Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Gojek Bisa Mati, Komuter Sosial Abadi

18 Desember 2015   09:18 Diperbarui: 3 November 2017   08:57 1729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seberapapun kuatnya regulasi pemerintah, komuter sosial tidak bisa dibasmi. Karena ia hidup dari kekuatan kolaborasi warga secara massal untuk memecahkan masalah publik, kelompok dan pribadi. Terlebih bila pemerintah tak kunjung bisa memecahkan masalah utama yang telah mereka selesaikan. Dan sesungguhnya, komuter sosial adalah masa depan transportasi manusia. Ia akan makin cepat perkembangan dan eksekusinya dengan kehadiran teknologi.

GOJEK DAN UBER SEBAGAI ENABLER

Uber adalah 'perusahaan transportasi' terbesar di planet ini dengan 'memiliki' lebih dari 1 juta kendaraan. Begitu pula dengan Gojek yang dalam waktu kurang dari 1 tahun menduduki barisan top perusahaan transportasi Indonesia dengan 'kepemilikan' lebih dari 200.000 sepeda motor dan 8 juta pengguna. Namun baik Uber maupun Gojek bukan perusahaan transportasi dan tak punya kendaraan. Mereka adalah perusahaan teknologi. Produknya adalah aplikasi yang mempertemukan pihak-pihak yang ingin terlibat dalam ride sharing. Mereka hadir sebagai enabler dan middle man dengan menawarkan proses kerjasama yang terbuka, real time dan kolaboratif antar pelaku ride sharing. Pun bila mereka mengambil komisi atas penggunaan produk itu, sah-sah saja.

Di luar negeri, dari dulu sampai sekarang Uber terus dipersoalkan dan masih berada di area abu-abu dari aspek regulasi. Isunya tak jauh-jauh dari aspek keselamatan, kelayakan, keamanan dan pajak. Soal keamanan, pernah terjadi kasus pemerkosaan yang dilakukan pengemudi Uber. Di Gojek juga pernah ada kasus pelecehan seksual. Tentu saja ini juga pernah terjadi pada perusahaan transportasi resmi. Namun dalam hukum keperdataan secara umum, perusahaan turut dibebani tanggungjawab hukum atas perbuatan pekerjanya saat melakukan pekerjaan. Di Uber dan Gojek mereka tak punya tanggungjawab ini karena pengemudi bukan karyawan.

Bagi pelaku jasa transportasi resmi dan negara, apa yang dilakukan Gojek atau Uber juga tidak adil bagi mereka. Ketika perusahaan membayar pajak dan biaya operasional yang disyaratkan regulasi dalam jumlah sangat besar, Gojek dan Uber terlepas dari tanggungjawab itu. Negara juga kehilangan potensi penerimaan pajak. Bisnisnya ada, tapi tak ada satu pun pihak yang menanggung pajaknya. Hampir sama seperti pedagang online di marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, FJB Kaskus dll. Yang sangat mungkin suatu saat akan dipersoalkan oleh pemerintah dan pelaku usaha non-online.

GOJEK YANG MENANTANG

Sebagai pihak yang berada di area abu-abu (dan kini sudah hitam), apa yang terjadi dan dilakukan oleh Gojek berisiko sangat tinggi. Eforia yang ditimbulkan bisnis Gojek begitu riuh dan tindakan Gojek sangat demonstratif serta agresif. Kita memuji Gojek yang inovasinya mampu memecahkan masalah transportasi, komuter sosial dan job creation. Namun keriuhan yang ditimbulkan seperti rekrutmen massal di Senayan, agresifnya ekspansi bisnis hingga publikasi yang terus-menerus, seakan tindakan menantang atas regulasi yang masih belum berpihak pada mereka.

Pemakaian seragam juga membuat Gojek seolah-olah sebuah perusahaan transportasi, meski sebenarnya mereka bisa bilang itu seragam komunitas.Penyeragaman seperti ini sebenarnya membentur cara kerja komuter sosial yang berdiri di atas etika komunitas yang dijalankan secara self-organized. Ditambah pula beberapa peraturan dengan corak hubungan perusahaan-karyawan, salah satunya kewajiban membeli seragam dan angsuran ponsel. Gojek tampaknya ingin benar-benar tampil sebagai sebuah korporasi. Belum lagi agresifnya Gojek berekspansi wilayah dan layanan seperti Go-Food yang bermitra dengan restoran, Go-Mart dengan mini market, Go-Glam, Go-Box hingga Go-Clean. Sikap demonstratif dan agresif seperti ini pasti bikin gerah 'pemilik peraturan' dan setiap pihak yang pasarnya digerus Gojek. Belum lagi demonstrasi pengemudi Gojek dimana-mana.

Hal berbeda dari yang saya lihat dari Uber. Meski sudah setahun lebih berada di Indonesia, tak banyak hiruk-pikuk yang diciptakan Uber. Mereka lebih soft dan silent, seakan kenal betul dengan halangan yang mereka hadapi di depan. Pendaftaran mitra dilakukan online, pelatihan 2 hari, tanpa seragam dan cicilan ini itu, beres. Di jalan raya kita tak bisa bedakan antara mobil Uber dan yang bukan Uber. Memang jenis kendaraannya berbeda, begitu juga perilaku pengendara sebagai mitranya. Namun tampaknya Gojek harus belajar banyak dari Uber soal mengelola 'bisnis abu-abu'.

Tapi saya maklum bila saja strategi Gojek menciptakan keriuhan secara demonstratif dan langkah ekspansinya yang agresif itu dilakukan secara sengaja. Popularitas sangat penting bagi produk di bisnis startup demi mendapatkan user. Dari user dan transaksi lah nilai valuasi bisnis mereka ditingkatkan. Kabarnya Gojek pertengahan tahun tadi telah mendapatkan investasi Rp600 miliar dari Sequoia Capital. Gojek juga telah dinobatkan sebagai startup kategori Unicorn: mereka yang mencapai valuasi bisnis senilai US$1 miliar (Rp14 triliun) di bawah 5 tahun.

Atau, sangat mungkin pula Gojek mengelola reputasinya seperti itu untuk meningkatkan daya tawar sosial-politik bila kelak terancam dalam area bisnis abu-abu ini. Segera setelah peraturan di atas muncul langsung muncul gerakan #SaveGojek.

JALAN KELUAR LEWAT UBER LAW

Seperti saya sebut di atas, ride sharing dan komuter sosial tak akan bisa mati.Ia akan abadi meski diselenggarakan secara komersial (sembunyi-sembunyi) ataupun tidak. Karena ia adalah bentuk kerjasama sosial antar warga dalam ukuran masif untuk memecahkan masalah yang riil. Namun kita sepakat bahwa kepentingan publik dan negara juga harus dilindungi.

Negara bagian California di Amerika Serikat adalah yang pertama mengeluarkan regulasi soal ride sharing pada 2013. Entitas seperti Uber, Lyft, SideCar dan Tickengo diizinkan beroperasi secara resmi dan didefinisikan sebagai Transportation Network Company (TNC) dalam ekosistem peer-to-peer service. California Public Utilities Commission (CPUC) mengeluarkan aturan soal kerangka kerja (framework) bagaimana sebuah TNC harus dijalankan. Di antaranya menyediakan asuransi minimal US$ 1 juta, mendapatkan lisensi CPUC, inspeksi kendaraan, pemeriksaan catatan kriminal, program pelatihan, hingga zero tolerance terhadap alkohol dan narkoba. CPUC mendorong agar TNC dan semua mitranya menjalankan ride sharing secara bertanggungjawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun