Ada dua komponen rencana. Pertama Jalur Darat. Terdapat 6 koridor jalur sabuk ekonomi yang berfungsi sebagai rute baru untuk barang masuk dan keluar dari Tiongkok. Seperti rel kereta api yang menghubungkan Tiongkok ke London, pipa gas dari laut Kaspia ke Tiongkok serta jaringan kereta api berkecepatan tinggi di Asia Tenggara.
Lalu ada jalan sutra maritim, rantai pelabuhan yang membentang dari Laut Tiongkok Selatan ke Afrika yang juga mengarahkan perdagangan ke dan dari China. BRI juga menguasai kilang minyak, taman industri, pembangkit listrik, tambang, dan jaringan serat optik, semuanya dirancang untuk memudahkan dunia untuk berdagang dengan Tiongkok.Â
Sejauh ini, lebih dari 60 negara dilaporkan telah menandatangani perjanjian untuk proyek-proyek ini. Dan daftarnya terus bertambah, karena Tiongkok mempromosikannya sebagai win-win untuk semua orang.
Ambil, misalnya, proyek unggulan BRI: Pakistan. Seperti banyak negara di Asia Tengah dan Selatan, Pakistan memiliki ekonomi yang stagnan serta ditambah masalah korupsi. Itu bukan tempat yang cocok untuk investasi asing, setidaknya sampai Tiongkok datang. Sejak 2001, Tiongkok menawarkan untuk membangun pelabuhan baru di kota nelayan kecil Gwadar. Pada tahun 2018, pelabuhan serta jaringan jalan raya dan kereta api Koridor senilai $ 62 miliar menjadi milik BRI.
Di sinilah Economic Belt bertemu dengan Matiritime Silk Road. Proyek tersebut tampaknya menguntungkan kedua negara. Pakistan menyaksikan sendiri pertumbuhan PDB tertinggi dalam 8 tahun dan ditambah bonus menjalin hubungan yang erat dengan salah satu kekuatan utama dunia. Tiongkok, di sisi lain, berhasil mengamankan rute alternatif baru untuk barang, terutama, minyak dan gas dari Timur Tengah.
Melalui proyek-proyek seperti ini, Tiongkok juga menemukan cara untuk meningkatkan ekonominya. Perusahaan-perusahaan konstruksinya yang memiliki lebih sedikit peluang di negara mereka sendiri mendapat dorongan besar dari kontrak BRI. 7 dari 10 perusahaan konstruksi terbesar di dunia sekarang adalah Tiongkok.
Efek Negatifnya bagi Indonesia
Indonesia termasuk dalam 60 negara yang telah menandatangani perjanjian untuk proyek besar Tingkok ini. Sebut saja misalnya proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. Indonesia lebih memilih untuk bekerja sama dengan Tiongkok dibanding dengan Jepang. Hal ini bukan tanpa dasar. Tiongkok lebih memberikan keringanan dan nilai investasi yang lebih besar dibanding Jepang.
Sayangnya, yang membuat kesepakatan lebih menguntungkan Tiongkok adalah keharusan agar ia terlibat dalam membangun proyek-proyek ini. Di Pakistan misalnya, pekerja Tiongkok telah secara langsung membangun proyek, seperti jalan raya. Pula sebuah perusahaan Tiongkok telah bekerja dengan penduduk setempat pada proyek kereta api di Serbia. Begitu juga di Indonesia. Setiap proyek pembangunan yang diberi modal oleh Tiongkok, selalu disertai dengan pekerjanya.
Keterlibatan langsung Tiongkok dalam proyek adalah salah satu dari sedikit tuntutannya yang membuat kesepakatan ini menjadi berbeda. Keharusan untuk dilibatkannya pekerja Tiongkok hanya lah tuntutan kecil. Biasanya, untuk mendapatkan investasi dari Negara Barat, negara-negara harus memenuhi standar, ketentuan dan etika yang ketat. Tetapi Tiongkok menawarkan miliaran dolar, sebagian besar dalam bentuk pinjaman, dengan persyaratan yang jauh lebih ringan. Jadi, tidak mengherankan BRI menjadi populer di negara-negara yang kurang demokratis.
Tiongkok telah menandatangani perjanjian dengan pemerintah otoriter, rezim militer, dan beberapa negara paling korup di dunia. Bahkan ia berafiliasi dengan, Afghanistan, Ukraina, Yaman, dan Irak; yang semuanya saat ini sedang terpecah oleh konflik.