"Masa depan tidak digantungkan pada keahlian, kekuatan atau berapa banyak uang yang kita punya. Tapi pada pengetahuan dan kebijaksanaan," kata Jack Ma, CEO dan pendiri Alibaba, toko ritel paling besar di dunia dan salah satu promotor DT di dunia.
Pengetahuan lahir dari informasi. Dan informasi itu adalah 2,5 quintiliun byte data per hari.
"IT membuat orang lain melayani kita. DT membuat kita melayani orang lain," sambung Ma yang kini jadi salah satu penasehat dalam mega proyek pembangunan mega city DT di Guizhou yang ikut dikerjakan bersama Baidu, Tencent dan para raksasa teknologi Tiongkok lainnya.
Altruisme atau perhatian kita terhadap kesejahteraan atau pemecahan masalah orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri adalah salah satu pondasi dasar DT. Ia harus berjalan di atas prinsip tolong-menolong. Squee contohnya. Aplikasi 'jalan tikus' buatan anak dalam negeri ini adalah pemenang Jakarta Urban Challange 2015. Squee membantu penggunanya menemukan rute jalan kaki yang lebih singkat, aman dan menarik. Bahkan bisa saling janjian bertemu. Tak hanya membantu pengguna, tapi menjadi salah satu solusi kemacetan Ibukota.
Prinsip altruisme itu sadar atau tidak selalu kita lakukan. Dengan menggunakan Google Map atau Waze saat berkendara, data kita dimanfaatkan untuk membantu orang lain. Google atau Waze yang berada di tengah 'hanya' bertugas untuk memproses data kita tersebut agar berguna bagi orang lain. Betapa besar perubahan transportasi kita bila setiap kendaraan memiliki perangkat permanen geospacial ini.
Di negara-negara maju, DT turut dipergunakan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat lewat mesin agregator yang mengumpulkan data pasien dari seluruh rumah sakit, klinik, apotek, media sosial, forum, sampai wiki. Lewat data evidance based ini pemerintah dengan mudah memantau kondisi kesehatan masyarakat, perilaku, penyakit yang perlu diwaspadai, dll, yang itu semua membantu pemerintah mengambil keputusan secara cepat dan akurat.
Bagi pelaku usaha, DT adalah kunci untuk memahami konsumen, melakuan improvement secara terukur dan menemukan peluang baru. Kata Jack Ma, era business to consumer atau B2C sudah selesai. B2C terjadi ketika produsen menciptakan sebuah produk yang mereka rasa cocok bagi konsumen. Kini apa yang diinginkan konsumen tak lagi 'dirasa-rasa', semuanya terkumpul dalam Big Data. Konsumen sebenarnya telah menyampaikan apa yang mereka inginkan lewat jutaan data yang mereka transaksikan lewat perangkat komputasi. Ini adalah era C2B atau consumer to business, dimana standar akan kebutuhan sebuah produk ditentukan sendiri oleh konsumen. Mereka yang menang adalah pemilik DT terbaik.
Nyaris tak ada aspek kehidupan yang tak bisa di-improve oleh DT, mulai dari transportasi sampai iklim, dari kesehatan hingga pendidikan, mulai perniagaan sampai pemerintahan.
SMART CITY ADALAH KOTA DT
Bulan lalu saya bertemu dengan salah satu kepala dinas sebuah kabupaten yang gencar mengkampanyekan daerahnya sebagai smart city atau kota cerdas. Si pejabat berkonsultasi bagaimana cara terbaik menampilkan APBD di website, maksudnya supaya transparan kepada masyarakat. Saya jawab, apa susahnya kalau cuma itu tujuannya. Tinggal ketik, upload di website Pemda, selesai.
"Yang sekarang dilakukan ya seperti itu, Mas. Tapi Bupati minta yang lebih canggih," sambung si pejabat.
Saya tidak paham apa yang dimaksud 'canggih' oleh mereka. Tapi saya kesampingkan dulu itu. Saya bertanya, apakah Bupati bersedia mata anggaran APBD sampai satuan tiga ditampilkan kepada masyarakat lewat website, bisa dikomentari semua orang, dan penggunaan tiap mata anggaran dilaporkan secara terbuka?