Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Smart Grid: Lompatan Kuantum Era Green Economy

28 Desember 2015   09:00 Diperbarui: 30 Desember 2015   09:58 1630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Arsitektur sederhana Smart Grid. (sumber: vattenfall.com)"][/caption]

Media sosial di Balikpapan rutin ribut minimal seminggu sekali setiap listrik PLN padam. Di kota berjuluk Kota Minyak ini, PLN 'menjatah' kami pemadaman listrik seminggu sekali. Lama pemadaman rata-rata 6 jam. Pemadaman ini sudah berlangsung sejak akhir 1990-an sampai sekarang. Hal yang sama juga terjadi di kota lain di Kalimantan Timur yang tergabung ke jaringan pembangkit Sistem Mahakam. Alasannya selalu serupa: kurang pembangkit atau pembangkit rusak.

"Daerah kaya minyak dan batubara tapi tak punya listrik!". Semacam itulah keluhan di media sosial.

Di kota inilah kilang pengolahan Pertamina Refinery Unit (RU) V bertempat. Meski tak ada hubungannya dengan penyediaan listrik PLN, warga tetap melihatnya sebagai paradoks.

Daya listrik yang disediakan PLN tidak mencukupi kebutuhan masyarakat dan pelaku usaha, terutama di waktu beban puncak. Hampir semua hotel dan pusat perbelanjaan di Balikpapan memenuhi kebutuhan listriknya bukan dari PLN, tapi pembangkit listrik sendiri. Tidak sedikit rumah tangga di Balikpapan yang memiliki genset yang digunakan tiap listrik padam. Sehingga kemandirian penyediaan energi, khususnya listrik, bagi kebutuhan pribadi atau usaha adalah hal lumrah di Balikpapan. Meski akan membuat pelakunya mengeluarkan biaya lebih besar, tapi manusia mana yang tidak butuh listrik?

Mungkin itu masalahnya. Kita berada dalam sistem penyediaan energi yang tersentralisasi, tak mandiri, tak efisien dan terlalu tergantung pada pemilik sumberdaya besar. Sistem ini sebenarnya bukan milik kita. Kita hanya konsumen yang tergantung penuh sistem yang dimiliki dan dikendalikan pihak lain -- yang sayangnya tak bisa kita kontrol. Namun sebagai konsumen kita tak punya keleluasaan memilih produk. Mengoperasikan genset di rumah tangga jauh lebih mahal ketimbang beli listrik dari PLN. Tapi satu-satunya pihak yang berwenang menangani transmisi listrik di negeri ini hanya PLN.

Bagaimana bila setiap rumah tangga mampu menyediakan kebutuhan energinya sendiri secara mandiri, murah dan bersih?

Bagaimana kalau setiap orang tak lagi tergantung pada jaringan listrik (grid) yang tersentralisasi, sebaliknya, kita bisa menyuplai listrik ke dalam jaringan besar dan bekerja secara kolaboratif antar orang (peer)?

Apakah ini utopia?

IMPIAN USER GENERATED ENERGY (UGE)

Siapapun yang menganggap ide di atas sebagai utopia, ingatlah internet. Di masa lalu internet bekerja layaknya jaringan listrik atau grid yang kita kenal sekarang: tersentralisasi dan dikendalikan oleh pemilik sumberdaya. Sumberdaya itu bernama informasi. Informasi ini berasal dari korporasi besar atau pemerintah yang menggunakan internet sebagai medium content delivery satu arah. Pengguna internet hanya didudukkan sebagai konsumen informasi yang mereka pasok.

Hingga lahirnya teknologi Web 2.0 dimana setiap pengguna internet bisa menciptakan konten atau informasi. Kemudian kita mengenalnya dengan nama Facebook, Twitter, Youtube, Instagram, blog, wiki, forum, torrent, ecommerce dll -- segala platform berbasis user generated content (UGC).

UGC yang dijalankan lewat mekanisme produksi perorangan (peer production) secara kolaboratif nyatanya telah mengakselerasi inovasi, ilmu pengetahuan, keadilan informasi serta peningkatan nilai dalam segala bidang. Mulai politik hingga hukum, dari ekonomi hingga sosial. UGC telah benar-benar mengubah wajah dunia yang kita kenal dari yang tersentralisasi menjadi terdesantralisasi, mandiri, inovatif dan kolaboratif.

[caption caption="Gambaran user generated content di internet yang berlangsung saat ini. Mungkinkan ini dilakukan di sektor energi? (sumber: silvercreativegroup.com)"]

[/caption]

Berkat UGC, pengguna internet tak lagi tergantung dari penyedia informasi mainstream seperti pemerintah, kantor berita atau content provider lain. Setiap orang merdeka dalam penyediaan kebutuhannya akan informasi dan saling bekerjasama secara peer to peer memenuhi kebutuhan tersebut.

Ketika UGC mungkin dilakukan, mengapa tidak dengan user generated energy (UGE)?

"Sejak Thomas Alfa Edison wafat, kita hanya telah menciptakan lampu neon. Selebihnya tidak ada," ujar Leonard Gross, eksekutif Hydro One, perusahaan utilitas kelistrikan.

RAVINA PROJECT: PARADIGMA BARU BIDANG ENERGI MIKRO

Tahukah anda, dua per tiga energi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga batubara dan gas terbuang dalam bentuk panas. Listrik yang sampai ke rumah anda hanya 8% dari total energi yang dihasilkan oleh pembangkit -- sisanya habis dalam perjalanan. Sentralisasi jaringan listrik ini tak efisien, mahal, berisiko tinggi, berdampak luas dan tak punya wadah cadangan. Pemadaman listrik atau blackout di Amerika Serikat dan Kanada tahun 2003 yang melumpuhkan 55 juta warga selama 48 jam telah merugikan negara itu sejumlah $ 80 miliar atau Rp 1.120 triliun. Jaringan tersentralisasi ini bukan hanya mahal, tapi jauh lebih mahal lagi bila padam.

Blackout tahun 2003 meyakinkan Gordon dan Susan Fraser bahwa mereka berada dalam sebuah sistem energi yang vulnerable atau berisiko tinggi. Pasangan yang tinggal di 75 Ravina Crescent, timur Ontario Kanada ini ngeri membayangkan bagaimana bila blackout itu terjadi di musim dingin dimana suhu bisa mencapai -30 derajat celcius.

"Kami bisa mati. Kami menginginkan sumber energi alternatif bila saja ada kegagalan dalam sistem jaringan listrik," ujar Susan.

Tahun 2006, pasangan yang sudah pensiun bekerja ini memulai eksperimen secara otodidak membangun pembangkit listrik tenaga matahari melalui solar panel atau panel surya1,5 kilowatt (kW) di atap rumah. Sebagai mantan programmer komputer, Gordon membuat dudukan panel surya yang bisa bergerak mengikuti arah sinar matahari untuk memaksimalkan energi yang masuk. Dudukan itu terintegrasi dengan integrated satellite receiver and descrambler (IRD) untuk mengontrol pergerakannya. IRD biasa digunakan untuk piringan satelit, tapi Gordon memakainya untuk panel surya. Energi yang masuk kemudian ditampung ke dalam baterai besar sebagai storage.

[caption caption="Panel surya di rumah Gordon dan Susan Fraser, awal mulanya Ravina Project. (sumber: Youtube)"]

[/caption]

Setahun kemudian, dengan menambah satu baterai lagi pasangan Fraser bisa memenuhi 94% kebutuhan listrik rumah tangga mereka lewat panel surya. Mei 2007, mereka keluar dari jaringan listrik utama dan hanya menggunakan panel surya untuk kebutuhan listrik. Mereka juga menambah turbin angin di belakang rumah sebagai pembangkit yang membuat mereka surplus listrik. Pasutri ini telah membuktikan bahwa penyediaan energi di lingkup mikro bisa dilakukan secara mandiri, inovatif dan bebas emisi. Tak hanya itu, surplus energi bisa mereka kirimkan ke dalam jaringan listrik utama untuk membantu orang lain.

Dari segi ketersediaan energi, jelas tenaga surya sangat prospektif di masa depan. Setiap tahun, matahari mengirimkan radiasi surya yang mencukupi kebutuhan energi manusia lebih dari 10.000 kali.

Inovasi bernama Ravina Projectini secara rutin mempublikasikan data energi yang dihasilkan dan dikonsumsi secara harian lewat situs dan akun Twitter. Biaya yang dikeluarkan Fraser untuk project ini tidak murah: US$45.000 atau Rp600 juta. Namun mereka berhasil membuktikan bahwa kebutuhan energi rumah tangga bisa disediakan dan dikelola secara mandiri, dan jumlah uang di atas adalah investasi mereka bagi masyarakat. Bagi ekonomi dalam skala lebih besar, mereka membuktikan bahwa menciptakan energi mikro yang ramah lingkungan jauh lebih efisien dibandingkan membangun pembangkit listrik besar yang tersentralisasi.

Bagi Pemerintah Ontario, Ravina Project adalah berkah bagi masyarakat. Pemerintah setempat memberikan insentif besar bagi mereka yang ikut serta dalam proyek ini dan mewujudkan 100.000 rumah dengan panel surya di tahun 2009. Perusahaan lokal bernama One Block Off The Grid di masa awal telah ikut menginstalasi panel surya di 6.000 rumah di tahun pertama. Dengan besarnya permintaan pasar, harga instalasi panel surya di Ontario tahun 2009 sudah lebih murah 50%. Dengan Ravina Project di Ontario, Kanada berhasil menurunkan kadar emisi 15%.

[caption caption="Komplek perumahan dengan sumber energi tenaga surya di Santa Barbara, Amerika Serikat. (sumber: solarworld-usa.com)"]

[/caption]

HARGA MASA DEPAN LISTRIK TENAGA SURYA

Di tahun 1980-an biaya listrik tenaga surya berada di kisaran $ 30/kWH atau Rp 410 ribu. Bandingkan dengan harga listrik dari PLN yang kita nikmati saat ini yang seharga Rp 1.500/kWH. Tapi itu dulu. Dengan maraknya inovasi, makin seksinya industri ini serta turun drastisnya harga polysilicon sebagai bahan dasar sel surya, harganya jatuh secara fantastis.

Kalkulator panel surya yang dibuat Michael Blue Jay menunjukkan bila kita hendak menginstalasi panel surya yang memasok listrik 500 kWH/ bulan di rumah dengan tarif instalasi $ 2/watt serta rabat pemerintah $1,5/watt, maka biaya instalasinya senilai $ 1.295 atau Rp 17 juta. Investasi ini akan kembali dalam 1 tahun 9 bulan. Biaya listrik yang kita keluarkan untuk investasi 21 tahun hanya 0,01 sen dolar/KWH atau Rp 13/KWH. Ya, hanya Rp 13/kWH! Sangat jauh dibandingkan harga listrik dari PLN saat ini yang Rp 1.500/kWH.

[caption caption="Grafik harga listrik tenaga surya 1977-2013. (sumber: Economist.com)"]

[/caption]

Itu hanya dari aspek harga keekonomian di sisi konsumen. Belum dihitung keuntungan yang ditimbulkan atas ditekannya biayapembangunan pembangkit listrik konvensional, biaya operasi dan transmisinya, penurunan emisi serta penekanan risiko atas insiden atau blackout.

Hal ini jelas mengubah paradigma, kultur dan cara pandang kita terhadap penyediaan energi. Dari konsumen menjadi produsen, dari tergantung menjadi mandiri, dari pasif menjadi aktif. "Kita perlu paradigma baru dan tak bisa lagi berdiri di atas fondasi yang sama terhadap penyediaan energi model lama," ucap Gordon Fraser.

Dengan model baru ini, kelak pihak penyedia ketenagalistrikan, akan beralih sebagai perusahaan utilitas sepertiOne Block Off The Grid. Bisnis utamanya kelak bukan lagi menyediakan pasokan listrik, tapi menangani instalasi aplikasi user generated energy (UGE) di setiap bangunan. Mulai dari perumahan sampai perkantoran, dari sekolah hingga rumah ibadah.

ELECTRICAL SMART DEVICE BUKAN MIMPI

Apakah anda tahu berapa uang yang telah anda keluarkan untuk menyalakan lemari es selama sebulan? Atau, berapa rupiah telah anda habiskan untuk satu lampu di kamar yang menyala 8 jam per hari? Atau, berapa yang harus anda bayar ke PLN untuk menyalakan televisi dalam sebulan?

Tidak tahu. Bahkan bila anda tanya ke petugas PLN-pun mereka tidak tahu. Informasi real-time mengenai konsumsi listrik di skala mikro sampai sekarang di Indonesia adalah 'misteri besar'. Di sisi lain, kita memerlukan informasi itu untuk melakukan kontrol dan pengelolaan.

Bagaimana bila jaringan listrik tak hanya bisa menghantarkan listrik, tapi juga mentransaksikan informasi?

Sebutlah ia sebagai Smart Grid atau Jaringan Listrik Pintar. Ia adalah jaringan listrik yang terdesentralisasi, transparan, cerdas dan memungkinkan setiap orang menciptakan kapabilitas dan nilai. Kata 'smart' atau 'pintar' yang disematkan pada perangkat yang kita kenal seperti sekarang seperti smart phone atau smart device, adalah ketika perangkat itu punya kemampuan mentransaksikan informasi khususnya ke internet.

Apakah barang semacam ini hanya impian? Tidak.

Di tahun 2011 33 juta rumah di Amerika Serikat telah dilengkapi dengan smart meter. Perangkat ini bisa menginformasikan berapa daya listrik yang telah dan sedang kita pergunakan, serta biaya yang harus kita bayar. Smart meter mampu berkomunikasi dengan perusahaan penyedia energi. Namun ia belum benar-benar 'smart' karena hanya dipasang di meter induk dan informasinya hanya ditransaksikan kepada penyedia listrik. Tapi sangat jelas smart meter adalah lompatan besar dalam utilisasi ketenagalistrikan sekup mikro karena diciptakan dengan teknik komputasi yang sangat mungkin dikembangkan.

[caption caption="Smart power meter yang digunakan di Inggris. (sumber: powerengineeringint.com)"]

[/caption]

Kelak kita akan menemukan smart meter ini diaplikasikan pada steker atau 'colokan' listrik dan sakelar di rumah -- yang kemudian kita sebut smart socket atau smart switch. Keduanya akan terhubung ke smart meter sebagai induk. Seluruh perangkat cerdas ini juga bisa berkomunikasi dengan perangkat komputasi kita seperti smart phone atau PC untuk dipantau penggunaan dan diatur konfigurasinya. Kapan sebuah lampu taman harus hidup dan mati tak lagi harus menunggu kita bangun tidur lagi. Selanjutnya kita akan turut mengkategorikan perangkat kelistrikan ini ke dalam smart device atau perangkat pintar.

Data dan informasi dari utilitas kelistrikan smart device ini bisa turut dibagikan ke internet terutama untuk agregasi konsumsi data per wilayah atau per rumah. Dari agregasi data itu kelak bisa dipelajari metode penggunaan listrik secara efisien atau menghadirkan inovasi baru perangkat hemat listrik. Bisa juga dipergunakan sebagai alat bantu perdagangan karbon personal yang akan dijelaskan kemudian.

Apakah kita hanya bermimpi memiliki perangkat kelistrikan seperti itu? Tidak.

Berterimakasihlah pada Google.Sejak 2011 Google telah merilis software Google Power Meter (GPM) yang bisa disematkan ke setiap perangkat komputasi. GPM bisa membaca konsumsi listrik per perangkat, biaya yang dikeluarkan berdasarkan tarif, sampai pengaturan operasi perangkat. Ia dibagikan secara open source sehingga semua pihak bisa ikut mengembangkan software ini dan menyematkannya ke dalam perangkat.

Software serupa GPM dibuat Philips yang merilis lampu Philips Hue, lampu pintar yang terkoneksi dengan perangkat lain, bisa diatur penggunaannya dari jarak jauh dan memberi informasi konsumsi energi.

[caption caption="Lampu pintar Philips Hue. (sumber: Philips)"]

[/caption]

Belkin tak mau ketinggalan dengan membuat WemoSmart Switch atau 'colokan' listrik pintar dan sakelar pintar yang juga terhubung ke smart device lain. Pastinya juga bisa diatur penggunaan dari jarak jauh dan memberi informasi konsumsi energi seperti Philips Hue.

[caption caption="Wemo Insight Switch dari Belkin. (sumber: geeky-gadgets.com)"]

[/caption]

Harga Smart Meter, Philips Hue, Belkin WeMo dan merk smart device kelistrikan lain memang masih mahal. Tapi teknologi ini nyata dan open source. Tak hanya harga yang bisa ditekan, tapi inovasinya juga bisa dilakukan siapa saja. Sama seperti harga ponsel Android yang dulu di atas Rp 5 jutaan namun sekarang di bawah Rp 1 jutaan.

SMART GRID: KEMANDIRIAN, KOLABORASI DAN PASAR ENERGI MASYARAKAT

Sekarang mari kita bayangkan situasi ini: setiap rumah di Indonesia telah menerapkan UGE dan dilengkapi dengan electrical smart device. Artinya, setiap orang telah mandiri secara energi dan punya kontrol penuh. Mereka akan membagikan data energinya ke dalam jaringan: mulai tingkat RT, kelurahan, kecamatan, kota, hingga negara.

Apakah hanya data yang bisa dibagi? Tidak.

Setiap orang bisa menciptakan surplus energi dan membaginya ke dalam jaringan. Ini adalah penerapan nyata Wikinomic bidang energi dalam skala makro. Mandiri, produktif, kolaboratif, transparan, inovatif dan interdepensi.

Dengan UGE, setiap orang tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan energi rumah tangganya, tapi juga menciptakan surplus seperti yang dilakukan Gordon dan Susan Fraser. Surplus ini bisa dikirim ke dalam storage atau baterai besar deposit bersama yang disediakan pihak ketiga, untuk dijual. Pembelinya adalah pihak yang membutuhkan tambahan energi pada propertinya. Maka terciptalah pasar energi yang dilakukan secara kolaboratif dan produktif di atas prinsip-prinsip Wikinomic oleh seluruh elemen masyarakat lewat sebuah jaringan listrik pintar atau Smart Grid.

[caption caption="Arsitektur jaringan sederhana Smart Grid. (sumber: 3M.com)"]

[/caption]

Regulasi pengurangan emisi melalui pasar karbon akan membuat Smart Gridmenjadi sistem yang sangat menarik. Masyarakat tak hanya bisa menjual surplus energi, tapi juga menjual jatah karbonnya kepada pihak lain karena berhasil menekan konsumsi energi. Perdagangan karbon antar negara itu sudah lumrah. Namun kita sedang membicarakan perdagangan karbon antar masyarakat.

Pemerintah Inggris mulai 2010 melakukan pilot project perdagangan karbon masyarakat atau personal carbon trading (PCT) di Kota Manchester. Setiap warga dijatah produksi karbonnya lewat personal carbon allowance.Karbon dihasilkan melalui konsumsi energi per orang termasuk penggunaan di rumah tangga. Setiap smart meter rumah di Machester dilengkapi dengan informasi produksi karbon.Bagi mereka yang mampu menekan produksi karbon dengan cara berhemat energi, akan terjadi surplus atas jatah karbon. Surplus ini bisa dijual kepada pihak lain yang membutuhkan tambahan jatah karbon. Melalui PCT ini Manchester berhasil menurunkan emisi hingga 41%.

Lalu, apakah Smart Grid barang baru? Tidak.

Eropa telah meregulasi Smart Grid ke dalam Smart Grid European Technology Platform. Sementara di Amerika Serikat ia diatur dalam 42 United States Code subchapter 152. Ia didefinisikan sebagai teknologi ketenagalistrikan komputasi remote control dan automatisasi yang mampu berkomunikasi dua arah. Para raksasa komputasi sudah lama mengembangkan Smart Grid: Cisco, Google, Hydro One dan Silver Spring Networks. Entitas yang masuk dalam Smart Grid tak hanya rumah tangga, tapi juga bandara, jembatan, kanal, dam, rumah sakit, taman, transportasi publik dll.

Di tahun 2014 industri Smart Grid di Amerika telah mencapai $ 42,8 miliar. Sementara di dunia telah mencapai $ 171 miliar. World Economic Forum memprediksi investasi dunia di Smart Grid dalam 25 tahun mendatang akan mencapai $ 7.600 triliun.

[caption caption="Peta persebaran implementasi Smart Grid di Benua Eropa. (sumber: ses.jrc.ec.europa.eu)"]

[/caption]

[caption caption="Grafik dan peta investasi Smart Grid di Benua Eropa. (sumber: ses.jrc.ec.europa.eu)"]

[/caption]

DENMARK: DARI IMPORTIR KE EKSPORTIR ENERGI

Krisis minyak bumi tahun 1970-an telah membuat Denmark terhantam keras dibanding negara tetangga mereka. Setiap tetes minyak bumi di Denmark berasal dari impor dan mereka kesulitan membeli untuk menghidupkan pembangkit. "Ketika aku masih kecil dan sedang musim dingin, suhu di rumah kami tidak bisa lebih dari 16 derajat celcius karena kesulitan listrik. Itu mengerikan," kenang Anne Hojer Simonsen, Menteri Iklim dan Energi Denmark.

Perlu satu dekade bagi negara dengan 5 juta penduduk ini untuk pulih. Merekabertekad harus segera keluar dari ketergantungan energi fosil. Pemerintah Denmark dalam hal ini tak hanya bertindak sebagai regulator, tapi juga pengayuh dayung yang bekerja ekstra keras.

Dengan kepemimpinan yang kuat, Denmark berinvestasi sangat besar untuk pengadaan energi domestik yang berasal dari gas alam, biomasa hingga turbin angin. Insentif dan dana besar digelontorkan untuk penelitian dan perusahaan rintisan energi hijau. Mereka membangun jaringan energi hingga sampai tingkat terkecil. 80% turbin angin yang ada di Denmark saat ini adalah milik warga dimana energi yang dihasilkan dibeli oleh pihak ketiga. Denmark juga berhasil menghasilkan 140% kebutuhan energi negara mereka dari pembangkit tenaga angin. Berkat upaya kuat Pemerintah Denmark yang berkolaborasi bersama warga dan pelaku usaha, kini Denmark adalah pemimpin dunia dalam sektor energi tebarukan.

Tahukah anda, mulai 1980 hingga sekarang Denmark bisa mengelola nilai pertumbuhan konsumsi energinya sama dengan nilai pertumbuhan ekonomi. Denmark berhasil mengubah dirinya dari net-impotir menjadi net-eksportir di bidang energi.

[caption caption="Sumber energi di Denmark. (sumber: Danish Energy Agency)"]

[/caption]

SAATNYA BERHENTI MENYABOTASE MASA DEPAN

Era industrialisasi dimulai ketika James Watt menciptakan mesin uap, Thomas Edison menciptakan jaringan listrik dan George Wastinghouse menciptakan transmisi listrik jarak jauh. Setelahnya dimulailah eksploitasi sumber daya alam (SDA) fosil secara besar-besaran untuk menghidupkan mesin-mesin. Majalah New Scientist mengestimasikan energi yang dihasilkan dari satu barel minyak bumi setara dengan lima tenaga kerja yang bekerja non-stop selama lima tahun. Energi fosil sampai saat ini masih memainkan peranan terpenting dalam membangunan perekonomian negara.

SDA fosil seperti minyak bumi, gas alam dan batubara tercipta dari proses ratusan juta tahun. Masalahnya, kita mengeduknya 10.000 kali lebih cepat dibandingkan kemampuan alam menggantikannya kembali. Tak hanya mampu menghabiskannya lebih cepat, tapi juga membuang emisinya dalam jumlah raksasa yang mengakibatkan kerusakan iklim, tanah, udara dan air.

Bila itu belum cukup buruk, SDA fosil kerap diperebutkan lewat perang, digunakan untuk membiayai terorisme dan tirani pemerintahan, serta jalan menuju korupsi. Isu keamanan energi selalu mengemuka di setiap negara mengingat keterbatasan cadangan SDA fosil, kebutuhan yang selalu meningkat hingga volatilitas harga. Makin banyak minyak bumi, gas dan batubara dibutuhkan untuk menyalakan pembangkit listrik dan menjalankan mesin kendaraan. Dalam 30 tahun mendatang kebutuhan energi dunia meningkat dua kali lipat, sementara cadangan kian tipis. Menggantungkan kebutuhan energi hanya kepada energi fosil jelas sebuah langkah sabotase terhadap masa depan generasi kita.

Di sisi lain, jalan menuju revolusi energi masih sangat terbuka dan tersedia kompensasi yang sangat besar bagi pihak yang mampu mewujudkannya.

JALUR CEPAT EKONOMI HIJAU INDONESIA

Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah berada di jalur yang tepat dalam mengakselerasi perwujudan Ekonomi Hijau atau Green Economy di Indonesia. Pemerintah tak hanya mendorong, tapi juga mengayuh dengan kuat di jalur cepat.

27 Desember 2015 lalu Presiden meresmikan Independent Power Producer Pembangkit Listrik Tenaga Surya (IPP PLTS) 5 megawatt-peak (MWp), di Desa Oelpuah, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Ini adalah PLTS terbesar yang pernah dibangun di Indonesia dan selesai 6 bulan lebih cepat dari target. Dibangun oleh PT Lembaga Elektronika Nasional (LEN) dengan biaya $ 11,2 juta, PLTS ini memiliki panel surya di lahan seluas 7 hektare. PLTS bekerja secara grid-connected. Artinya, PLTS ini tak memiliki baterai sebagai storage karena harganya masih mahal. Daya dari PLTS akan dialirkan langsung ke jaringan listrik utama untuk menambah pasokan dan bekerja secara pararel.

[caption caption="Presiden Jokowi menjawab pertanyaan wartawan setelah meresmikan PLTS terbesar di Indonesia, 27 Desember 2015. (sumber: Facebook Iskandar Zulkarnaen)"]

[/caption]

Memang masih tersentralisasi. Tapi kelak, PLTS grid-connected seperti ini bisa dibangun per kawasan, misal per kecamatan atau kelurahan. Atau bahkan per rumah. Warga tak perlu lagi menggunakan listrik dari PLN di siang hari. Ketika harga baterai sudah lebih terjangkau, pembangkit mandiri dalam bentuk smart grid sudah bisa diwujudkan siang dan malam.

"Nanti potensi energi ada dari angin, ombak, matahari, dan biomassa. Meskipun biayanya lebih mahal sedikit, saya anggap tak ada masalah. Kita memiliki kekuatan dan potensi yang luar biasa. Jangan hanya fokus pada batu bara. Nanti kalau habis, bingung kita," ujar Jokowi, saat memberikan sambutan peresmian Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Kamojang Unit 5 PT Pertamina di Desa Laksana, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, 5 Juli 2015.

Insentif besar juga disediakan bagi pihak yang mengembangkan dan mengimplementasikan energi bersih di Indonesia. "Saya menyampaikan agar ke depan pembangkit listrik ramah lingkungan harus diberikan prioritas. Akan ada insentif," tambah Presiden.

Penerapan user generated energy (UGE) dan smart grid di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak 2013, namun baru dalam lingkup kecil dan sederhana. Bahkan menghasilkan surplus listrik yang sudah dijual ke PLN. Beberapa rumah di Menteng Jakarta telah menginstalasi panel surya dibantu PT Aruna Solar System Solutions. Salah satu rumah memiliki panel surya berkapasitas 6.120 watt, sementara pemakaian maksimal di rumah hanya 4.400 watt. Surya Supono, salah satu pemilik rumah, mengaku tak lagi jadi pelanggan PLN. Sebaliknya, ia adalah 'distributor' listrik bagi PLN dengan menjual listrik 600 kWH per bulan ke PLN senilai Rp 847.200.

[caption caption="Panel surya di rumah warga di Menteng Jakarta. Pemilik rumah tak lagi berlangganan listrik PLN, tapi justru memasok surplus listriknya kepada PLN dan menghasilkan pendapatan Rp800 ribuan per bulan. (sumber: Detikcom)"]

[/caption]

Dengan dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia dan negara kunci Asia Pasifik, setiap perubahan besar yang Indonesia lakukan akan mampu mengubah wajah dunia. Itu sebabnya kita menjadi tuan forum energi bersih kelas dunia, Bali Energy Forum pada 11-12 Februari 2016 nanti. Presiden Jokowi akan tampil sebagai salah satu pembicara utama.

"I‎ndonesia jadi forum energi bersih mengundang seluruh pemimpin dunia bagaimana kita berkolaborasi membangun energi bersih. Kita bisa menjalin klaborasi gobal secara intitusi, kita kembali OPEC dan EIA. Kita berkesempatan menjembatani sekaligus belajar dari keduanya, disamping energi fosil dan juga renewable," ucap Menteri ESDM Sudirman Said.

PERTAMINA: KEBANGGAAN DAN HARAPAN KITA

Pertamina sebagai perusahaan energi terbesar Indonesia dan kebanggaan negara, memikul tanggungjawab dalam mewujudkan kemandirian dan kemerdekaan bangsa ini di sektor energi. Pertamina harus menjadi lokomotif dalam membangun, mengembangkan, mendorong dan mengaplikasikan perwujudan energi terbarukan dan energi bersih di green economy ini. Bukan saja demi Indonesia, tapi demi tanggungjawab kita sebagai warga dunia yang hidup di planet yang sama dan masa depan anak-cucu kita. 

Kolaborasi dan pemberdayaan tiap entitas masyarakat hingga sektor terkecil menjadi syarat penting perwujudan green economy. Ia tak lagi diwujudkan dalam pola lama yang hierarkis dengan pemerintah atau pemilik modal di puncak piramid. Pemerintah dan Pertamina mesti mengubah dirinya sebagai platform sosial untuk mendorong kolaborasi, inovasi, kreativitas, integritas dan setiap upaya peningkatan nilai di sisi masyarakat. Ia mesti dijalankan secara terbuka, saling tergantung, memberdayakan, bergotongroyong dan berintegritas.

[caption caption="Presiden Joko Widodo meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan ground breaking proyek pengembangan geothermal Pertamina di Kamojang, 5 Juli 2015. (sumber: Antara)"]

[/caption]

Bangsa ini mengapresiasi setiap langkah Pertamina dalam mewujudkan pengembangan dan penyediaan energi terbarukan. Seperti yang sudah Pertamina canangkan atas pengembangan pembangkit listrik energi baru 1,13 gigawatt dan produksi biofuel 1,28 juta kiloliter hingga 2019. Pertamina juga akan meningkatkan kapasitas produksi. Kapasitas produksi pembangkit listrik panas bumi juga turut ditingkatkan Pertamina sebesar 907 megawatt, solar photovoltaic dan energi angin masing-masing 60 megawatt, biomassa 50 megawatt, dan seterusnya. Meski masih bersifat sentralistik, namun ini adalah langkah awal yang baik.

Indonesia perlu sebuah lompatan kuantum atau lompatan besar dalam kemandirian energi. Ia harus dimulai dari perubahan paradigma dan diwujudkan lewat kerjakeras oleh seluruh lapisan. Lewat Smart Grid, kita berharap Pertamina menjadi lokomotif utama untuk mewujudkan kemandirian dan kemerdekaan energi bangsa Indonesia dan kebanggaan kita kepada dunia. (***)

Bahan bacaan:

  • Wikonomic; Don Tapscott & Anthony Williams.
  • Macro Wikinomic, Solution for Connected Planet; Don Tapscott & Anthony Williams.
  • White Paper - The Smart Grid and the Evolution of the Independent System Operator; Chris Thomas, Bruce Hamilton, and Jinho Kim.
  • U.S. Energy Infrastructure Investment: Large-Scale Integrated Smart Grid Solutions with High Penetration of Renewable Resources, Dispersed Generation, and Customer Participation; Power Systems Engineering Research Center.
  • Towards A Green Economy for Canada; Sustainable Prosperity.
  • Personal Carbon Allowances White Paper; Carbon Trust.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun