[caption caption="Kompasianer bersama Presiden Jokowi, Sabtu (12/12) di Istana Negara. (sumber: setkab)"][/caption]Saya yakin Content Manager Kompasiana, Iskandar Zulkarnaen alias Isjet, hanya niat curhat dan guyon saat menyampaikan kegalauannya di depan Presiden Jokowi, Sabtu lalu (12/12) di Istana Negara. "Banyak yang protes ke saya kenapa cuma 100 Kompasianer yang diundang, " ucap Iskandar yang ditanggapi gelak tawa para Kompasianer usai makan siang selesai disantap. Jokowi, sepengamatan saya, hanya mesem-mesem.
Sama yakinnya ketika Kompasianer Bapak Thamrin Dahlan mengutarakan usulnya. "Saya harap kalau Pak Jokowi kunjungan kerja bukan cuma wartawan media massa saja yang diajak. Tapi juga para blogger Kompasiana," ujar pengarang buku Prabowo Presidenku itu yang langsung disambut tepuk tangan Kompasianer. Prediksi saya, Pak Thamrin tidak serius-serius amat dengan usulan itu. Iseng-iseng berhadiah, lah.
Maaf kata. Bagi saya curhatan Isjet dan usulan Pak Thamrin bukan 'kelas presiden'. Curhat si Isjet apa pentingnya, sih? Sejak kapan Presiden RI mengurusi siapa wartawan yang harus ikut rombongan istana bila kunjungan kerja?
Di mata saya yang lahir dan besar di zaman Soeharto ini, kalau curhat atau usul di depan Presiden RI itu harus pekewuh, santun, tidak cengengesan, dan menyampaikan sesuatu yang canggih yang bahkan tak dipahami orang awam. Lha, ini curhat soal bakal dinyinyiri Kompasianer dan minta ikut rombongan wartawan istana. Pakai gaya standup comedy pula. Nggak 'kelas presiden' banget, 'kan? Sejak kapan sih Presiden RI mengurusi hal-hal begitu? Paling banter diurusi stafnya. Itu pun bila stafnya mau mendengarkan. Mbok ya kalau bicara depan presiden itu kayak bupati yang sering kita lihat di televisi atau Klompencapir itu, lho.
Tapi, alangkah salahnya saya. 10 menit kemudian ketika Jokowi giliran bicara di depan mik, ia membuktikan bahwa saya tidak lagi hidup di masa lalu.
"Acara kumpul-kumpul begini harus kita lakukan tiap 3 bulan sekali," seloroh Jokowi.
Saya langsung terperanjat.
"Saya akan bawa 2 orang dari Kompasiana tiap kunjungan kerja. Tolong dicatat, ya," tambah Presiden sambil memberi kode ke Teten Masduki, Juru Bicara Istana.
Sekarang saya terperangah.
Tepuk tangan membahana di ruangan. Saya malu. Apa yang selama ini saya yakini sebagai hal penting dalam berperilaku, berbicara dan berdialog antara seorang rakyat Indonesia dengan presidennya, seketika runtuh. Hierarki vertikal serta tatanan feodalisme itu tak absah lagi. Presiden yang kita kenal dalam konsep 'Keindonesiaan' adalah sosok yang berada di puncak gunung kekuasaan, dan oleh karenanya ia tak terjangkau oleh mereka yang berada di lembah -- orang-orang seperti kita. Tukang mebel dari Solo ini menjungkirbalikkannya. Saya percaya bahwa Indonesia berubah ketika dipimpin Jokowi. Tapi tak pernah menyangka sejungkirbalik ini. Yang terbit setelah rasa malu itu adalah bahagia.
Saya langsung berpikir: ini kesempatan besar!