habib, ketika berkunjung ke Pulau Gonone.
Dan, fakta yang memperkuat tentang pertalian darah Arab tersebut, dibuktikan saat Bapaknya meninggal dunia, ketika itu digelar tahlilan pada malam pertama, ketiga, kelima dan ketujuh selalu dihadiri oleh orang Arab. Selain itu, pemberian Jubah dan sebuah peci Fez berwarna merah maron dengan rumbai terjuntai di bagian atas, kurang lebih seperti peci Aladin.
Pemberian ini dikenakan oleh pamannya Abdul Halim yang ketika itu sebagai imam pada masjid di Pulau Gonone. Namun pemberian dari Habib yang sering berkunjung di Pulau Gonone tidak diketahui pasti, lantaran sudah puluhan tahun dia berpindah dan tinggal di Desa Bibinoi Kecamatan Bacan Timur Tengah.
Sehingga, katanya jika ingin mengetahui terkait pemberian Habib tersebut, dia menyarankan untuk bertanya langsung pada sepupunya bernama Jabir Abd. Halim, ayah dari Kepala Desa Gonone kecamatan pulau Joronga.
Kurma tumbuh subur
Setelah berpindah dari pulau Tawabi ke Pulau Gonone nama-nama yang disebutkan di atas, pada suatu kesempatan, mereka melaksanakan kerja bakti dan mendapati sebuah pohon yang oleh mereka saat itu diyakini merupakan pohon Dokoto (sejenis Rumbiah atau pohon Sagu) dan disepakati untuk tidak ditebas dan mereka merawatnya.
Lama kelamaan, pohon yang dirawat tersebut kemudian tumbuh subur dan semakin membesar dan terlihat sangat berbeda dengan pohon Dokoto. Hingga pada suatu malam, pohon yang belum diketahui namanya tersebut berbunga dan diikuti suara gemuruh seperti Guntur dan pada pagi harinya, memunculkan isyarat yang tidak seperti biasanya yakni air pada sumur di Desa Gonone menjadi payau (air salobar).
Karena fenomena air payau saat Kurma memunculkan bunga-nya, sehingga warga ketika itu meyakini bahwa pohon yang dirawat tersebut, memang bukan pohon Dokoto sebagaimana dugaan mereka ketika pertama kali menemukannya.
Namun, bunga pertama pada pohon kurma tidak menghasilkan buah, lantaran ketika itu warga membungkusnya sehingga bunganya pun menjadi rusak lantaran panas. Selain itu, fenomena air payau ketika Kurma mulai berbunga menjadikan keunikan tersendiri bagi pohon Kurma di Pulau Gonone dibandingkan dengan pohon Kurma yang tumbuh dan berbuah pada derah lain.
Kontur tanah di Pulau Gonone pun sangat berbeda dengan beberapa pulau yang berada di dekat pulau Gonone, salah seorang warga yang ketika kembali dari tanah suci dan mengatakan bahwa tanah di pulau Gonone hampir sama persis di Madinah dan Mekah.
Yang disampaikan tersebut memang benar adanya, fakta membuktikannya tanah di Pulau Gonone mirip seperti di Timur Tengah lantaran pohon Kurma pertama ketika itu tua dan mati, lalu diambil bibit --- ditanam kembali dan menghasilkan buah.
Namun, yang paling mengherankan kata nenek Habibah, yaitu terkait asal muasal pohon Kurma yang pertama kali tumbuh di Pulau Gonone tersebut. Begitupun juga seperti pada 2002 silam kata Nenek Habibah Daud ketika salah satu saudara sepupunya bernama Hj. Wajima Abdul Halim menunaikan ibadah haji dan kembali pulang ke Desa Gonone -- membawa bibit kurma -- dan ditanam oleh Jabir Abdul Halim yang tak lain merupakan kakak kandung dari Hj. Wajima Abdul Halim.
Pohon Kurma yang ditanam tersebut, hingga kini tetap berbuah seperti ditulis pada salah satu media daring di Maluku Utara, kata Jabir Abdul Halim pohon yang ditanam pada 2002 tersebut sudah tiga kali berbuah yakni musim pertama pada 2018 lalu, kemudian di 2019 dan musim ketiga di tahun 2020.
Karena tanah pada Pulau Gonone jika ditanami pohon kurma dan menghasilkan buah, berbeda dengan beberapa pulau yang berdekatan dengan pulau Gonone, sehingga kata Nenek Habibah, pernah dikatakan salah seorang warga, Pulau Gonone layaknya dihuni oleh warga Arab.
Selain pohon Kurma tumbuh subur, Desa Gonone sendiri memiliki salah satu makam keramat yang diakui milik ulama, habib atau pejuang. Dan, warga meyakini bahwa keberadaan pohon Kurma dan makam keramat tersebut, membuat Pulau Gonone terhindar dari Gempa bumi pada 14 Juli 2019 lalu, yang meluluhlantakkan beberapa desa di Pulau Gane, dan termasuk desa yang berada di kecamatan pulau Joronga.
Berdasarkan catatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Gempa dengan berkekuatan 7,2 magnitudo tersebut --- pulau Gonone hanya merasakan sedikit goncangan dan rumah-rumah penduduk pun tidak mengalami kerusakan seperti beberapa desa di Kecamatan Pulau Joronga.
Butuh Perhatian Pemerintah
Karena Pulau Gonone memiliki pohon Kurma tumbuh subur dan menghasilkan banyak buah. Sejak dahulu hingga kini, pulau dengan luas wilayah 11,9 km tersebut, seharusnya butuh sentuhan pemerintah dan ditetapkan sebagai pulau penghasil buah kurma.
Langkah ini diambil, sehingga pemerintah melalui dinas terkait diharapkan perlu melakukan penelitian mendalam terkait tanah dan cuaca serta prospek jangka panjang soal dijadikan Desa Gonone sebagai daerah penghasil buah kurma dan budidaya kurma dengan berbagai varietas untuk ditanami di pulau Gonone.
Sehingga, nantinya Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan memiliki kebun tropis seperti pada Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur dan Nangroe Aceh Darusalam.
Desa Gonone berada di Kecamatan Pulau Joronga, jika kita hendak melihat pohon Kurma dari dekat, maka harus menempuh perjalanan kurang lebih tiga hingga empat jam menggunakan longboat atau speedboad, dari pelabuhan Babang Kecamatan Bacan Timur, atau dari pulau Gane. Masyarakat yang mendiami di desa Gonone berasal dari suku Tobelo, yang semuanya merupakan keluarga dari mertua penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H