Batas-batas itulah yang saat ini tengah diuji oleh Nadiem lewat Gojek dalam jagad 'industri ojek' Ibukota. Nadiem datang dengan teknologi dan model bisnis baru yang jadi antitesis model bisnis 'industri ojek' pada umumnya. Kepastian harga, keringkasan, kecepatan, bonus, mutu layanan serta pertanggungjawaban organisasi. Kebetulan tidak (baca: belum) ada regulasi yang dilanggar. Nadiem untung, pengojek Gojek untung, penumpang untung, karyawan Gojek untung, transportasi Jakarta untung. Yang buntung ojek pangkalan.
Kesempatan bagi setiap orang, konsumen maupun pelaku industri untuk terjun dalam inovasi-inovasi baru terus meningkat setiap saat dalam 'kecepatan cahaya' di era teknologi dan konektivitas. Ini bukan masa dimana uang jadi segala-galanya. Dalam bisnis teknologi, kaya-miskin tidak penting. Setahu saya Nadiem bukan konglomerat. Model bisnis Gojek juga tidak membutuhkan capital finance besar. Berawal dari kamar kost, Mark Zuckerberg jadi anak muda paling kaya di planet ini dalam 'waktu semalam' dan 'membunuh' Friendster serta MySpace.
PEMERINTAH YANG IKUT NYAMAN
Tapi sangat berlebihan bila berharap seorang pengojek yang tiap hari kerjanya mangkal di perempatan bisa berpikir dan berdaya seperti Nadiem yang lulusan Harvard itu. Tak bisa juga kita tutup mata atas pertarungan yang tak imbang antar Nadiem (dengan teknologinya) dan pengojek, karena ini menyangkut kepentingan ekonomi kelompok masyarakat. Ketika itulah pemerintah harus hadir sebagai wasit yang adil. Bukan dalam bentuk proteksi. Proteksi akan menciptakan iklim industri, bisnis dan inovasi yang tidak sehat serta mematikan potensi lokal.
Pemerintah harus bisa mendorong terciptanya model bisnis baru penyeimbang Gojek untuk kelompok-kelompok yang hendak diselamatkan. Kelompok yang mau diajak maju dan keluar dari zona nyaman. Sederhananya, dorong terciptanya Gojek lain dengan model bisnis serupa atau lebih unik, pengantaran logistik contohnya. Pemerintah jelas punya pendanaan jauh lebih besar, kemampuan memobilisasi massa, stakeholder yang lebih banyak, perangkat masyarakat sampai ke wilayah terkecil dan wewenang menciptakan regulasi.
Gojek harusnya menjadi 'harta karun' inspirasi bagi pemerintah untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat dan kualitas transportasi daerah. Ia adalah gambaran dari yang disebut Dan Tapscott sebagai 'kejeniusan kolektif' dan 'peer production' di era kolaboratif ini.
Bila pun langkah ini dijalankan pemerintah, pasti tetap ada pengojek tradisional yang tak mau keluar dari zona nyamannya. Model orang seperti ini akan tetap ada sampai kiamat. Tapi yang kita ingin lihat adalah respons dan adaptasi pemerintah terhadap Gojek dalam tujuannya menciptakan pemberdayaan ekonomi masyarakat serta peningkatan kualitas layanan transportasi daerah. Bukannya proteksi, diam atau ikut-ikutan nyaman. Bicara ekonomi dengan competitive dynamic saat ini bukan soal banyak-banyakan uang. Tapi siapa yang mau keluar dari zona nyaman dan yang tidak. Kenyamanan itu cuma ilusi, kata Rhenald Kasali. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H