Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memperkokoh Indonesia Lewat Kamar Kedua

15 Juli 2015   10:44 Diperbarui: 15 Juli 2015   11:03 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Rakyat Kaltim saat mengikuti sidang putusan uji materi Pasal 14 e dan f UU 33/2004 di Mahkamah Konstitusi 12 September 2012 lalu. Dalam uji materiil ini 4 Anggota DPD RI asal Kaltim menjadi pemohon. (Tribunnews.com)"]

[/caption]

Luther Kombong beringsut di tempat duduknya saat Mahfud MD membaca putusan sidang hasil judicial review atau uji materiil di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada 12 September 2012 lalu. Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Kalimantan Timur (Kaltim) tersebut hadir di sana bersama Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak, Ketua DPRD Kaltim Mukmin Faisal, serta belasan pejabat dan tokoh dari Kaltim lainnya.

"Kita cari cara lain," bisik Luther kepada Awang Ferdian, Anggota DPD asal Kaltim lain yang duduk di sebelahnya. Semua wajah dari Kaltim yang sebelumnya tegang, mendadak jadi murung. Beberapa tak bisa menyembunyikan ekspresi marah. Saya yang hadir di situ bisa merasakan kekecewaan mereka.

Majelis hakim MK menolak seluruhnya uji materiil pasal 14 e dan f UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang diajukan Kaltim. Pasal tersebut mengatur soal dana bagi hasil (DBH) migas untuk Pusat dan daerah. DBH minyak dibagi 84,5% untuk Pusat dan 15,5% untuk daerah. Sementara DBH gas 69,5% untuk Pusat dan 30,5% untuk daerah. Kaltim merasa pembagian ini tidak adil dan meminta ada kenaikan prosentase DBH untuk daerah. Dibanding Aceh dan Papua prosentase ini bak bumi dan langit. Berdasarkan UU Otonomi Khusus, keduanya mendapatkan DBH 70% buat daerah, 30% untuk Pusat. Pertimbangan yang dipakai semata-mata alasan politik dan hankam.

Topik uji materiil ini digulirkan dan gerakannya digalang secara maraton setahun lebih di Kaltim. Semua Pemda ikut aktif, begitu juga dengan ormas. Saya ditunjuk sebagai koordinator kampanye di media massa. Anggota DPD dari Kaltim tak hanya aktif. Keempatnya bahkan menjadi pemohon. Mereka adalah Luther Kombong, Awang Ferdian, Bambang Susilo dan Muslihuddin Abdurrasyid.

Peran aktif Anggota DPD asal Kaltim ini berbanding terbalik dengan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI asal Kaltim yang jumlahnya dua kali lipat. Dukungan yang mereka berikan sebatas dukungan opini di koran. Malah, para Anggota DPD dari daerah penghasil migas lain di Indonesia ikut berjuang dalam barisan. Mereka yang ikut adalah Anggota DPD dari Kepulauan Riau, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Mereka yakin bila uji materiil ini dikabulkan MK, perubahan besar juga akan terjadi di daerah asal mereka. Aceh dan Papua tidak ikut.

"Gerakan kita ini tak hanya langkah hukum, tapi juga gerakan politik. Selama ini Kaltim kurang diperhatikan karena posisi tawar kawan-kawan dari Kaltim di DPR kurang kuat dan terikat kebijakan partai. Kami yang di DPD secara politik jauh lebih leluasa bergerak, jumlah konstituen juga lebih banyak. Tapi lihat sendiri, DPD lemah dalam daya tawar politik karena dibatasi oleh sistem," ucap Luther kepada saya beberapa waktu sebelum sidang putusan.

Dalam sidang mendengarkan keterangan ahli pada uji materiil di atas, perwakilan dari Kementerian Keuangan memberikan kesaksian mengejutkan. Prosentase DBH migas di atas, dikatakannya adalah kesepakatan antara Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU. Tidak pernah ada kajian akademis yang membahas apakah prosentase DBH itu adil atau tidak bagi daerah penghasil.

Kalau sejak dulu sampai sekarang daerah penghasil migas selalu mengeluh soal kesenjangan ekonomi Pusat-daerah, mengapa pasal 14 e dan f UU 33/2004 itu bisa lolos di parlemen? Ke mana suara mereka? Kalaupun baru sadar belakangan DBH itu tidak adil, mengapa UU tersebut tak pernah direvisi? Mengapa tidak pernah ada politic enforcement (dorongan politik) dari para legislator dari daerah penghasil? Sementara, pertambangan adalah satu dari total 31 satu urusan yang menjadi kewenangan daerah.

SENTRALISASI PARLEMEN DI NEGARA DESENTRALISASI

"Kekuasaan yang dipegang oleh permusyawaratan oleh seluruh rakyat Indonesia diduduki, tidak saja oleh wakil daerah-daerah Indonesia, tetapi semata-mata pula oleh wakil golongan atau rakyat Indonesia seluruhnya, yang dipilih dengan bebas dan merdeka oleh rakyat dengan suara terbanyak. Majelis Permusyawaratan juga meliputi segala anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kepada Majelis Presiden bertanggungjawab. Jadi ada dua syaratnya, yaitu wakil daerah dan wakil golongan langsung daripada rakyat Indonesia," cetus Mohamad Yamin dalam pidatonya sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 31 Januari 1941.

Dalam kesempatan pidatonya, Soekarno menambahkan: "Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia. Tetapi Indonesia buat Indonesia. Semua buat semua!"

Gagasan para Bapak Pendiri Bangsa Indonesia ini akhirnya tercermin UUD 1945 yang menganut prinsip setiap rakyat harus terwakili. Keterwakilan ini terbagi atas perwakilan politik (politic representation), perwakilan daerah (regional representation) dan perwakilan fungsional atau golongan (functional representation).

Pada era Orde Baru, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terbagi atas tiga kamar: DPR sebagai representasi politik, Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Bila DPR diberi hak untuk membahas dan mengesahkan UU bersama pemerintah, tidak halnya dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Mereka hanya diberi kewenangan mengangkat dan memberhentikan presiden lima tahun sekali bersama DPR. Pemilihannya banyak mengalami penyimpangan, pelaksanaan tugasnya tidak efektif dan tak demokratis. Sangat jauh dari harapan keterwakilan daerah dan golongan. Sementara kesenjangan Pusat-daerah kian menjadi-jadi.

Reformasi 1998 mengubah secara signifikan tata kelola kenegaraan Indonesia. Untuk memecahkan persoalan kesenjangan Pusat-daerah, dilakukan Amandemen Kedua UUD 1945. Amandemen ini menjadikan daerah bersifat otonom, dan Pusat menyerahkan kepada daerah kewenangan mengurus rumahtangganya sendiri atau desentralisasi. Sementara, keterlibatan daerah dalam memutuskan urusan kenegaraan -- terutama yang menyangkut daerah -- diperluas lewat Amandemen Ketiga UUD 1945 melalui DPD RI yang dipilih secara langsung. Sedangkan Utusan Golongan dilembagakan dalam DPR dan DPD seperti jatah kursi golongan perempuan.

Secara filosofis, kehadiran DPD bertujuan untuk menjaga keseimbangan Pusat-daerah, representasi teritorial, mengatasi kesenjangan, memperkuat semangat otonomi daerah serta menjamin keutuhan integritas wilayah. Dalam sistem parlemen DPD menjadi penyeimbang DPR dan double check dalam fungsi dan kewenangan parlemen. Saat DPR menjadi perwakilan politik parpol, DPD murni hadir sebagai representasi daerah di Pusat tanpa campur tangan kepentingan parpol.

Semua terlihat bagus dari aspek filosofis demi menjaga keseimbangan Pusat-daerah dan mewujudkan parlemen yang sehat dan keikutsertaan daerah. Namun ketika ditilik dari segi konstitusi dan regulasi, sangat jauh api dari panggang.

DPD RI: LEGISLATIF ATAU 'TIM AHLI'?

Kewenangan legislasi DPD yang diatur pasal 22d UUD 1945 berisi kata-kata: mengajukan, membahas, pengawasan, pertimbangan dan ikut serta. Tak ada satupun kata 'memutuskan' atau 'mengesahkan', terutama dalam konteks pengesahan rancangan undang-undang (RUU). Padahal dalam kedudukan menurut konstitusi, DPD dan DPR setara sebagai lembaga legislatif. Namun berdasarkan kewenangan, DPD berada di tempat 'lebih rendah' dibanding DPR.

Realita ini menurut beberapa pakar tata negara seperti Jimly Ashidiqqie dan Bagir Manan, DPD diposisikan lebih bersifat co-legislative, komplemen, bahkan lembaga konsultatif yang hanya memberikan masukan dan pertimbangan. Tak ada kewajiban bagi DPR dan pemerintah mengakomodir pertimbangan tersebut. Hal ini mirip dengan hak lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang juga boleh mengusulkan RUU, atau tim ahli yang memberikan masukan. Mau dipakai atau tidak, itu lain cerita.

Salah satu kisah ironis terjadi pada 15 Maret 2012. Ketika itu rapat paripurna DPD memutuskan menolak kenaikan harga BBM subsidi. Namun hasil keputusan DPD ini tak disampaikan dan tak dibahas samasekali dalam sidang paripurna DPR yang membahas soal rencana kenaikan harga BBM. Di akhir sidang, DPR merestui Pemerintah menaikkan harga BBM dengan syarat. Di tahun 2014 saja, dari 65 RUU yang masuk program legislasi nasional (Prolegnas) untuk dibahas DPR, hanya 1 dari DPD yang diakomodir. Padahal DPD menyerahkan 12 RUU. Ini sangat kontras bila dibandingkan sistem parlemen dua kamar atau bikameral yang seimbang seperti Amerika Serikat dan Jerman. Di sana kamar senat (DPD) di kongres bisa melakukan veto putusan legislasi house of representative (DPR) dan eksekutif yang menyangkut negara bagian.

Merunut sejarah, kelemahan DPD dalam konstitusi ini bukannya tanpa sengaja. Ketika pembahasan amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2002, Fraksi PDIP sebagai pemenang Pemilu menolak DPD disejajarkan dengan DPR dalam legislasi. Sementara Fraksi Partai Golkar setuju DPD punya fungsi legislasi dan pengawasan yang sama dengan DPR. Menengahi ini, Fraksi PPP menengahi dengan mengusulkan DPD tetap diberi kewenangan legislasi, tapi terbatas. Usulan kompromi inilah yang akhirnya tercermin dalam Pasal 22d UUD 1945. Pasal 20 ayat 1-5 UUD 1945 juga masih menyebut bahwa kewenangan membentuk UU hanya ada di tangan DPR dan Presiden. Pasal 7c UUD 1945 melarang Presiden membubarkan DPR, tetap tak ada larangan bagi Presiden membubarkan DPD. Begitu pula dengan pernyataan perang dan damai yang diputuskan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, sama sekali tak menyebut DPD.

EKSISTENSI DPD DAN SUARA DAERAH

Secara eksistensi, keberadaan DPD sangat kuat menurut konstitusi karena dipilih melalui pemilihan umum langsung. Baik DPD dan DPR, sama-sama jelmaan keterwakilan kepentingan rakyat. Parlemen dalam fungsi utamanya sebagai lembaga perwakilan, yang paling pokok adalah fungsi keterwakilan itu sendiri.

Dari segi keterwakilan, Anggota DPD mewakili lebih banyak orang. Jawa Timur misalnya, untuk menjadi anggota DPD seseorang harus mengumpulkan 5,5 juta suara pemilih. Sementara untuk jadi Anggota DPR 'hanya' 550 ribu pemilih. Bila seorang calon anggota legislatif (caleg) DPR bisa menggunakan mesin parpol sebagai penghimpun suara, caleg DPD harus menggunakan kapasitas pribadi. Ketika anggota DPR bekerja sesuai arahan dan ideologi parpol, anggota DPD murni hadir membawa kepentingan serta aspirasi daerah. Dalam situasi seperti ini, parlemen yang sehat bisa terwujud salahsatunya lewat keseimbangan antara DPR dan DPD, khususnya di fungsi legislasi dengan hak sama-sama memutuskan.

Di sisi lain, kesenjangan Pusat-daerah belakangan tengah meletup-letup. Di Kaltim contohnya, tengah bergulir tuntutan otonomi khusus (otsus) seperti Aceh dan Papua. Kaltim merasa tidak pernah diperlakukan adil oleh Pemerintah Pusat dari dulu hingga sekarang, terutama soal ekonomi dan infrastruktur. Perjuangan kepentingan Kaltim di DPR oleh para legislatornya sangat sepi. Sementara Anggota DPD asal Kaltim meski vokal lewat berbagai forum, tapi masih dibayangi oleh kewenangan yang sangat terbatas.

Bergulirnya tuntutan otsus tersebut tidak lepas dari isu Blok Mahakam di Kaltim dimana peran dan keterlibatan daerah seolah-olah dipinggirkan oleh Pusat. Kaltim meminta pembagian saham 20%, sementara Pusat memutuskan maksimal 10%. Itu pun tak boleh pakai dana pihak ketiga. Kaltim mendukung penuh Pertamina menjadi operator, sementara Pusat masih memberikan saham 30% kepada pengelola lama yakni Total EP dan Inpex. Padahal, Ketua DPD RI Irman Gusman bersuara lantang menuntut Pemerintah mengizinkan Pertamina mengambilalih Blok Mahakam 100%. Tapi suara-suara itu seakan tidak penting. Sementara tidak terdengar suara dari DPR.

"Apakah kita harus angkat senjata dulu seperti Aceh dan Papua supaya didengarkan Jakarta?" cetus Abraham Ingan, aktivis dan tokoh masyarakat Kaltim.

Letupan-letupan yang sama juga datang dari seluruh Nusantara. Kebijakan hilirisasi pertambangan diprotes oleh semua daerah penghasil SDA ekstraktif. Perpanjangan kontrak Freeport di Papua. Minimnya ketersediaan listrik dan infrastruktur di Indonesia Tengah dan Timur. Tidak diperhatikannya kawasan perbatasan. Disparitas harga komoditas antar daerah. Sengketa tanah adat. Kerusakan lingkungan hidup akibat aktivitas industri yang izinnya dikeluarkan Pusat. Pemberantasan korupsi di daerah. Kerusuhan akibat Pilkada. Kebutuhan tenaga pengajar, medis dan PNS. Gerakan separatis bersenjata. Demikian itu adalah beberapa dari sekian banyak masalah-masalah di daerah yang menggerogoti keutuhan Indonesia sebagai negara dan bangsa, tapi tak terselesaikan hingga sekarang.

Menghadirkan suara daerah secara lantang di panggung politik nasional melalui struktur ketatanegaraan lewat DPD adalah salahsatu cara utama menyelesaikannya. Tapi DPD harus berdiri di tengah panggung, sejajar dan seimbang bersama DPR dan Pemerintah lewat hak yang sama, khususnya di fungsi legislasi. Bukan di pinggir atau di belakang seperti yang terjadi selama ini. Dominasi DPR di parlemen harus disudahi untuk mewujudkan parlemen yang sehat untuk membangun Indonesia yang lebih kokoh.

KEMBALI KE FITRAH LEWAT AMANDEMEN KELIMA

Keganjilan dalam sistem parlemen bikameralisme atau dua kamar (DPR dan DPD) kita ini sudah lama terasa: satu lembaga lebih kuat dibanding lembaga lain. Lima tahun belakangan DPD gencar mengkampanyekan Amandemen Kelima UUD 1945 untuk mengembalikan DPD ke gagasan awalnya sebagai keikutsertaan daerah dalam penyelenggaran pengelolaan negara. Secara konstitusional, DPD adalah perwakilan rakyat di daerah di pusat kekuasaan.

Dikatakan pakar tata negara Bagir Manan, pasal 22c ayat 2 UUD 1945 yang mengatur jumlah anggota DPD adalah maksimal sepertiga dari jumlah anggota DPR, menyebabkan ketidakpastian hukum. Jumlah Anggota DPD akan berubah sesuai jumlah Anggota DPR. Begitu pula dengan pasal 22c ayat 3 UUD 1945 yang menyebut DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Karena, jika DPD dibentuk sebagai kamar kedua dalam parlemen, berarti DPD adalah lembaga pembuat UU yang pekerjaannya sehari-hari adalah membuat dan mengawasi penerapan UU.

Amandemen Kelima adalah jalan mewujudkan bikameralisme yang sehat di parlemen Indonesia lewat keseimbangan dan check and balance antarkamar. Masing-masing kamar harus punya kewenangan membuat dan mengesahkan UU, yang meski di bidang yang berbeda tapi dapat saling mengontrol lewat instrumen kewenangan yang setara. Penguatan lembaga perwakilan ini hanya salah satu dari 10 isu strategis yang diusulkan DPD RI dalam Amandemen Kelima.

Untuk mewujudkan Amandemen Kelima ini, DPD mesti piawai melakukan pendekatan kepada parpol yang menguasai DPR, dan tak menjadikan mereka sasaran kritik. Kepiawaian Anggota DPD dalam berpolitik diuji dalam menjadikan Anggota DPR sebagai rekanan ketimbang saingan. Tak kalah penting, para Anggota DPD juga ditantang untuk meningkatkan kapasitas, kontribusi, keaktifannya dalam isu-isu strategis yang 'high profile', terutama yang menyangkut kepentingan daerah di pentas politik nasional. Irman Gusman, GKR Hemas, Farouk Muhammad, Osman Sapta, AM Fatwa, Fahira Idris, Akhmad Muqowam, Fadel Muhammad, adalah beberapa nama di DPD yang tanggap pada isu strategis dan aktif di pentas nasional. Langkah ini patut menjadi contoh ideal bagi Anggota DPD lainnya.

Lewat perjuangan Amandemen Kelima ini, kita berharap suara daerah lewat para senator di DPD makin punya arti dalam menentukan kelangsungan negara ini. Kita ingin suara-suara daerah itu terdengar nyaring di pusat kekuasaan lewat Anggota DPD sebagai perwakilan rakyat daerah yang paling murni. Indonesia yang kuat berawal dari daerah yang kuat. (*)

Bahan bacaan:

  • Demokrasi dan konstitusi di Indonesia, Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan (Mahfud MD)
  • MPR,DPR dan DPD Dalam UUD 1945 Baru (Bagir Manan)
  • Lembaga Perwakilan dan Permusyawaratan Rakyat Tingkat Pusat (Jimly Asshiddiqie)
  • Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jimly Asshiddiqie)
  • Penataan Lembaga Perwakilan Rakyat; Sistem Trikameral di Tengah Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat (Saldi Isra)
  • Peran DPD Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (AM Fatwa)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun