Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memperkokoh Indonesia Lewat Kamar Kedua

15 Juli 2015   10:44 Diperbarui: 15 Juli 2015   11:03 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari segi keterwakilan, Anggota DPD mewakili lebih banyak orang. Jawa Timur misalnya, untuk menjadi anggota DPD seseorang harus mengumpulkan 5,5 juta suara pemilih. Sementara untuk jadi Anggota DPR 'hanya' 550 ribu pemilih. Bila seorang calon anggota legislatif (caleg) DPR bisa menggunakan mesin parpol sebagai penghimpun suara, caleg DPD harus menggunakan kapasitas pribadi. Ketika anggota DPR bekerja sesuai arahan dan ideologi parpol, anggota DPD murni hadir membawa kepentingan serta aspirasi daerah. Dalam situasi seperti ini, parlemen yang sehat bisa terwujud salahsatunya lewat keseimbangan antara DPR dan DPD, khususnya di fungsi legislasi dengan hak sama-sama memutuskan.

Di sisi lain, kesenjangan Pusat-daerah belakangan tengah meletup-letup. Di Kaltim contohnya, tengah bergulir tuntutan otonomi khusus (otsus) seperti Aceh dan Papua. Kaltim merasa tidak pernah diperlakukan adil oleh Pemerintah Pusat dari dulu hingga sekarang, terutama soal ekonomi dan infrastruktur. Perjuangan kepentingan Kaltim di DPR oleh para legislatornya sangat sepi. Sementara Anggota DPD asal Kaltim meski vokal lewat berbagai forum, tapi masih dibayangi oleh kewenangan yang sangat terbatas.

Bergulirnya tuntutan otsus tersebut tidak lepas dari isu Blok Mahakam di Kaltim dimana peran dan keterlibatan daerah seolah-olah dipinggirkan oleh Pusat. Kaltim meminta pembagian saham 20%, sementara Pusat memutuskan maksimal 10%. Itu pun tak boleh pakai dana pihak ketiga. Kaltim mendukung penuh Pertamina menjadi operator, sementara Pusat masih memberikan saham 30% kepada pengelola lama yakni Total EP dan Inpex. Padahal, Ketua DPD RI Irman Gusman bersuara lantang menuntut Pemerintah mengizinkan Pertamina mengambilalih Blok Mahakam 100%. Tapi suara-suara itu seakan tidak penting. Sementara tidak terdengar suara dari DPR.

"Apakah kita harus angkat senjata dulu seperti Aceh dan Papua supaya didengarkan Jakarta?" cetus Abraham Ingan, aktivis dan tokoh masyarakat Kaltim.

Letupan-letupan yang sama juga datang dari seluruh Nusantara. Kebijakan hilirisasi pertambangan diprotes oleh semua daerah penghasil SDA ekstraktif. Perpanjangan kontrak Freeport di Papua. Minimnya ketersediaan listrik dan infrastruktur di Indonesia Tengah dan Timur. Tidak diperhatikannya kawasan perbatasan. Disparitas harga komoditas antar daerah. Sengketa tanah adat. Kerusakan lingkungan hidup akibat aktivitas industri yang izinnya dikeluarkan Pusat. Pemberantasan korupsi di daerah. Kerusuhan akibat Pilkada. Kebutuhan tenaga pengajar, medis dan PNS. Gerakan separatis bersenjata. Demikian itu adalah beberapa dari sekian banyak masalah-masalah di daerah yang menggerogoti keutuhan Indonesia sebagai negara dan bangsa, tapi tak terselesaikan hingga sekarang.

Menghadirkan suara daerah secara lantang di panggung politik nasional melalui struktur ketatanegaraan lewat DPD adalah salahsatu cara utama menyelesaikannya. Tapi DPD harus berdiri di tengah panggung, sejajar dan seimbang bersama DPR dan Pemerintah lewat hak yang sama, khususnya di fungsi legislasi. Bukan di pinggir atau di belakang seperti yang terjadi selama ini. Dominasi DPR di parlemen harus disudahi untuk mewujudkan parlemen yang sehat untuk membangun Indonesia yang lebih kokoh.

KEMBALI KE FITRAH LEWAT AMANDEMEN KELIMA

Keganjilan dalam sistem parlemen bikameralisme atau dua kamar (DPR dan DPD) kita ini sudah lama terasa: satu lembaga lebih kuat dibanding lembaga lain. Lima tahun belakangan DPD gencar mengkampanyekan Amandemen Kelima UUD 1945 untuk mengembalikan DPD ke gagasan awalnya sebagai keikutsertaan daerah dalam penyelenggaran pengelolaan negara. Secara konstitusional, DPD adalah perwakilan rakyat di daerah di pusat kekuasaan.

Dikatakan pakar tata negara Bagir Manan, pasal 22c ayat 2 UUD 1945 yang mengatur jumlah anggota DPD adalah maksimal sepertiga dari jumlah anggota DPR, menyebabkan ketidakpastian hukum. Jumlah Anggota DPD akan berubah sesuai jumlah Anggota DPR. Begitu pula dengan pasal 22c ayat 3 UUD 1945 yang menyebut DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Karena, jika DPD dibentuk sebagai kamar kedua dalam parlemen, berarti DPD adalah lembaga pembuat UU yang pekerjaannya sehari-hari adalah membuat dan mengawasi penerapan UU.

Amandemen Kelima adalah jalan mewujudkan bikameralisme yang sehat di parlemen Indonesia lewat keseimbangan dan check and balance antarkamar. Masing-masing kamar harus punya kewenangan membuat dan mengesahkan UU, yang meski di bidang yang berbeda tapi dapat saling mengontrol lewat instrumen kewenangan yang setara. Penguatan lembaga perwakilan ini hanya salah satu dari 10 isu strategis yang diusulkan DPD RI dalam Amandemen Kelima.

Untuk mewujudkan Amandemen Kelima ini, DPD mesti piawai melakukan pendekatan kepada parpol yang menguasai DPR, dan tak menjadikan mereka sasaran kritik. Kepiawaian Anggota DPD dalam berpolitik diuji dalam menjadikan Anggota DPR sebagai rekanan ketimbang saingan. Tak kalah penting, para Anggota DPD juga ditantang untuk meningkatkan kapasitas, kontribusi, keaktifannya dalam isu-isu strategis yang 'high profile', terutama yang menyangkut kepentingan daerah di pentas politik nasional. Irman Gusman, GKR Hemas, Farouk Muhammad, Osman Sapta, AM Fatwa, Fahira Idris, Akhmad Muqowam, Fadel Muhammad, adalah beberapa nama di DPD yang tanggap pada isu strategis dan aktif di pentas nasional. Langkah ini patut menjadi contoh ideal bagi Anggota DPD lainnya.

Lewat perjuangan Amandemen Kelima ini, kita berharap suara daerah lewat para senator di DPD makin punya arti dalam menentukan kelangsungan negara ini. Kita ingin suara-suara daerah itu terdengar nyaring di pusat kekuasaan lewat Anggota DPD sebagai perwakilan rakyat daerah yang paling murni. Indonesia yang kuat berawal dari daerah yang kuat. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun