"Wah, pasti nggak mau, Mas. Bisa ribut," jawab si pejabat cepat.
Ya sudah, tak ada yang bisa saya lakukan.
Tidak sedikit kepala daerah di Indonesia yang mengartikan smart city sebagai kota yang canggih, terkomputerisasi, atau terotomatisasi. Yang sudah pakai e-gov, e-budgeting, e-proc dan e- e- lainnya itu. Padahal smart city utamanya adalah persoalan menghadirkan kultur baru dalam meningkatkan mensejahterakan masyarakat, layanan publik, iklim usaha dan pelestarian lingkungan hidup. Salah satu perangkat terpentingnya memang teknologi. Tapi teknologi itu tak ada gunanya bila ia hanya jadi perangkat 'canggih' yang berdiri di atas kultur lama. Soal transparansi misalnya. Smart city bagi mayoritas kepala daerah baru sebatas proyek bikin website dan software, pengadaan komputer dan jaringan, bahkan bikin live streaming yang tidak ada penontonnya itu.
Transparansi adalah salah satu pondasi terpenting lain dalam DT selain altruisme. 'Canggih' adalah ketika semua data pemerintahan berupa anggaran, proyek, KPI dll itu terkomputerisasi, online dan terintegrasi. Ia jadi 'pintar' atau 'smart' ketika data-data tersebut dibuka, ditransaksikan dan interaksikan kepada publik dan seluruh pemangku kepentingan. Hasil transaksi data dan interaksi publik itu kemudian dipergunakan pemerintah untuk membuat keputusan. Smart city bukan 'kota komputer' atau 'kota otomatis'. Ia adalah kota dimana peningkatan kesejahteraan, kualitas hidup, layanan publik, kerjasama dan kepercayaan ditempuh lewat pengelolaan data yang didapat melalui teknologi.
Salah satu contoh pengelolaan DT oleh pemerintah yang telah on-track di Indonesia sepengamatan saya adalah Kota Bandung lewat Bandung Command Center (BCC). BCC bukan hanya 'bioskop' dengan banyak layar. Bukan juga cuma pos pengamatan ratusan CCTV yang tersebar di seluruh bandung. Lewat video ini Anda bisa tahu bahwa BCC terintegrasi dengan seluruh dinas, kepolisian, mobile app kepanikan, laporan anggaran, progres proyek, percakapan media sosial, sampai penerangan jalan. Dari DT yang diproses lewat BCC, para staf Ridwan Kamil, Walikota Bandung, bisa mengumpulkan data serta informasi secara cepat langsung dari masyarakat, untuk bertindak secara sigap dan akurat. BCC dengan model DT seperti ini tidak akan terjadi bila Ridwan Kamil tidak ingin menghadirkan kultur keterbukaan, melayani dan kerjasama kolaboratif dengan masyarakat Bandung.
Penggunaan smart phone yang begitu masif dan konektivitas internet yang sudah sampai pelosok, big data itu sudah tersedia dimana-mana. Smart city adalah kota yang pemerintahnya mendayagunakan big data lewat DT dengan prinsip altruisme, keterbukaan dan tanggungjawab.
KITA SAMA-SAMA MEMULAI
Bila Anda berpikir untuk berperanserta dalam DT sebagai pelaku industri, pemerintahan atau organisasi non-profit, sekarang adalah masa terbaik. Dunia baru sama-sama memulai era DT dan tak ada satu pun pihak yang mengklaim dirinya sebagai pihak paling berkuasa atas DT atau punya kontrol penuh. Sumber data itu ialah semua manusia, oleh karenanya setiap pihak saling tergantung. Ingatlah bahwa DT adalah; you have, I don't have.
DT membuat kita makin memahami manusia dan menciptakan dunia yang lebih baik lewat pemahaman itu. Di masa mendatang, ada 4 bidang profesi yang memiliki permintaan tertinggi di dunia. Ia disebut STEM Education: science, technology, engineering, math.
James Bacon, jurnalis bidang teknologi menulis: "Ibu, jangan biarkan anakmu menjadi pengacara. Programmer komputer dan insiyur akan hidup sejahtera di abad ke-21. Tapi bila kamu ingin anakmu jadi orang seperti Steve Jobs dan Bill Gates, sekolahkan mereka di bidang matematika yang memungkinkan mereka mempelajari analisa big data." (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H