Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Usai Makan dengan Jokowi, Lalu Apa?

16 Desember 2015   11:09 Diperbarui: 16 Desember 2015   14:31 4855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Kompasianer bersama Presiden Jokowi, Sabtu (12/12) di Istana Negara. (sumber: setkab)"][/caption]Saya yakin Content Manager Kompasiana, Iskandar Zulkarnaen alias Isjet, hanya niat curhat dan guyon saat menyampaikan kegalauannya di depan Presiden Jokowi, Sabtu lalu (12/12) di Istana Negara. "Banyak yang protes ke saya kenapa cuma 100 Kompasianer yang diundang, " ucap Iskandar yang ditanggapi gelak tawa para Kompasianer usai makan siang selesai disantap. Jokowi, sepengamatan saya, hanya mesem-mesem.

Sama yakinnya ketika Kompasianer Bapak Thamrin Dahlan mengutarakan usulnya. "Saya harap kalau Pak Jokowi kunjungan kerja bukan cuma wartawan media massa saja yang diajak. Tapi juga para blogger Kompasiana," ujar pengarang buku Prabowo Presidenku itu yang langsung disambut tepuk tangan Kompasianer. Prediksi saya, Pak Thamrin tidak serius-serius amat dengan usulan itu. Iseng-iseng berhadiah, lah.

Maaf kata. Bagi saya curhatan Isjet dan usulan Pak Thamrin bukan 'kelas presiden'. Curhat si Isjet apa pentingnya, sih? Sejak kapan Presiden RI mengurusi siapa wartawan yang harus ikut rombongan istana bila kunjungan kerja?

Di mata saya yang lahir dan besar di zaman Soeharto ini, kalau curhat atau usul di depan Presiden RI itu harus pekewuh, santun, tidak cengengesan, dan menyampaikan sesuatu yang canggih yang bahkan tak dipahami orang awam. Lha, ini curhat soal bakal dinyinyiri Kompasianer dan minta ikut rombongan wartawan istana. Pakai gaya standup comedy pula. Nggak 'kelas presiden' banget, 'kan? Sejak kapan sih Presiden RI mengurusi hal-hal begitu? Paling banter diurusi stafnya. Itu pun bila stafnya mau mendengarkan. Mbok ya kalau bicara depan presiden itu kayak bupati yang sering kita lihat di televisi atau Klompencapir itu, lho.

Tapi, alangkah salahnya saya. 10 menit kemudian ketika Jokowi giliran bicara di depan mik, ia membuktikan bahwa saya tidak lagi hidup di masa lalu.

"Acara kumpul-kumpul begini harus kita lakukan tiap 3 bulan sekali," seloroh Jokowi.

Saya langsung terperanjat.

"Saya akan bawa 2 orang dari Kompasiana tiap kunjungan kerja. Tolong dicatat, ya," tambah Presiden sambil memberi kode ke Teten Masduki, Juru Bicara Istana.

Sekarang saya terperangah.

Tepuk tangan membahana di ruangan. Saya malu. Apa yang selama ini saya yakini sebagai hal penting dalam berperilaku, berbicara dan berdialog antara seorang rakyat Indonesia dengan presidennya, seketika runtuh. Hierarki vertikal serta tatanan feodalisme itu tak absah lagi. Presiden yang kita kenal dalam konsep 'Keindonesiaan' adalah sosok yang berada di puncak gunung kekuasaan, dan oleh karenanya ia tak terjangkau oleh mereka yang berada di lembah -- orang-orang seperti kita. Tukang mebel dari Solo ini menjungkirbalikkannya. Saya percaya bahwa Indonesia berubah ketika dipimpin Jokowi. Tapi tak pernah menyangka sejungkirbalik ini. Yang terbit setelah rasa malu itu adalah bahagia.

Saya langsung berpikir: ini kesempatan besar!

JOKOWI: A BUSINESS LEADER

Tanda-tanda asing sudah bisa ditemui begitu pertama kali ia masuk ruangan. Setelah bersalaman dengan seluruh Kompasianer, ia duduk karena harus mendengarkan Isjet menyampaikan sambutan. Khas pertemuan formal. Giliran Jokowi bicara, kalimat pertama yang ia ucapkan depan mik adalah, "Jangan tegang. Santai saja. Ayo kita makan!". Langsung ia menuju meja prasmanan.

Ini presiden apa sih?

Kalau soal urusan mendengarkan curhat rakyatnya, semua presiden juga begitu, termasuk Jokowi. Pasti mendengarkan rakyatnya. Tapi, tak pernah saya menyaksikan ada Presiden RI yang langsung menanggapi sebuah usulan yang disampaikan di pertemuan terbuka dengan keputusan instant. Usulan pasti akan ditampung dulu, digodok, dihitung anggarannya, diteliti dampak politiknya -- yang semua itu dilakukan oleh para staf dalam ekosistem birokrasi yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Namun Jokowi tidak tak hanya mendengarkan. Ia langsung memutuskan dan bergerak tanpa mau terkungkung dalam ikatan birokrasi yang ia sendiri keluhkan. Cepat dan tangkas dalam mengambil keputusan, tak penting siapa yang menyampaikan. Tanpa basa-basi. Khas business leader.

Siang itu saya tak merasa berhadapan dengan Presiden RI. Tapi CEO Republik Indonesia.

KOMPASIANA: INISIATOR DAN KOLABORATOR KUNCI PRESIDEN RI

Bahwa Jokowi menaruh perhatian begitu besar kepada Kompasiana, itu bukan berita baru. Di mata Jokowi, Kompasiana begitu penting dan itu telah ia ucapkan serta realisasikan lewat berbagai tindakan berkali-kali. Makan siang bareng saja sudah 2 kali. Akan menyusul kloter-kloter berikutnya setiap 3 bulan. Kita sudah membuktikan bahwa Presiden RI tak hanya sebatas mendengarkan Kompasianer, tapi langsung dituruti.

Saat jutaan rakyat Indonesia cuma bisa bermimpi bertemu dan menyampaikan gagasannya secara langsung di hadapan presiden, Kompasianer dengan (relatif) mudah dapat kesempatan itu. Ketika Kompasiana sudah begitu penting bagi Presiden RI dan didengarkan setiap kalimatnya serta akan bertemu rutin tiap 3 bulan sekali, lalu bagaimana Kompasiana harus memposisikan dirinya? 

Ini adalah kesempatan emas bagi Kompasiana bertindak sebagai inisiator dan kolaborator kunci Presiden RI. Posisi yang dulunya hanya dimiliki oleh mereka yang kita sebut sebagai Ring 1 -- staf khusus, menteri, penasehat, pembisik, dll. Sekarang saatnya para Kompasianer bisa bekerja nyata bagi bangsa dan negara. Bahwa setiap ide, gagasan maupun usulan yang dilontarkan Kompasianer di hadapan Presiden RI bisa langsung diwujudkan seketika itu juga. 

Usulan (dan curcol) yang langsung terealisasi di kloter 1 memang baru persoalan pertemuan rutin dan blogger istana. Masih Kompasiana-sentris. Bagaimana jika pada kloter berikutnya dilontarkan ide konkret yang menyangkut kepentingan luas bangsa dan negara yang bisa langsung dieksekusi presiden. Misal ada Kompasianer yang memiliki gagasan konkret soal penerapan energi bersih, layanan kesehatan, smart city, pendidikan dll, yang semua itu berpotensi langsung dieksekusi presiden dan punya dampak luas.

Kompasianer sebagai smart mobs seperti yang saya tulis dalam artikel berjudul Kompasiana dan Kejeniusan Kolektif Indonesia, kini berhadapan dengan kesempatan emas memberdayakan dirinya untuk kepentingan seluruh bangsa sebagai 'pembisik presiden'. Jokowi sungguh sadar berada dalam era Wikinomic dimana ia membutuhkan kolaborator sebanyak-banyaknya untuk membangun bangsa ini. Dan salah satu kolaborator kunci itu adalah kita: Kompasianer.

Begitu juga untuk Kompasianer yang secara rutin dan konsisten mengeritik Jokowi. Ini adalah kesempatan emas untuk tak hanya bisa mengeritik, namun menyampaikan ide serta solusi konstruktif dan konkret langsung kepada presiden. Saya yakin Jokowi tak akan bertanya dulu kepada anda, "Kamu ini lover atau hater?". Bapak Thamrin Dahlan sudah membuktikannya.

Bisa bertemu, bersalaman, berfoto dan dapat tandatangan seorang presiden tentu jadi kebanggaan orang kebanyakan, termasuk saya. Mungkin momen ini yang sebelumnya (atau masih) kita cari dan rayakan. Namun apa yang terjadi di pertemuan kloter 1 pada Sabtu lalu, membuktikan Kompasianer punya posisi lebih penting ketimbang sekumpulan orang yang bisa makan siang bersama presiden. Saya berharap Kompasiana dan Kompasianer sadar betul akan pentingnya posisi ini. Pertemuan kloter selanjutnya sebaiknya diniatkan sebagai upaya bekerja untuk Indonesia lewat gagasan dan ide konkret, ketimbang sekedar eforia bisa bertemu presiden. Bukan sekedar giliran bersalaman dengan presiden yang belakangan jadi keributan.

Pertemuan Kompasianer selanjutnya dengan Jokowi harus bisa memberi manfaat nyata bagi bangsa dan negara ini.

Mengingat apa yang terjadi di pertemuan kloter 1 yang mayoritas isinya adalah euforia, terus terang saya sedikit menyesal. Bila boleh memilih saya akan lebih suka hadir di kloter-kloter berikutnya dimana Kompasianer lebih punya kesempatan berbuat nyata bagi Indonesia. Tak sekedar silaturahmi dalam sebuah konsep feodal.

Ketika sebagian orang pulang ke rumah masing-masing bersuka ria membawa kisah bertemu, berfoto dan makan bersama presiden, saya pulang membawa harapan. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun