Lalu bagaimana pemimpin dan pengelola pemerintahan bertindak dalam dunia yang gila ini? Jadilah kolaborator dengan menjadikan warga sebagai rekanan. Jadilah pemimpin orkestra bagi setiap potensi masyarakat untuk menciptakan nilai-nilai baru dalam tata kelola pemerintahan. Jadilah sebuah platform sosial -- alih-alih menjadi pemimpin sentral -- bagi masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Kini yang disebut sebagai 'kerja bersama' bukan lagi slogan karena ia bisa diwujudkan secara nyata dalam dunia yang menyediakan teknologi kolaborasi dalam skala massal. 'We the people!' bukan lagi slogan politik, karena setiap orang telah bisa menghela segala kekuatannya dengan cara yang efisien, real-time, efektif, dan masif melalui berbagai perangkat teknologi.
Bila anda mengikuti sejarah dan perkembangan open source dalam dunia teknologi, pasti anda akan cepat mendapat gambaran soal apa itu Pemerintahan Open Source. Linux saat ini menjadi sistem operasi yang paling banyak digunakan dalam perangkat komputasi dunia: dari PC, mesin server, sampai Android (ya, Android itu adalah Linux). Anda membaca tulisan ini di Kompasiana karena infrastruktur yang berbasis Linux. Sistem operasi ini dikembangkan oleh ribuan programmer di seluruh dunia yang dirintis oleh Linus Torvalds dan kini menjadi sebuah bisnis triliunan dolar. Tanpa pemilik, tanpa satu pun yang berhak memegang hak ciptanya. Karena gratis dan open source, setiap orang bisa mengembangkannya, menambahkan nilai, bahkan menciptakan bisnis baru. Kita bisa berkumpul di sini karena Linux digelar secara open source, yang berhasil menghadirkan ekosistem bisnis internet yang murah, andal, sekaligus membuka peluang bagi inovasi-inovasi baru. Jangan mimpi bisa menikmati internet dan web murah bila ia hanya digantungkan pada sistem operasi berbayar dari Microsoft atau Sun Microsystem yang harganya setinggi langit.
Pemerintahan open source adalah sebuah pemerintahan yang melibatkan setiap orang warganya dalam proses penciptaan nilai demi mewujudkan tujuan bersama. Ia akan bertindak sebagai sebuah platform atau ruang, ketimbang pemilik tahta dalam tradisi feodal.
Kita melihat bagaimana Ridwan Kamil menggelar kampanye #NgepelBraga mengajak seluruh masyarakat Bandung membersihkan Jalan Braga. Cara yang tidak umum. Kepala daerah tradisional akan mengerahkan pasukan dinas kebersihan untuk membersihkan kawasan tersebut. Namun kepala daerah open source akan mengajak semua orang membersihkan jalan itu. Karena #NgepelBraga bukan sekedar membersihkan jalanan yang kotor. Melainkan mengubah pola pikir masyarakat dalam skala luas, meningkatkan kepedulian, dan membangun kesadaran bahwa setiap individu itu penting dalam tata-kelola pemerintahan dalam mewujudkan tujuan bersama -- yang tak hanya penting ketika mereka berada dalam bilik suara pemilu. Hingga saat ini, saya tidak pernah melihat ada warga kota yang lebih peduli pada kebersihan kotanya dibanding warga Bandung dan semangat ini begitu berkobar di media sosial.
Berbagai inisiasi dan gerakan dalam politik anggaran juga sudah dimulai di Indonesia. KawalAPBD.com adalah salah satu contohnya. Meski bentuknya masih sangat prematur, situs yang menampilkan belanja pemerintah ini adalah embrio bagi keterbukaan dan integritas politik anggaran pemerintah dan legislatif. Diperlukan dorongan yang kuat untuk mengembangkan sistem transparansi di situs tersebut.
Tapi kenapa harus berhenti pada transparansi? Kenapa tidak kolaborasi dan partisipasi? Kolaborasi dan partisipasi masyarakat dalam politik anggaran bukan hal baru dalam pemerintahan dunia. Di Kota Belo Horizonte di Brazil, contohnya, masyarakat secara langsung telah berpartisipasi mengatur anggaran pemerintah sejak 1993. Di Kota Zeguo di Tiongkok, warga terlibat dalam jajak pendapat dalam pengaturan belanja prioritas pemerintah lokal. Di Kota Hamburg di Jerman, partisipasi pengaturan anggaran oleh masyarakat dilakukan sejak 2006 secara online. Situs yang mereka gunakan dikunjungi oleh lebih dari 50.000 orang yang menghasikan 2.100 rancangan anggaran dari warga, yang kemudian digodok serta didiskusikan di surat kabar lokal dan menjadi pertimbangan terpenting dalam pengaturan anggaran di parlemen.Â
Dan itulah gelombang kedua e-gov: sebuah sistem tata kelola pemerintahan yang diperkuat oleh perangkat komputasi untuk menghadirkan keterbukaan, distribusi kekuasaan, keterlibatan, dan sebuah platform penciptaan nilai-nilai baru dalam tata kelola pemerintahan menggunakan kekuatan masyarakat.
Yang disebut di atas itu bukan politik anggaran yang kita kenal selama ini di Indonesia. Selama ini, sebelum APBD dirancang, pemerintah dan DPRD akan menggelar Musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) yang dilakukan dari tingkat kecamatan. Eksekutif dan legislatif akan mengumpulkan masyarakat di sebuah tempat, mendengarkan aspirasi pembangunan dari warga, mencatatnya, dan kemudian dibahas bersama oleh Badan Anggaran (Banggar) DPRD serta pemerintah yang bersatu dalam kelompok yang dinamakan TAPD (tim aggaran pemerintah daerah). Pertama, apakah anda pernah ikut Musrenbang yang dilakukan di kecamatan anda? Kemungkinan besar tidak. Kedua, apakah anda tahu apa saja yang dibahas oleh TAPBD? Makin tidak tahu lagi. Ketiga, apakah anda tahu rincian APBD daerah anda atau seperti apa kelak APBD dibelanjakan untuk membangun kelurahan anda? Gelap.
Di sisi lain, kita memiliki teknologi yang memungkinkan aksi kolektif, partisipatif, dan kolaboratif dalam penyusunan anggaran. Misal, seorang warga bisa mengajukan usulan proyek kepada pemerintah melalui sebuah situs, lalu ia menyebarluaskannya ke jejaringnya sehingga mendapat rating atau vote dari banyak orang, kemudian usulan itu dibawa ke pembahasan anggaran. Persis seperti yang dilakukan di Jerman. Apakah ini soal software e-gov? Tidak! Ini soal perubahan paradigma, sistem, tradisi, hierarki dan kemauan politik yang kuat. Lawannya adalah para dedemit anggaran dan kepentingan politik kotor yang telah membusukkan institusi pemerintahan kita saat ini. Sistem baru ini akan meruntuhkan kultus pakar kebijakan: pihak elit yang selama ini merasa bahwa cuma merekalah yang berkuasa dalam penentuan kebijakan apa yang terbaik bagi masyarakat.
***
Bisakah kita mengharapkan pemerintah incumbent mengadopsi dan menggelar pemerintahan open source macam ini? Jangan terlalu berharap. Karena dalam perubahan-perubahan besar, incumbent adalah pihak yang paling terakhir berubah (setelah gagal melakukan perlawanan). Tak hanya di bidang politik dan pemerintahan, tapi juga ekonomi, industri, pendidikan, hingga lingkungan hidup. Perubahan itu mayoritas (bila bukan selalu) dihadirkan oleh kekuatan yang serius menginginkan perubahan, yakni para 'korban terdampak', yaitu kita sebagai masyarakat.