Semua orang yang mengharapkan stabilitas di zaman ini akan kecewa. Banyak ekonom yang bersepakat bahwa pasca krisis ekonomi 2008 dunia tak akan lagi sama. Dunia yang makin saling terhubung, saling ketergantungan, dan diturunkannya pagar pembatas antar negara akan membuat masalah ekonomi di sebuah negara 'di ujung dunia' berdampak pada negara di seluruh dunia. Krisis Yunani 2010 contohnya. Kita melihat kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) soal kredit perumahan (subprime mortage) menggulingkan ekonomi dunia sejak 2008 dan belum sembuh sampai saat ini. Kartel OPEC dulu dengan mudah mengontrol harga minyak, namun sekarang bandul berpindah ke AS karena shell oil/gas serta Iran yang baru dicabut embargonya, sehingga menimbulkan PHK besar-besaran di bisnis migas dan tambang Indonesia, serta harga BBM yang tidak stabil. Masih kurang? Krisis Eropa 2010 berdampak langsung ke China sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia, dan dengan cepat menulari ekonomi negara-negara lain termasuk Indonesia. Sampai sekarang. Belum sembuh. Belum stabil. Dan tidak akan stabil. Selamanya.
Generasi baby-boomer dan generasi X sulit memahami ini ketika pada zaman mereka dulu hanya 2 pihak yang memainkan peran atas stabilitas: AS dan Uni Sovyet. Bicara stabilitas, berarti bicara tentang 2 pihak ini. Ketika itu stabilitas lebih mudah diciptakan karena hanya dimainkan oleh 2 pemimpin kutub yang sama-sama punya kepentingan menjaga stabilitas agar ekonomi dan politik mereka bisa dijalankan secara berkelanjutan. Jatuhnya Sovyet di akhir 1980-an menghadirkan babak baru dalam politik dan ekonomi dunia. Kejatuhan itu ternyata tidak membuat AS jadi pemenang karena kekuatan menjadi terdistribusi. Dalam buku terkenalnya yang berjudul 'The Third Wave: Democratization In The Late Twentieth Century' yang diterbitkan tahun 1991, Samuel Huntington berargumen akan ada perpecahan besar di abad ke-21 yang disebabkan oleh perbedaan budaya dan agama. Terdistribusinya kekuatan pasca Sovyet akan membuat konflik dunia tak kunjung selesai dan masa depan kian sulit diprediksi.
Bukankah itu yang kita lihat sekarang? Dulu kakek dan orangtua kita hanya cemas AS dan Sovyet meluncurkan nuklir. Sekarang kita cemas seseorang dengan tas ransel bisa meledakkan gedung atau meracuni seisi airport dengan gas sarin. Kelompok terorisme sekarang dibangun atas sel dan makin mandiri. Tak lama setelah Al Qaeda bubar, muncul ISIS yang membangun sel-sel di seluruh dunia yang bertindak otonom. Dulu AS hanya perlu menghadapi kekuatan militer Sovyet. Kini China dan India berambisi membangun kekuatan pertahanan baru dunia. AS dan Rusia tengah berebut pengaruh di Timur Tengah dibantu para kompatriotnya, menciptakan rezim-rezim baru serta kawasan subur untuk berkembangnya gerakan terorisme baru. Dalam tiga dekade hidupnya, generasi Y atau millenials telah dihantam tiga gelombang besar krisis ekonomi: 1998, 2008, 2010. Bahaya lain yang mengintai generasi kita adalah perubahan iklim yang membuat semua makin tak menentu: cuaca, ketahanan pangan, penyebaran penyakit, migrasi spesies, dll. Dunia bipolar yang dulu dikenal orangtua dan kakek kita, kini berubah menjadi dunia yang multipolar.
Bila anda menginginkan stabilitas, anda hidup di zaman yang salah.
Ini adalah kabar baik kedua:Â bencana dan instabilitas itu telah melahirkan generasi yang siap siaga dan tahan benturan. Korupnya sistem politik, pemerintahan, ekonomi, industri dan tata kelola lingkungan membuat generasi kita berpikir bahwa para baby boomer dan generasi X telah meninggalkan dunia yang rusak bagi kita. Sehingga kita tak lagi percaya pada paradigma, tradisi, sistem dan tata kelola lama. Ketika terus-terusan dihajar oleh bencana, krisis dan peperangan, generasi ini secara alamiah memiliki sebuah sifat baru: keterhubungan dan interdependensi (saling ketergantungan). Terhubung dan berkolaborasi adalah sifat dasar mereka sebagai pribumi di dunia digital (digital native). Generasi ini akan frustasi bila dalam sehari saja tidak bisa terhubung dengan orang lain melalui berbagai perangkat digital. Ketika terhubung (connected) menjadi karakter mereka, generasi ini juga menerima bahwa keterhubungan dan interdependensi akan menciptakan kerentanan dan instabilitas. Sekaligus peluang. Maka lahirlah kultur-kultur baru global: kepedulian, perasaan senasib, belajar dan bertindak bersama sebagai masyarakat dunia.
Sebuah generasi baru yang tahan banting dan ditempa oleh instabilitas telah lahir. Mereka tidak percaya pada sistem dan tradisi lama. Mereka telah mendefinisikan ulang apa itu stabilitas, kesejahteraan, pembelajaran, tindakan, hingga revolusi. Bagi pemerintahan yang serius ingin menghadirkan perubahan dengan segala konsekuensi baik dan buruknya, inilah saatnya!
KEBANGKITAN MASYARAKAT PARTISIPATIF
Gambaran perbedaan tata kelola pemerintahan zaman dulu dan zaman sekarang sama seperti gambaran cara kerja media tradisional dan media baru (new media). Media tradisional adalah segala sesuatu tentang kontrol, satu arah, sentralistik, hierarki, dan mendudukkan konsumen sebagai penerima pasif. Pemilik atau pengelola media menentukan informasi apa yang layak didapatkan masyarakat. Mereka adalah produsen sekaligus pemain, juri dan wasit. Sementara kita hanya duduk di tepi lapangan. Sementara new media adalah segala sesuatu tentang kemandirian, kerjasama antar sejawat (peering), keterbukaan, interdependensi, akuntabilitas, serta integritas yang dibangun oleh para individu serta kelompok. Alih-alih jadi konsumen pasif informasi media tradisional, individu saat ini memproduksi, menfabrikasi, mengkostumisasi, me-remix, dan mendistribusikan kontennya masing-masing. Informasi menjadi komoditas gratis yang bisa diciptakan dan digerakkan secara mudah, dimodularisasi, dan ditambahkan nilainya oleh setiap individu. Inilah zaman ketika setiap individu memiliki kekuatan dan pengaruh yang (bisa) sama besarnya dengan institusi besar yang dikenal dalam sejarah umat manusia. Ketika invidu-individu ini bersatu lewat sebuah platform kolaborasi massal digital, mereka mampu menghadirkan perubahan-perubahan revolusioner dalam peradaban masyarakat.
Dalam dunia dimana kekuatan makin terdistribusi, pemerintah tak bisa lagi menganggap dirinya sebagai pihak sentral. Distribusi kekuasaan menjadi amat penting dan mesti berdiri di atas prinsip-prinsip keterbukaan dan integritas. Karena hanya keterbukaanlah yang jadi pondasi dan mampu menciptakan akuntabilitas serta kredibilitas dalam dunia keterhubungan yang rentan ini. Bila pemerintah lambat atau gagal, kekuatan dan kekuasaan itu akan direbut oleh masyarakat. Tak peduli apakah mereka diperbolehkan atau tidak. Karena sudah menjadi sifat manusia untuk selalu menguji batasan.
Contohnya? Lihatlah apa yang terjadi pada Pilpres 2014. Ketika KPU dengan lambat dan tertutup mengelola hasil perolehan suara, dari Singapura Ainun Najib dan kawan-kawannya di AS meluncurkan Kawalpemilu.org, sebuah situs crowdsourcing diseminasi hasil perolehan suara Pilpres per TPS yang ditenagai oleh ratusan voluntir dari seluruh Indonesia. Gerakan ini tanpa pemimpin, tanpa pemodal, tanpa mandat dari otoritas. Ia lahir dan terjadi begitu saja. Gerakan ini tak hanya jadi tamparan bagi KPU, tapi menghadirkan tradisi dan paradigma baru dalam dunia politik khususnya pemilu di Indonesia: keterbukaan, kecepatan, kerjasama, dan kemandirian.
Contoh lain? Ketika politisi ribut saling menyalahkan atas tragedi pembakaran masjid di Tolikara, ribuan orang dalam 2 hari mengumpulkan donasi online sebanyak Rp300 juta lebih lewat situs crowdfunding Kitabisa.com untuk membangun kembali masjid tersebut. Solutif, cerdas, mandiri, bekerjasama, dan penuh integritas.
Lalu, apakah generasi ini hanya mau dijadikan penonton atas sistem pemerintahan yang korup, rusak, lamban? Tidak. Mereka akan bertindak dan berpartisipasi dalam tata kelola pemerintahan lewat berbagai aspek. Mereka ingin berpartisipasi dan bertindak, sebagai invidudi ataupun secara massal. Tak peduli mereka diperbolehkan atau tidak. Karena mereka tak punya pilihan selain ikut berpartisipasi untuk memperbaiki pemerintahan dan dunia yang sudah rusak ini.