Selasa 23 Juni 2020, tagar #PecatTenguzulDariMUI menempati posisi puncak treding topic di media sosial Twitter. Para netizen ramai membuat tagar tersebut, berawal dari Podcast Refly Harun dengan Tengku Zulkarnain di Channel YouTube pribadi milik Refly Harun pada Senin 22 Juni 2020. Video yang diunggah pada YouTube tersebut menuai reaksi warganet, lantaran mereka merasa geram dengan pernyataannya yang menggegerkan publik, karena dianggap menebar kebencian dan ditonton oleh semua kalangan.
Tentu hal ini tidak dapat dibenarkan, mengingat Tengku Zulkarnain merupakan Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat. Sehingga tak sepantasnya membuat pernyataan yang menimbulkan kontroversi. Seorang ulama mestinya bersikap lemah lembut, santun, dan memancarkan kecerdasan. Seperti disampaikan Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily bahwa "seorang yang mengaku ulama tak sepantasnya bicara seperti itu" (baca : Suarajogja selasa 23 Juni 2020).
Pernyataan Ace Hasan Syadily patut diapresiasi, sebab seorang Ustad atau Ulama sangat dihargai karena berakhlak mulia, sehingga pernyataan mengumbar ujaran kebencian atau hoax dianggap kontras dengan laku kesehariannya sebagai pendakwah. Seperti penulis pernah sampaikan lewat tulisan pada 12 April 2020 lalu, tentang "lebih baik diam daripada berbicara dan menyinggung perasaan orang".
Seharusnya para ustad yang sering tampil menyampaikan ceramah kiranya dapat mengambil hikmah dari nasehat seorang Sufi termashur Ibrahim bin Adham kepada muridnya Al-Fuzari terkait memikirkan dampak positif maupun negatif dari sebuah pernyataan yang hendak disampaikan.
Kata Ibrahim bin Adham kepada Al-Fuzari bahwa ada empat macam perkataan, yaitu perkataan yang engkau harap manfaatnya dan takut akan akibatnya, maka meninggalkannya adalah selamat, lalu perkataan yang tidak engkau harap manfaatnya dan tidak pula engkau takut akibatnya, maka paling sedikit engkau meninggalkannya, menjadi beban ringan pada tubuh dan lisanmu. Bergitupun dengan perkataan yang tidak engkau harap manfaatnya dan takut akan akibatnya (perkataan ini yang disebut Ibrahim bin Adham sebagai penyakit parah) serta yang terakhir yaitu perkataan yang engkau harap manfaatnya dan aman akibatnya. Ini adalah perkataan yang harus engkau sebarluaskan.
Terkait pernyataan-pernyataan kontroversi yang sering disampaikan Tengku Zulkarnain, membuat publik tentu bertanya-tanya apa sih motivasinya. Sebab, Indonesia dikenal menjunjung tinggi budaya ewuh pakewuh sebagai cerminan budaya timur yang bermaksud tidak ingin menjatuhkan bahkan sampai mempermalukan orang lain, prinsipnya menjaga perasaan orang lain, seperti yang disampaikan Ibrahim bin Adham pada muridnya Al-Fuzari yang penulis sebutkan di atas.
Dewasa ini, Pemerintah berupaya mengatasi krisis moral di kalangan anak bangsa melalui pendidikan karakter di sekolah-sekolah dan kampus, maupun pendidikan keluarga, dinilai sebagai solusi tepat dalam menghadapi problem kemorosotan moral di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) pada era globalisasi saat ini. Kebijakan ini patut didukung oleh semua kalangan, terlebih para tokoh agama yang sering tampil di depan publik.
Seharusnya mereka memposisikan diri sebagai pemberi pesan moral kepada masyarakat, bukan tampil layaknya politisi yang berada pada pihak oposisi dan merespon segala hal dengan kacamata politik. Sebab, apa yang mereka sampaikan tentu dikonsumsi oleh berbagai kalangan, termasuk anak-anak muda sebagai generasi penerus bangsa.
Di era Demokrasi saat ini, kemerdekaan mengemukakan pendapat - memang bagian dari hak asasi manusia dan dilindungi UUD 1945 sebagaimana dijelaskan pada pasal 28E ayat (3) "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat". Juga ditegaskan melalui pasal 19 dan 20 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia oleh PBB.
Hal ini bukan berarti bahwa kita bebas dalam mengutarakan pendapat sesuai kehendak kita. Sebab, ada kaidah-kaidah tertentu yang harus dijunjung, agar tidak terkesan menimbulkan sentimen negatif yang berdampak pada merenggangnya hubungan antar individu maupun kelompok.
Mengkritik pemerintah dalam era Demokrasi merupakan suatu kewajaran, namun patut dicatat bahwa mengkritik harus didukung dengan data-data yang benar, bukan terkesan asal mengkritik. Sebab, jika hanya mengkritik, tentu anak-anak Sekolah Dasar (SD) pun bisa mengkritik pemerintah. Justru itu, sebagai pejabat publik maupun tokoh agama, harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anak muda -- dalam menyampaikan argumentasi yang baik dan benar.
Terkait sikap Tengku Zulkarnain, tentu kita masih ingat dengan beberapa pernyataan yang menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat seperti cuitan 7 Kontainer Surat Suara tercoblos, lalu cuitan soal Aliran Dana Suap Meikarta, dan mencabut pernyataannya terkait "Pemerintah Legalkan Zina", pernyataan terkahir mendapat tanggapan dari Wakil Ketua MUI Zainul Tauhid "bahwa tidak benar apa yang disampaikan oleh Tengku Zulkarnain yang mengaku mendapatkan sumber informasi dari hasil kajian staf ahli MUI, sama sekali tidak berdasar dan merupakan bentuk kecerobohan yang sangat nyata". (Baca: MUI Gerah karena Tengku Zul Bertingkah, Detiknews 13 maret 2019).
Era teknologi saat ini harus dimanfaatkan dengan baik dan benar, terlebih sebagai tokoh agama, kiranya dapat dimaksimalkan untuk melakukan edukasi terkait perkokoh sendi etika, moral, dan spiritual melalui ceramah-ceramah pada YouTube, maupun edukasi melalui media sosial Twitter dan Facebook, sebagai respon atas kebijakan pemerintah yang penulis sebutkan di atas yaitu tentang mengatasi krisis moral di kalangan anak bangsa melalui pendidikan karakter.
Kiranya pernyataan-pernyataan kontroversi yang menimbulkan sentimen negatif di tengah masyarakat, sebaiknya dihindari oleh Tengku Zulkarnain, dan kembali fokus sebagai seorang pendakwah -- untuk mendidik generasi penerus bangsa seperti yang dilakukan oleh para ulama dan ustaz lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H