Dalam kesempatan pidatonya, Soekarno menambahkan: "Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia. Tetapi Indonesia buat Indonesia. Semua buat semua!"
Gagasan para Bapak Pendiri Bangsa Indonesia ini akhirnya tercermin UUD 1945 yang menganut prinsip setiap rakyat harus terwakili. Keterwakilan ini terbagi atas perwakilan politik (politic representation), perwakilan daerah (regional representation) dan perwakilan fungsional atau golongan (functional representation).
Pada era Orde Baru, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terbagi atas tiga kamar: DPR sebagai representasi politik, Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Bila DPR diberi hak untuk membahas dan mengesahkan UU bersama pemerintah, tidak halnya dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Mereka hanya diberi kewenangan mengangkat dan memberhentikan presiden lima tahun sekali bersama DPR. Pemilihannya banyak mengalami penyimpangan, pelaksanaan tugasnya tidak efektif dan tak demokratis. Sangat jauh dari harapan keterwakilan daerah dan golongan. Sementara kesenjangan Pusat-daerah kian menjadi-jadi.
Reformasi 1998 mengubah secara signifikan tata kelola kenegaraan Indonesia. Untuk memecahkan persoalan kesenjangan Pusat-daerah, dilakukan Amandemen Kedua UUD 1945. Amandemen ini menjadikan daerah bersifat otonom, dan Pusat menyerahkan kepada daerah kewenangan mengurus rumahtangganya sendiri atau desentralisasi. Sementara, keterlibatan daerah dalam memutuskan urusan kenegaraan -- terutama yang menyangkut daerah -- diperluas lewat Amandemen Ketiga UUD 1945 melalui DPD RI yang dipilih secara langsung. Sedangkan Utusan Golongan dilembagakan dalam DPR dan DPD seperti jatah kursi golongan perempuan.
Secara filosofis, kehadiran DPD bertujuan untuk menjaga keseimbangan Pusat-daerah, representasi teritorial, mengatasi kesenjangan, memperkuat semangat otonomi daerah serta menjamin keutuhan integritas wilayah. Dalam sistem parlemen DPD menjadi penyeimbang DPR dan double check dalam fungsi dan kewenangan parlemen. Saat DPR menjadi perwakilan politik parpol, DPD murni hadir sebagai representasi daerah di Pusat tanpa campur tangan kepentingan parpol.
Semua terlihat bagus dari aspek filosofis demi menjaga keseimbangan Pusat-daerah dan mewujudkan parlemen yang sehat dan keikutsertaan daerah. Namun ketika ditilik dari segi konstitusi dan regulasi, sangat jauh api dari panggang.
DPD RI: LEGISLATIF ATAU 'TIM AHLI'?
Kewenangan legislasi DPD yang diatur pasal 22d UUD 1945 berisi kata-kata: mengajukan, membahas, pengawasan, pertimbangan dan ikut serta. Tak ada satupun kata 'memutuskan' atau 'mengesahkan', terutama dalam konteks pengesahan rancangan undang-undang (RUU). Padahal dalam kedudukan menurut konstitusi, DPD dan DPR setara sebagai lembaga legislatif. Namun berdasarkan kewenangan, DPD berada di tempat 'lebih rendah' dibanding DPR.
Realita ini menurut beberapa pakar tata negara seperti Jimly Ashidiqqie dan Bagir Manan, DPD diposisikan lebih bersifat co-legislative, komplemen, bahkan lembaga konsultatif yang hanya memberikan masukan dan pertimbangan. Tak ada kewajiban bagi DPR dan pemerintah mengakomodir pertimbangan tersebut. Hal ini mirip dengan hak lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang juga boleh mengusulkan RUU, atau tim ahli yang memberikan masukan. Mau dipakai atau tidak, itu lain cerita.
Salah satu kisah ironis terjadi pada 15 Maret 2012. Ketika itu rapat paripurna DPD memutuskan menolak kenaikan harga BBM subsidi. Namun hasil keputusan DPD ini tak disampaikan dan tak dibahas samasekali dalam sidang paripurna DPR yang membahas soal rencana kenaikan harga BBM. Di akhir sidang, DPR merestui Pemerintah menaikkan harga BBM dengan syarat. Di tahun 2014 saja, dari 65 RUU yang masuk program legislasi nasional (Prolegnas) untuk dibahas DPR, hanya 1 dari DPD yang diakomodir. Padahal DPD menyerahkan 12 RUU. Ini sangat kontras bila dibandingkan sistem parlemen dua kamar atau bikameral yang seimbang seperti Amerika Serikat dan Jerman. Di sana kamar senat (DPD) di kongres bisa melakukan veto putusan legislasi house of representative (DPR) dan eksekutif yang menyangkut negara bagian.
Merunut sejarah, kelemahan DPD dalam konstitusi ini bukannya tanpa sengaja. Ketika pembahasan amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2002, Fraksi PDIP sebagai pemenang Pemilu menolak DPD disejajarkan dengan DPR dalam legislasi. Sementara Fraksi Partai Golkar setuju DPD punya fungsi legislasi dan pengawasan yang sama dengan DPR. Menengahi ini, Fraksi PPP menengahi dengan mengusulkan DPD tetap diberi kewenangan legislasi, tapi terbatas. Usulan kompromi inilah yang akhirnya tercermin dalam Pasal 22d UUD 1945. Pasal 20 ayat 1-5 UUD 1945 juga masih menyebut bahwa kewenangan membentuk UU hanya ada di tangan DPR dan Presiden. Pasal 7c UUD 1945 melarang Presiden membubarkan DPR, tetap tak ada larangan bagi Presiden membubarkan DPD. Begitu pula dengan pernyataan perang dan damai yang diputuskan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, sama sekali tak menyebut DPD.
EKSISTENSI DPD DAN SUARA DAERAH
Secara eksistensi, keberadaan DPD sangat kuat menurut konstitusi karena dipilih melalui pemilihan umum langsung. Baik DPD dan DPR, sama-sama jelmaan keterwakilan kepentingan rakyat. Parlemen dalam fungsi utamanya sebagai lembaga perwakilan, yang paling pokok adalah fungsi keterwakilan itu sendiri.