Asuransi itu 'barang' paling susah dijual di dunia. Pertama, manfaatnya tidak langsung diterima pembeli. Peserta asuransi terikat kontrak jangka panjang yang mewajibkan mereka membayar premi berjangka dan seringkali jumlahnya tidak kecil. Manfaat asuransi juga baru bisa diterima justru ketika musibah datang: kematian, sakit, kecelakaan, kebakaran, kebangkrutan dsb -- segala sesuatu yang justru dihindari manusia. Maka diberkatilah setiap perusahaan dan agen asuransi.
Demikian saya sampaikan kepada Direktur Hukum, Komunikasi, dan Hubungan Antar Lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Bapak Bayu Wahyudi pada acara Kompasiana Nangkring di Hotel Novotel Balikpapan 9 September 2016 lalu.
"Kalau orang nikah keluar uang Rp 100 juta, malamnya langsung terima 'hasil', Pak. Kalau asuransi harus sakit dulu. Siapa juga yang mau sakit? Orang justru menjaga dirinya agar tidak sakit. Sementara kalau tidak sakit tidak menerima manfaat. Kalau tidak terima manfaat buat apa bayar?" tukas saya sambil berkelakar menanggapi pernyataan Bapak Bayu bahwa seseorang bisa keluar uang banyak untuk resepsi pernikahan tapi enggan keluar uang untuk asuransi kesehatan.
Dalam acara itu saya juga membagi kisah soal kakak kandung saya yang terkena serangan stroke dan harus dirawat di rumah sakit lebih dari 2 minggu. Ia dan suaminya tak mengeluarkan biaya pengobatan sepeserpun berkat JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Diberkatilah BPJS Kesehatan.
BERANI SAKIT DAN AKROBAT BPJS
Saya tidak pernah dengar ada orang yang tak pernah sakit atau tak pernah menggunakan layanan di fasilitas kesehatan (faskes) seumur hidupnya. Semua yang hidup pasti sadar bahwa ia suatu saat akan sakit; ringan atau berat. Sakit itu mimpi buruk yang berdampak langsung pada produktivitas, keuangan, dan psikologis seseorang serta lingkaran sosialnya. Ia juga berdampak langsung pada perekonomian sebuah negara. Bahkan sebuah bangsa bisa punah karena wabah penyakit seperti yang terjadi pada Suku Maya. Sebegitu pentingnya urusan penyembuhan bagi sebuah bangsa sehingga membuat negara harus hadir dalam penanganannya. Salah satu bentuk kehadiran itu adalah jaminan kesehatan nasional yang diadopsi seluruh negara-negara di dunia. Di Indonesia jaminan kesehatan ini diatur melalui pasal 28 H ayat 3 dan pasal 34 ayat 2 UUD 1945 serta UU 40/2004, UU 36/2009, dan UU 24/2001.
Namun seringkali kecemasan akan mimpi buruk sakit ini digunakan sebagai janji politik. Nyaris dalam setiap kampanye pemilihan kepala daerah, bahkan Pilpres, ada janji soal peningkatan jaminan kesehatan masyarakat. Yang substansinya kurang lebih: jangan takut sakit karena biaya pengobatan akan ditanggung pemerintah. Janji ini tidak salah. Tapi berisiko menanamkan persepsi bahwa negara sepenuhnya menjamin seluruh biaya perawatan kesehatan masyarakat, alias gratis. Belum lagi bila masyarakat membandingkan jaminan kesehatan di negara maju tanpa melihat pengenaan pajak yang tinggi di sana. Atau membandingkan dengan Venezuela, sebuah negara kaya minyak yang menggratiskan biaya kesehatan, namun menolak melihat situasi negara itu sekarang saat harga minyak jatuh dan uang terserap habis untuk jaminan sosial. Seberapapun besarnya dana jaminan sosial yang disediakan negara untuk pelayanan kesehatan tidak akan cukup bila warganya 'tidak takut sakit'.
JKN yang ditugaskan pengelolaannya kepada BPJS Kesehatan sebenarnya meletakkan BPJS pada situasi penuh risiko. Tidak seperti asuransi swasta dimana jumlah premi ditentukan oleh banyak parameter (pre-existing condition/underwriting): usia, penyakit yang sedang diderita, risiko penyakit bawaan, gaya hidup dsb. Iuran JKN ditetapkan sama, baik mereka yang menjalankan gaya hidup sehat maupun yang merokok tiga bungkus per hari. Yang membedakan hanya kelas pelayanan. Dengan jumlah peserta yang sangat banyak (nyaris seluruh warga Indonesia), biaya pertanggungan yang besar, dan tak punya kewenangan atas mitigasi risiko, membuat BPJS harus menghadapi risiko tak berimbangnya antara jumlah dana kelolaan dan biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya pengobatan peserta. Itu sebabnya dari tahun ke tahun BPJS terus menerima dana subsidi dari pemerintah. Bahasa bisnisnya: BPJS rugi.
Masalah ini diperparah lagi dengan perilaku buruk atau moral hazard peserta JKN yang menunggak iuran, umumnya dari kalangan pekerja bukan penerima upah (PBPU). Oknum peserta memanfaatkan celah liabilitas pada aktivasi kepesertaan yang diatur UU 24/2011. Banyak kasus dimana seseorang mendaftar kepesertaan JKN ketika sedang sakit untuk mendapatkan pertanggungan biaya pengobatan yang tinggi. Setelah sembuh mereka tak melanjutkan pembayaran premi. Misal premi yang dibayarkan baru Rp 100 ribu, namun biaya pengobatannya Rp 50 juta. Bisa dibayangkan bila yang melakukan 1.000 atau 10.000 orang. Hal ini punya dampak besar dimana jumlah dana kelolaan defisit akibat macetnya pembayaran iuran, sementara pengeluaran pembayaran klaim terus membesar.
Secara statistik, total pemanfaatan pelayanan kesehatan JKN makin menanjak. Dari 92,3 juta pemanfaatan di tahun 2014, menjadi 146,7 juta di tahun 2016, atau bertambah 54,4 juta pemanfaatan. Sedangkan jumlah kepesertaan JKN hanya naik 23,39 juta, dari 133,4 juta orang di tahun 2014 menjadi 156,79 juta orang. Dari data ini terlihat tren 'berani sakit' yang jumlahnya melampaui kesadaran berasuransi kesehatan. Tahun 2014 BPJS Kesehatan defisit Rp 3,3 triliun, dan 2015 lalu defisit senilai Rp 5,85 triliun. Angka ini terus menanjak di tahun 2016 yang diperkirakan defisitnya mencapai Rp 7 triliun. Alhasil BPJS Kesehatan mesti harus selalu berakrobat menangani cash flow mereka.
BPJS KESEHATAN YANG BERKELANJUTAN
Neraca keuangan BPJS Kesehatan bisa menjadi salah satu indikator kualitas kesehatan di Indonesia, khususnya pada sisi pengeluaran. Makin banyak pengeluaran, artinya makin banyak warga yang sakit atau menderita penyakit yang membutuhkan penanganan kompleks. Ketika pengeluaran menyurut, artinya masyarakat Indonesia makin sehat karena berkurangnya pembayaran klaim kepada penyedia fasilitas kesehatan. Sederhananya seperti itu. Dengan demikian, negara dan masyarakat menginginkan BPJS untung karena dari sana kualitas kesehatan bangsa direpresentasikan.
Sebagian bertanya: sebagai penyelenggara JKN yang merupakan amanat UUD, apakah BPJS mesti untung?
Ya. Harus.
Pertama, seberapapun besarnya anggaran yang disediakan pemerintah untuk JKN tidak akan cukup bila masyarakatnya tidak takut sakit. Kedua, JKN memberi sumbangsih pertumbuhan ekonomi secara langsung senilai Rp 18,66 triliun di 2014 lewat pertumbuhan industri kesehatan, farmasi, lapangan kerja kesehatan dan konstruksi rumah sakit. JKN juga meningkatkan angka harapan hidup dengan penyediaan akses ke pelayanan kesehatan secara terjangkau, serta penurunan tingkat kemiskinan ikarena berkurangnya kewajiban biaya kesehatan. Pertumbuhan ini mustahil bisa berlanjut bila BPJS Kesehatan terus didera defisit. Ketiga, keuntungan BPJS Kesehatan akan kembali ke masyarakat lewat peningkatan pelayanan kesehatan pada fasilitas-fasilitas kesehatan, inovasi pelayanan, dan pengadaan infrastruktur layanan baru.
Singkatnya, kita memerlukan JKN yang berkembang dan berkelanjutan -- dimana hal itu hanya bisa dicapai ketika BPJS Kesehatan untung.
VALUE, REWARD DAN PUNISHMENT
Akan selalu ada orang-orang bermoral buruk, dan nasib JKN kita terlalu berisiko bila digantungkan pada sadar-tidaknya kelompok orang-orang ini. BPJS Kesehatan memang telah menerapkan pinalti atau punishment kepada peserta BPJS yang menunggak iuran selama sebulan dengan menonaktifkan kepesertaan mereka secara otomatis. Untuk mengaktikan lagi, peserta harus membayar iuran yang terlambat plus denda. Pinalti lain adalah kewajiban membayar biaya berobat 2,5% dikali jumlah bulan tertunggak yang akan dikenakan bagi peserta yang mengakses layanan kesehatan kurang dari 45 hari pengaktifan kembali keanggotaan. Memang terdengar seram. Namun apakah bisa membebaskan BPJS Kesehatan dari risiko celah liabilitas yang muncul seketika keanggotaan aktif? Apakah tidak justru menimbulkan kecemasan bagi calon peserta yang akhirnya malah memilih tidak mendaftar?
Bila BPJS menganggap ini adalah punishment yang tepat, maka silakan lanjutkan. Namun alih-alih menghabiskan energi 'menakut-nakuti' orang, BPJS punya pekerjaan yang jauh lebih penting: to create something anyone can't resist -- menciptakan produk yang tak mungkin ditolak. Jalannya tak lain adalah peningkatan value atau nilai produk yang sebegitu tingginya hingga nyaris mustahil tak dibutuhkan semua orang. Hal ini akan saya paparkan dalam bagian JKN 2.0 di bawah.
Bila ada pinalti, selayaknya ada penghargaan (reward). Konsep ini sebenarnya sudah mulai dijalankan oleh BPJS Kesehatan, namun baru diimplementasikan kepada faskes yang memberikan layanan dengan standar yang diterapkan. Reward kepada peserta bukan hal baru dalam dunia asuransi kesehatan. Beberapa asuransi swasta memberi reward mulai dari potongan harga produk/layanan kesehatan. Bahkan ada yang memberi cashback atau hadiah barang bagi peserta yang dalam jangka waktu tertentu tak pernah melakukan klaim. Sisi baiknya tak hanya soal menghargai peserta yang disiplin menunaikan kewajiban, tapi juga menghargai mereka yang menjaga kesehatannya.
Jumlah saluran dan metode pembayaran juga mesti diperbanyak. Bila saat ini BPJS Kesehatan telah bekerjasama dengan berbagai bank sebagai saluran pembayaran elektronik melalui ATM, mobile banking, hingga auto-debit rekening, cara baru bisa dilakukan dengan auto-debit kartu kredit. Tentu dengan kemudahan ala payment gateway yang diimplementasikan e-commerce. Banyak dan makin tersebarnya payment point BPJS hingga wilayah terpencil saat ini perlu dieskalasi dengan cara jemput bola: collecting hingga ke rumah peserta. Kegiatan collecting bisa dikerjasamakan dengan pengelola payment point, tokoh masyarakat, atau aparat setempat. Bahwa sudah lazimnya manusia selalu mencari cara-cara termudah dalam melakukan sesuatu, sehingga diperlukan cara-cara baru untuk beradaptasi mengelola perilaku ini.
JKN 2.0 SEBAGAI EKOSISTEM PERAWATAN KESEHATAN KOLABORATIF
"Saya punya Kartu Indonesia Sehat (KIS). Tapi saya tidak mau sakit, mau sehat,” kata Presiden Jokowi tahun lalu saat pembagian KIS di Malang.
Dalam acara Nangkring Kompasiana di Balikpapan saya juga mengutarakan bahwa kita (khususnya pemerintah) kian menjauh dari kampanye hidup sehat. Tidak seperti dulu ketika kita masih kecil: senam kesegaran jasmani bersama di sekolah tiap Jumat, maraknya ekstrakulikuler Palang Merah Remaja (PMR), hingga hapal apa itu 4 sehat 5 sempurna. Kita makin kekurangan kampanye kesehatan yang promotif dan preventif yang merupakan investasi jangka panjang sebuah bangsa. Kalaupun ada, yang kita lihat adalah kampanye yang bersifat regulatif dan reaktif seperti halnya kawasan sehat tanpa rokok (KSTR) yang dibarengi dengan tindakan hukum. Padahal kualitas kesehatan sangat bergantung pada gaya hidup sehari-hari. Kita lebih meletakkan perhatian pada bagaimana cara sembuh, bukan bagaimana hidup sehat. Padahal hari-hari dalam hidup kita habiskan dalam kondisi sehat, dan semestinyalah kita berupaya melanjutkannya dengan gaya hidup sehat. Kampanye hidup sehat justru dilakukan oleh komunitas, LSM, atau swasta yang lebih bersifat tentatif, kurang sustain, atau bahkan komersial. Bila kita berharap sebuah sistem JKN yang berkembang dan berkelanjutan, salah satu jalan paling krusial adalah menggalakkan kampanye hidup sehat secara promotif dan preventif. Bahkan dengan teknologi, ia memungkinkan dilakukan secara interaktif.
Saya menyebutnya sebagai JKN 2.0: Ekosistem Perawatan Kesehatan Kolaboratif (collaborative health care)
Istilah (Web) 2.0 pertamakali diperkenalkan oleh O'Reilly Media tahun 2003 merujuk pada perkembangan teknologi web satu arah menjadi multiarah. Web tak lagi hanya sebatas penyedia informasi satu arah (content delivery). Ia berkembang menjadi medium komunikasi, partisipasi, dan kolaborasi. Bentuknya adalah media sosial, wiki, forum, video/audio streaming dll. Web 2.0-lah yang menyebabkan semua manusia di dunia ini terkoneksi dan kemudian mampu berkolaborasi menghadirkan hal-hal baru yang mengejutkan. Dalam dunia industri istilah 2.0 digunakan untuk menggambarkan transformasi bisnis yang menggunakan kekuatan kerumunan melalui teknologi untuk mencapai tujuan. Institusi bertransformasi sebagai hub (penghubung) atau magnet bagi segala potensi kolektif yang tersebar di mana-mana. Perusahaan dengan kolaborasi kolektif akan membawa efek domino positif bagi masyarakat yang ia rangkul atau kolaborasikan.
Bagaimana cara JKN bertransformasi menjadi JKN 2.0?
Sebagai suami dari seorang dokter, yang sehari-hari saya lihat pada istri saya adalah yang dilakukan semua dokter di dunia selama ribuan tahun: duduk di kamar periksa, pasien datang, diperiksa, resep ditulis, selesai. Begitu terus setiap hari, mungkin sampai sisa hidupnya. 'Sistem purba' ini menempatkan pasien dalam posisi pasif dan terisolasi. Sistem ini hidup karena ada kesenjangan pengetahuan yang sangat tinggi antara dokter-pasien. Pasien hampir tak punya peran apapun kecuali tunduk. Dengan sistem ini, hubungan dokter dan pasien hanya terjadi bila ada yang sakit. Rumah sakit dan klinik hanya jadi tempat orang sakit. Keduanya belum menjadi agen yang mendorong agar orang tidak sakit.
Sistem ini tidak hanya gagal mewujudkan percepatan masyarakat yang sehat. Tapi juga berbiaya selangit karena membiayai pengobatan penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Sementara kualitas kesehatan masyarakat juga tidak lebih baik dengan makin tingginya angka penyakit akibat gaya hidup: obesitas, diabetes, risiko jantung dan kanker dll. Mayoritas penyakit ini timbul karena rendahnya pengetahuan masyarakat untuk menyehatkan dirinya sendiri.
Bahwa JKN memperbaiki layanan pengobatan dan pembiayaannya, itu satu hal. Tapi ini bukan sekedar program mengobati orang sakit, melainkan menciptakan masyarakat sehat secara bersama-sama dan berkelanjutan. Lewat cara ini, para dokter keluarga di tingkat klinik yang menjadi rekanan BPJS Kesehatan diminta untuk selalu engage atau bersentuhan langsung dan intens dengan warga yang ia layani di wilayah layanannya. Sehingga dokter bertemu warga tak hanya ketika mereka sakit, tapi kontinyu mendorong dan menjaga mereka tetap sehat. Impelementasi terdekat sudah disediakan oleh penyedia layanan health care engagement seperti HaloDoc. Lewat aplikasi di ponsel, pengguna bisa langsung berinteraksi dengan dokter melalui chat, telepon dan video call. HaloDoc bekerja dalam ekosistem kerumunan (crowd source). HaloDoc tidak mempekerjakan dokter, ia hanya bertindak sebagai platform atau pelantar tempat bertemunya supply and demand, dalam hal ini antara dokter dan warga yang menjadi pengguna platform.
Kata 'bersama-sama' dalam era kolaboratif ini bisa di-deliver lewat berbagai teknologi sebagai enabler. 'Bersama-sama' mesti dilakukan secara kolaboratif, co-creation, real-time, efisien, intens dan kontinyu dalam dunia yang makin terhubung. Tidak hanya mengeluarkan isolasi masyarakat dari ketidaktahuannya soal kesehatan dan mengeksplorasi penyakit, tapi juga sebagai fasilitas tenaga medis, pemerintah dan industri kesehatan meningkatkan nilai dan inovasi baru. Sistem ini menjanjikan proses dan hasil yang lebih murah, lebih baik dan lebih aman. Begitu berharganya konsep collaborative health care ini sampai Harvard Medical School pun memiliki Center for Connected Health untuk penelitan dan pengembangannya.
EMPLAT PILAR JKN 2.0
1. Komunitas dan Kolaborasi
Joseph C Kvedar, Direktur Center for Connected Health Harvard Medical School mengatakan, "Meningkatkan akses dan penggunaan internet dan gawai membuat pasien bisa membagikan informasi dan berinteraksi dengan cara-cara baru. Hal ini akan memperkokoh kemampuan mereka dalam menjaga kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup."
Pernahkah anda membayangkan sistem media sosial pembangunan Qlue diimplementasikan ke dalam aplikasi JKN 2.0? Warga pada Qlue kita sinonimkan dengan peserta BPJS secara kewilayahan dan aparat disinonimkan dengan dokter keluarga. Bila setiap pengguna di Qlue langsung tergabung ke My Kelurahan berdasarkan lokasi, maka pada JKN 2.0 peserta JKN akan langsung tergabung ke komunitas faskes yang mereka pilih. Warga secara bersama-sama akan berbagi pengalaman, tips, peristiwa, hingga kegiatan yang berhubungan dengan perawatan kesehatan. Dokter yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan akan hadir di situ menjadi pengayom dan siap melayani konsultasi dengan cara yang mirip dengan HaloDoc. Melalui aplikasi ini anggota komunitas bisa saling berbagi informasi tentang kegiatan atau kelompok olahraga seperti senam, yoga, jogging, gym dsb.
Tak hanya komunitas berdasarkan faskes dan olahraga pilihan, namun juga komunitas berdasarkan keluhan penyakit. Warga dengan keluhan penyakit jantung misalnya, dikumpulkan dalam aplikasi ini ke dalam sebuah kelompok dimana mereka bisa saling berbagi informasi, tips dan pengalaman dalam pembinaan dokter. Bagi penyedia layanan kesehatan, komunitas seperti ini bermanfaat untuk menggali lebih dalam masalah-masalah kesehatan secara lebih spesifik. Informasi penyakit, gejala dan pengobatan yang ditulis anggota, tidak hanya bermanfaat bagi anggota lain untuk memperkaya informasi dan mempermudah pengambilan keputusan. Tapi juga big data bagi tenaga medis dan industri untuk mengembangkan metode dan produk kesehatan baru.
Komunitas-komunitas ini merupakan jantung utama bagi terbentuknya JKN 2.0 sebagai sebuah ekosistem yang kemudian secara kolaboratif bekerja saling meningkatkan nilai, melayani, belajar, berinovasi dan memecahkan masalah.
2. Riwayat Kesehatan Pribadi
Apakah anda tahu berapa kali anda sakit? Tahu obat apa saja yang pernah anda konsumsi? Ingat cara dulu dokter merawat anda? Tidak. Karena anda tak punya catatan itu. Rumah sakit atau klinik yang jaraknya 100 km dari anda juga tidak tahu. Yang punya data tersebut hanya rumah sakit atau klinik tempat anda pernah berobat.
Sistem kesehatan yang kita kenal mengisolasi pasien dari catatan kesehatan pribadi. Berbeda dengan cara kerja bank dimana kita bisa mengakses data keuangan setiap saat, dan dengan itu mempermudah mengambil keputusan. Data kesehatan kita tidak dengan mudah ditransmisikan antarpihak. Hal ini memperbesar risiko tenaga medis membuat keputusan yang salah.
Bayangkan ketika setiap peserta JKN memiliki catatan riwayat kesehatan pribadi yang tersimpan secara digital serta bisa akses tiap saat. Akses bisa diberikan ke pihak yang menangani kesehatan kita meski berbeda tempat, dengan izin tentunya. Riwayat kesehatan pribadi semacam ini akan jadi pondasi dalam JKN 2.0 sebagai jendela tiap orang mengetahui data kesehatannya sendiri. Bagi tenaga medis, ia akan jadi perangkat sangat vital untuk membuat keputusan atau mengawasi kondisi kesehatan kita.
3. Big data kesehatan nasional
Siapakah dokter paling tenar dan paling banyak dikunjungi orang di dunia? Dr Google. Google adalah agregator informasi paling kuat di planet ini.
Dunia kesehatan kita tidak akan bisa menembus batas tanpa memiliki data skala masyarakat luas dalam waktu yang panjang. Data-data ini bermanfaat untuk mengembangkan metode dan inovasi baru berdasarkan evidence-based. Bayangkan apa yang akan kita punya bila Indonesia punya laman riwayat kesehatan pribadi 250 juta rakyatnya. Data ini akan menjadi driver bagi pengembangan perawatan kesehatan evidence-based yang sangat luas. Kita ditantang untuk menciptakan sebuah enabler yang tak hanya mampu mengumpulkan dan mengagregasi data dari satu tempat, tapi juga tempat-tempat lain yang bekerja secara self-organized, bahkan media sosial.
4. Persentuhan langsung tenaga medis
Konsep Indonesia Sehat yang menjadikan tenaga medis rekanan BPJS untuk mempromosikan kesehatan kepada warga yang dilayaninya secara intens, memerlukan enabler andal. Persentuhan langsung (enagagement) ini tak hanya lagi sebatas pertemuan tatapmuka, tapi bisa dilakukan melalui teknologi seperti yang dilakukan HaloDoc. Mulai dari konsultasi, membuat jadwal temu, penulisan resep, bahkan pembayaran. Setiap pasien bisa menuliskan komentar, pertanyaan dan membagikannya ke media sosial. Bayangkan ketika setiap peserta JKN memiliki akses langsung ke dokter secara pribadi lewat ujung jari mereka tanpa kendala, tanpa biaya.
Engagement ini juga bisa diimplementasikan dalam bentuk akses layanan pada fasilitas kesehatan. Mulai dari booking kunjungan faskes sehingga tak perlu antre, memanggil ambulan, lokasi fasilitas kesehatan terdekat, hingga memesan obat menggunakan resep digital yang diberikan oleh dokter langsung ke apotek menggunakan aplikasi. Bukan ide baru, bahkan Go-Jek saat ini sedang bersiap meluncurkan Go-Med: layanan pesan-antar obat melalui aplikasi.
***
Tentu gagasan panjang di atas tidak bisa seluruhnya saya sampaikan kepada Bapak Bayu dalam Kompasiana Nangkring. Namun saya sempat mengutarakan pendapat tentang pentingnya kampanye promotif dan preventif bagi BPJS. Bapak Bayu menjawab, "Kita inginnya sih begitu. Tapi bukan wilayah kita. Kalau kita yang melakukan nanti bisa ribut."
Isu birokrasi dan kewenangan sudah jadi topik lama di negeri ini. Tapi mewujudkan JKN dan BPJS Kesehatan yang berkelanjutan adalah salah satu prioritas dan diperlukan upaya bersama untuk mewujudkannya. BPJS Kesehatan memang memiliki pekerjaan rumah meningkatkan gotong royong iuran. Namun ada pekerjaan yang tak kalah penting untuk menjamin keberlanjutan JKN dan BPJS Kesehatan: meningkatkan value layanan yang dalam tulisan ini diwujudkan melalui JKN 2.0. BPJS Kesehatan sebagai garda terdepan keberhasilan JKN mesti menjadi lokomotif utama perwujudan JKN 2.0 sebagai perawatan kesehatan kolaboratif yang merupakan masa depan kesehatan nasional. Kita yakin BPJS Kesehatan mampu menjalankan misi besar ini.
BPJS Kesehatan sehat, rakyat sehat, bangsa sehat. (***)
Connect with me on Facebok Hilman Fajrian // Twitter @SoclabID
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H