Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Smart Grid: Lompatan Kuantum Era Green Economy

28 Desember 2015   09:00 Diperbarui: 30 Desember 2015   09:58 1630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Arsitektur sederhana Smart Grid. (sumber: vattenfall.com)"][/caption]

Media sosial di Balikpapan rutin ribut minimal seminggu sekali setiap listrik PLN padam. Di kota berjuluk Kota Minyak ini, PLN 'menjatah' kami pemadaman listrik seminggu sekali. Lama pemadaman rata-rata 6 jam. Pemadaman ini sudah berlangsung sejak akhir 1990-an sampai sekarang. Hal yang sama juga terjadi di kota lain di Kalimantan Timur yang tergabung ke jaringan pembangkit Sistem Mahakam. Alasannya selalu serupa: kurang pembangkit atau pembangkit rusak.

"Daerah kaya minyak dan batubara tapi tak punya listrik!". Semacam itulah keluhan di media sosial.

Di kota inilah kilang pengolahan Pertamina Refinery Unit (RU) V bertempat. Meski tak ada hubungannya dengan penyediaan listrik PLN, warga tetap melihatnya sebagai paradoks.

Daya listrik yang disediakan PLN tidak mencukupi kebutuhan masyarakat dan pelaku usaha, terutama di waktu beban puncak. Hampir semua hotel dan pusat perbelanjaan di Balikpapan memenuhi kebutuhan listriknya bukan dari PLN, tapi pembangkit listrik sendiri. Tidak sedikit rumah tangga di Balikpapan yang memiliki genset yang digunakan tiap listrik padam. Sehingga kemandirian penyediaan energi, khususnya listrik, bagi kebutuhan pribadi atau usaha adalah hal lumrah di Balikpapan. Meski akan membuat pelakunya mengeluarkan biaya lebih besar, tapi manusia mana yang tidak butuh listrik?

Mungkin itu masalahnya. Kita berada dalam sistem penyediaan energi yang tersentralisasi, tak mandiri, tak efisien dan terlalu tergantung pada pemilik sumberdaya besar. Sistem ini sebenarnya bukan milik kita. Kita hanya konsumen yang tergantung penuh sistem yang dimiliki dan dikendalikan pihak lain -- yang sayangnya tak bisa kita kontrol. Namun sebagai konsumen kita tak punya keleluasaan memilih produk. Mengoperasikan genset di rumah tangga jauh lebih mahal ketimbang beli listrik dari PLN. Tapi satu-satunya pihak yang berwenang menangani transmisi listrik di negeri ini hanya PLN.

Bagaimana bila setiap rumah tangga mampu menyediakan kebutuhan energinya sendiri secara mandiri, murah dan bersih?

Bagaimana kalau setiap orang tak lagi tergantung pada jaringan listrik (grid) yang tersentralisasi, sebaliknya, kita bisa menyuplai listrik ke dalam jaringan besar dan bekerja secara kolaboratif antar orang (peer)?

Apakah ini utopia?

IMPIAN USER GENERATED ENERGY (UGE)

Siapapun yang menganggap ide di atas sebagai utopia, ingatlah internet. Di masa lalu internet bekerja layaknya jaringan listrik atau grid yang kita kenal sekarang: tersentralisasi dan dikendalikan oleh pemilik sumberdaya. Sumberdaya itu bernama informasi. Informasi ini berasal dari korporasi besar atau pemerintah yang menggunakan internet sebagai medium content delivery satu arah. Pengguna internet hanya didudukkan sebagai konsumen informasi yang mereka pasok.

Hingga lahirnya teknologi Web 2.0 dimana setiap pengguna internet bisa menciptakan konten atau informasi. Kemudian kita mengenalnya dengan nama Facebook, Twitter, Youtube, Instagram, blog, wiki, forum, torrent, ecommerce dll -- segala platform berbasis user generated content (UGC).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun