Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Gojek dan Kematian Stabilitas

28 Juli 2015   11:47 Diperbarui: 11 Agustus 2015   20:45 3208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Para pengojek Gojek (sidomi.com)"][/caption]

Belum ada Gojek di Balikpapan, tempat saya tinggal. Tapi sudah sejak lama banyak akun Twitter yang menyediakan jasa ojek di Balikpapan. Tinggal mention atau telepon, si 'ojek Twitter' datang. Sebelum ada Gojek di Jakarta, Balikpapan sudah punya Ojek Taxi sejak 2013, ojek dengan argometer. Milik pengusaha muda lokal. Tarifnya berdasarkan kilometer yang ditunjukkan oleh GPS yang dipasang di setiap motor ojek. Pengojeknya berseragam rapi: jaket putih dan celana panjang. Meski belum canggih seperti Gojek yang punya mobile application dan bonus yang menggiurkan, tapi tetap saja Ojek Taxi menawarkan model bisnis baru di 'industri ojek' Balikpapan.

[caption caption="Ojek Taxi, ojek berargometer di Balikpapan (Instagram Hengkylintang)"]

[/caption]

Sejauh ini saya belum pernah dengar ada pengojek pangkalan protes ke Ojek Taxi atau 'ojek Twitter'. Mereka adem-ayem saja, tuh. Apalagi pengojek pangkalan di Balikpapan juga 'mengekspansi bisnisnya' jadi kurir toko sembako atau warung di daerah sekitarnya sebagai pengantar barang. Hampir setiap pangkalan ojek di sini juga punya 'hotline number' masing-masing. Penumpang tinggal telepon, langsung dijemput.

Sepengamatan saya di sini, yang paling diresahkan oleh pengojek di Balikpapan bukan lahirnya pesaing atau model bisnis baru. Mereka 'mengeluh' dengan kemampuan ekonomi masyarakat yang makin mampu membeli sepeda motor dan diler menawarkan uang muka pembelian sepeda motor sangat rendah. Tapi siapa yang mau disalahkan? Masak orang makin makmur disalahkan? Masak harus maki-maki diler motor?

PERTARUNGAN TAK SEIMBANG

Konflik ojek pangkalan versus Gojek di Jakarta sungguh tak seimbang. Karena yang sebenarnya berkompetisi bukan ojek dengan Gojek, atau ojek dengan Nadiem Makarim. Tapi ojek tengah berkompetisi dengan teknologi. Ini jauh dari seimbang. Teknologi bersifat disruptif: membunuh. Teknologi yang merupakan output dari kreativitas dan ilmu pengetahuan selalu muncul dengan model bisnis baru. Sialnya lagi, tidak ada lagi kesopanan dan ewuh-pekewuh dalam realita ekonomi saat ini.

Nadiem dengan Gojek-nya hanya perpanjangantangan dan realita suburnya kreativitas dan ilmu pengetahuan di era ini. Nadiem mungkin bisa diadang lewat 1-2 peraturan atau gebukan. Tapi Nadiem akan selalu mencari cara lain sesuai nature-nya sebagai manusia. Akan muncul 'Nadiem' lain dengan teknologi dan model bisnis baru di tempat dan waktu yang lain. Orang-orang seperti Nadiem ini mengguncang stabilitas dan disruptif, sejalan dengan sifat teknologi. Faktanya, di era ini stabilitas memang sudah mati. Bisnis tak lagi berjalan secara plan and push, tapi competitive dynamic. Tak ada lagi bisnis yang tak akan dirusak stabilitasnya oleh teknologi. Menolak beradaptasi adalah jalan bagi kegagalan total. Sekarang manusia tak boleh lama-lama puas. .

"Stability is dead. The idea that you can invent a business that will never be disrupted by technology is over," tulis Dan Tapscott dalam buku international best seller Wikinomics: How Mass Collaboration Changes Everything.

TEKNOLOGI YANG MEMBUNUH

Teknologi itu jahat banget! Semua ia sikat: kaya-miskin, pintar-bodoh, alim-durjana. Betapa hebatnya dulu Nokia di dunia ponsel, akhirnya bangkrut juga karena Android dan iOS. Dulu Kodak adalah nama terbesar di dunia fotografi, akhirnya kolaps karena kamera digital. Mata kita bisa menangis memikirkan nasib ribuan karyawan BASF yang di-PHK karena tak ada lagi industri yang membutuhkan pita kaset, tapi tangan kita asyik mengunduh MP3 (yang bajakan pula). Saat anda membaca konten digital ini, ribuan karyawan penerbitan dan produsen kertas sedang harap-harap cemas menunggu kapan mereka kehilangan pekerjaan. Saya mengurut dada ketika perusahaan Encylopedia Britannica sudah 246 tahun itu mengumumkan tutup karena tak ada lagi pembeli ensiklopedia cetak -- pembaca sudah pindah ke Wikipedia yang gratis. Tapi kalau disuruh beli satu set Encylopedia Britannica yang harganya Rp5-10 juta itu saya juga ogah!

Secara alamiah pemerintah dan pemegang otoritas akan membuat peraturan untuk mengatur masyarakat atau komunitasnya. Tapi secara alamiah pula individu atau masyarakat akan menguji peraturan itu sampai batas maksimal (atau melampauinya) agar mereka mendapatkan apa yang diinginkan. Tak peduli iPhone rilis sampai berapa seri, tetap saja di-jailbreak. Tak peduli Android versi berapa, tetap saja di-rooted. Serial terbaru Game of Thrones belum tayang pun sudah muncul versi leaked-nya di torrent.

Batas-batas itulah yang saat ini tengah diuji oleh Nadiem lewat Gojek dalam jagad 'industri ojek' Ibukota. Nadiem datang dengan teknologi dan model bisnis baru yang jadi antitesis model bisnis 'industri ojek' pada umumnya. Kepastian harga, keringkasan, kecepatan, bonus, mutu layanan serta pertanggungjawaban organisasi. Kebetulan tidak (baca: belum) ada regulasi yang dilanggar. Nadiem untung, pengojek Gojek untung, penumpang untung, karyawan Gojek untung, transportasi Jakarta untung. Yang buntung ojek pangkalan.

Kesempatan bagi setiap orang, konsumen maupun pelaku industri untuk terjun dalam inovasi-inovasi baru terus meningkat setiap saat dalam 'kecepatan cahaya' di era teknologi dan konektivitas. Ini bukan masa dimana uang jadi segala-galanya. Dalam bisnis teknologi, kaya-miskin tidak penting. Setahu saya Nadiem bukan konglomerat. Model bisnis Gojek juga tidak membutuhkan capital finance besar. Berawal dari kamar kost, Mark Zuckerberg jadi anak muda paling kaya di planet ini dalam 'waktu semalam' dan 'membunuh' Friendster serta MySpace.

PEMERINTAH YANG IKUT NYAMAN

Tapi sangat berlebihan bila berharap seorang pengojek yang tiap hari kerjanya mangkal di perempatan bisa berpikir dan berdaya seperti Nadiem yang lulusan Harvard itu. Tak bisa juga kita tutup mata atas pertarungan yang tak imbang antar Nadiem (dengan teknologinya) dan pengojek, karena ini menyangkut kepentingan ekonomi kelompok masyarakat. Ketika itulah pemerintah harus hadir sebagai wasit yang adil. Bukan dalam bentuk proteksi. Proteksi akan menciptakan iklim industri, bisnis dan inovasi yang tidak sehat serta mematikan potensi lokal.

Pemerintah harus bisa mendorong terciptanya model bisnis baru penyeimbang Gojek untuk kelompok-kelompok yang hendak diselamatkan. Kelompok yang mau diajak maju dan keluar dari zona nyaman. Sederhananya, dorong terciptanya Gojek lain dengan model bisnis serupa atau lebih unik, pengantaran logistik contohnya. Pemerintah jelas punya pendanaan jauh lebih besar, kemampuan memobilisasi massa, stakeholder yang lebih banyak, perangkat masyarakat sampai ke wilayah terkecil dan wewenang menciptakan regulasi.

Gojek harusnya menjadi 'harta karun' inspirasi bagi pemerintah untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat dan kualitas transportasi daerah. Ia adalah gambaran dari yang disebut Dan Tapscott sebagai 'kejeniusan kolektif' dan 'peer production' di era kolaboratif ini.

Bila pun langkah ini dijalankan pemerintah, pasti tetap ada pengojek tradisional yang tak mau keluar dari zona nyamannya. Model orang seperti ini akan tetap ada sampai kiamat. Tapi yang kita ingin lihat adalah respons dan adaptasi pemerintah terhadap Gojek dalam tujuannya menciptakan pemberdayaan ekonomi masyarakat serta peningkatan kualitas layanan transportasi daerah. Bukannya proteksi, diam atau ikut-ikutan nyaman. Bicara ekonomi dengan competitive dynamic saat ini bukan soal banyak-banyakan uang. Tapi siapa yang mau keluar dari zona nyaman dan yang tidak. Kenyamanan itu cuma ilusi, kata Rhenald Kasali. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun