Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Utopia Taylor, Kuil Agung Google dan Manusia Mesin

14 Juli 2015   14:46 Diperbarui: 14 Juli 2015   14:46 1851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Lelucon yang menyindir Google sebagai perusahaan jahat (dailytech.com)"][/caption]

"Dave, hentikan. Tolong, Dave. Hentikan perbuatanmu, Dave!" teriak HAL.

Astronot Dave Bowman tidak merasa kasihan dan melanjutkan perbuatannya: membunuh HAL. Dave menganggap komputer super bernama HAL itu sengaja mencelakakannya dengan mengirimnya ke ruang angkasa yang sangat jauh dan berbahaya. Dalam film 2001: A Space Odyssey yang dirilis tahun 1968 itu Dave kemudian mencabut komponen-komponen penting dalam sirkuit yang merupakan 'otak' HAL.

"Dave, pemikiranku sedang berkembang," kata HAL dengan lirih dalam film yang disutradarai Stanley Kubric tersebut.

"Aku bisa merasakannya, Dave. Aku bisa merasakannya. Aku takut..."

***

Di suatu siang di tahun 1882 Friedrich Nietzche girang bukan main. Mesin tik bermerk Malling-Hansen pesanan tiba di rumah filosof Jerman tersebut. Di zaman itu mesin tik model writing ball ini mahal sekali karena penemuan baru. Tapi ketika menggunakannya kepala Nietzche jadi pening. Pandangan matanya jadi kabur, melihat kertas di mesin tik tidak bisa fokus dan terasa menyakitkan. Berbeda sekali dengan menulis tangan. Seorang kawan lalu membantunya beradaptasi dengan 'mesin canggih' itu. Tak lama, Nietzche sudah sangat lancar mengetik, bahkan dengan mata tertutup. Kata demi kata seperti langsung mengalir dari pikiran ke atas kertas. Keluhan sakit kepala juga hilang. Beberapa bukunya seperti The Antichrist, Ecce Homo, Beyond Good and Evil dan On the Genealogy of Morality adalah karya yang ia ketik menggunakan mesin tik.

Suatu hari Johann Heinrich Koselitz datang kepada Nietzsche. Komposer musik Jerman ini adalah sahabat dan penggemar bukunya. Koselitz mengeritik buku-buku yang baru diterbitkan Nietzsche. Katanya, gaya bahasa khas Nietzsche berubah. Kalimatnya jadi seperti telegrap: singkat dan ringkas. Koselitz curiga ini ada hubungannya dengan mesin tik.

"Ketika menulis musik, kualitas pena dan kertas sangat menentukan kualitas pekerjaanku," kata Koselitz kepada sahabatnya yang memberinya nama lain sebagai Peter Gast dalam buku-bukunya itu.

Alih-alih membantah, Nietzsche menjawab, "Kamu benar. Aku juga merasa perangkat menulis mengambil peranan sangat penting dalam menerjemahkan pemikiran kita ke dalam tulisan."

Penulis dan cendekiawan Jerman Friedrich Adolf Kittler menegaskan terjadi perubahan tulisan Nietzsche ketika ia sudah kenal mesin tik. Di buku-buku sebelumnya Nietzsche piawai dalam berargumen, tapi belakangan menjadi kerap beraforisma atau memainkan kata lewat peribahasa. Menjadi ringkas dan singkat dari sebelumnya yang retoris.

BERUBAH, BUKAN BERKEMBANG

Tidak seperti komputer super HAL yang merasa otaknya berkembang, Nicholas Carr yakin (cara kerja) otaknya sudah berubah karena teknologi. "Saya tak lagi berpikir seperti cara-cara sebelumnya," sebut penulis buku international best seller The Shallow itu dalam makalahnya berjudul Is Google Making Us Stupid?

Tidak sedikit orang yang punya keluhan sama dengan Carr. Termasuk saya. Dulu, kita bisa tahan membaca buku berjam-jam, membolak-balik halaman, mengikuti narasi dan argumen tulisan, hingga mencoret-coret kertas buku. Sekarang, konsentrasi itu dengan mudah terganggu setelah halaman kedua atau ketiga. Mudah lupa apa yang ada di halaman sebelumnya, bahkan ada dorongan besar untuk melompati halaman atau melakukan hal lain. Untuk tenggelam dalam bacaan, kata Carr, belakangan menjadi pergulatan yang berat.

Apakah yang berubah hanya sekedar cara membaca kita? Tidak.

Di tahun 370 SM, Socrates dalam Plato's Phaedrus sudah cemas dengan berkembangnya budaya menulis. Ia khawatir manusia akan terlalu mengandalkan buku untuk menggantikan pengetahuan yang disimpan dalam otak.

"Mereka akan berhenti melatih ingatan dan mudah lupa," tulis Socrates.

Filosof Yunani ini melanjutkan kekhawatirannya. Manusia akan menerima ilmu dalam jumlah banyak tanpa petunjuk dan kebijaksanaan. Mereka akan jadi congkak. Mereka mereka pikir mereka sangat pandai, padahal bebal. Socrates banyak benarnya meski ia tak sempat menyaksikan betapa banyak manfaat buku atau tulisan bagi kehidupan.

Membaca bukanlah kemampuan bawaan lahir dan tertulis dalam gen. Dikatakan psikolog dari Tufts University, Maryanne Wolf, manusia mengajarkan otaknya menerjemahkan huruf sebagai simbol menjadi bahasa yang ia kenal. Hal besar yang berada di balik kemampuan membaca adalah kemampuan berpikir. Wolf cemas dengan cara membaca 'efisien' ala internet bisa melemahkan kapasitas manusia dalam berpikir.

"Kita tidak hanya apa yang kita baca, tapi bagaimana kita membaca. Tenggelam dalam bacaan (deep reading) berimplikasi langsung pada pemikiran yang dalam (deep thinking)," kata Wolf.

Otak manusia itu sangat fleksibel. Seperti plastik, kata James Olds, profesor neuroscience George Mason University. Syaraf otak dengan rutin menciptakan koneksi baru dan menghilangkan yang lama. Otak punya kemampuan memprogramulang dirinya sendiri menyesuaikan dengan cara ia difungsikan.

Saya merasa otak saya sudah terprogramulang karena internet. Tidak sanggup lagi membaca buku War and Peace karya Leo Tolstoy yang tebalnya 1.300 halaman yang dulu saya habiskan saat masih kuliah itu. Doctor Zhivago yang cuma 700 halaman pun tak kuat lagi.

Kita bangun tidur jam 5 subuh, sarapan jam 7, tiba di kantor jam 8, makan siang jam 12, adalah contoh teknologi mengubah otak kita. Sejak jam mekanik ditemukan di abad ke-14, manusia terikat dengan waktu yang disusun dalam urutan matematika. Disebut pakar komputer dari MIT Joseph Weizenbaum, manusia tak lagi beraktivitas sesuai nalurinya sebagai mahluk. Sebelum ada jam mekanik, manusia makan ketika lapar, tidur ketika lelah. Sekarang makan ada jamnya, tidur harus jam 10 malam. Otak bekerja sesuai urutan jam. Nah, di zaman komputer, otak bekerja seperti software komputer: efisien, ringkas, disiplin, terstruktur dan beralogaritma sempurna.

GOOGLE INGIN KITA TAK BERPIKIR

Oke, saya mengaku. Di usia 34 tahun ini saya masih main video game. Playstation tepatnya. Saya gemar video game sejak kecil waktu dibelikan Atari oleh ayah saya tahun 1984. Berlanjut ke game komputer, Nintendo sampai Sega. Ngacir ke tempat main dingdong dulu adalah salah satu kenakalan saya. Meski sederhana sekali, game zaman dulu jauh lebih susah dan lama menyelesaikannya. Game sekarang makin rumit dan menuntut kecerdasan, tapi bisa diselesaikan 1-2 malam. Ini semua 'gara-gara' Google yang menyediakan semua cara dan jawaban menyelesaikan game, termasuk teka-teki di dalamnya. Dulu bisa berminggu-minggu menyelesaikan teka-teki dalam satu tahap sampai tidak bisa tidur karena berpikir. Sekarang, 5 menit tidak bisa menyelesaikan puzzle langsung tanya Mbah Google. Ini memang pilihan kita. Tapi siapa yang bisa menolak kenikmatan yang ditawarkan Google? Secara alamiah, otak manusia akan memprioritaskan cara termudah.

Tawaran Google untuk mengajak kita 'tidak berpikir' ini tampak setiap kita melakukan pencarian. Google punya teknologi Google Autocomplete atau Google Prediction yang bisa menebak frase apa yang ingin kita cari ketika baru menulis satu kata. Frase tebakan ini tak semata-mata hasil search rank (peringkat pencarian) atau page rank (peringkat kunjungan) populer. Tapi olahan data pribadi yang kita yang jauh lebih rumit yang dipegang Google: lokasi, usia, gender, situs yang paling sering dikunjungi, ketertarikan, dll. Seolah-olah Google tahu benar siapa kita dan apa yang kita inginkan, bahkan 'mendikte'. Sudah seperti istri saja.

[caption caption="Autocomplete pada Google (Dokpri)"]

[/caption]

[caption caption="Hasil pencarian keyword 'Apakah Jokowi' pada Google (Dokpri)"]

[/caption]

"Mesin pencari terhebat adalah yang mampu menyamai kepandaian manusia, atau lebih pandai. Kami terus mengembangkan kecerdasan buatan yang lebih tinggi. Bila kita memiliki semua informasi dari seluruh dunia tertanam langsung di otak, atau kecerdasan buatan yang lebih pandai dari otak kita, hidup kita akan jadi lebih baik," kata Larry Page, pencipta Google kepada Newsweek.

Apa maksud Page 'hidup kita jadi lebih baik'? Tidak jelas apakah yang lebih baik itu artinya internet menjadi suplemen bagi otak manusia, atau menggantikan otak kita.

Memang menyenangkan punya Google, seperti punya perpustakaan maha besar di ujung jari dan gratis. Mencari informasi (nyaris) apapun bisa ketemu. Semua yang ditawarkan Google, kata Clive Thompson dari Wired's, adalah produk sempurna pergantian otak ke memori silikon. "Adalah karunia yang luar biasa bagi cara berpikir kita," pujinya.

UTOPIA TAYLOR

Setelah mendapat izin dari pemilik pabrik baja Midvale di Philadelphia, Frederick Winslow Taylor mengamati lekat-lekat para pekerja beraktivitas. Ada stopwatch di tangan anak muda yang mengawali kariernya sebagai klerk di Midvale itu. Ia mencatat dengan rajin berapa waktu yang dibutuhkan seorang pekerja untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan dan urutannya. Kalau satu cara pengerjaan dianggap lama, ia akan minta pekerja pakai cara lain hingga mencapai catatan waktu tercepat.

Laporan hasil penelitian dan pengamatan itu ia serahkan kepada pemilik dan petinggi pabrik berjudul Scientific Management atau Manajemen Ilmiah pada tahun 1890. Isinya adalah bagaimana meningkatkan efisiensi dan efektivitas pekerjaan untuk mendongkrak peningkatan keuntungan perusahaan. Pekerjaan yang ini perlu berapa orang, waktu maksimal pengerjaan, cara paling efisien, dll. Pemilik perusahan girang bukan main dan langsung menerapkannya. Karyawan pabrik protes karena selain dianggap memeras tenaga, mereka merasa seperti perangkat automaton atau robot. Tapi bukti adanya kenaikan produktivitas dan laba, membuat protes itu jadi tak penting.

Mimpi atau utopia yang diusung oleh Taylor adalah efisiensi yang sempurna. Utopia ini ada di hampir semua pelaku industri modern saat ini. Termasuk perusahaan tempat saya bekerja. Semua harus terukur dengan angka atau alogaritma yang ditetapkan. Sistem ditegakkan dengan disiplin. "Di masa lalu manusia menjadi prioritas utama. Di masa depan, sistem harus yang paling utama," kata Taylor.

Bagi semua pencipta perangkat lunak (software), utopia Taylor ini sangat penting. Para programmer selalu berjibaku menemukan alogaritma pemprograman yang sempurna atau 'one best method'. Artinya, program harus bisa bekerja berat tapi efisien dengan hasil yang sempurna.

Googleplex, markas Google di California, adalah 'kuil paling agung' dunia internet. 'Agama' yang ada di baliknya adalah Taylorian. Bila Taylor menemukan sistem bagaimana sesuatu harus dikerjakan, Google menemukan sistem bagaimana sesuatu harus dipikirkan. "Google adalah perusahaan yang menemukan ilmu pengetahuan baru dalam ilmu pengukuran. Kami membuat segalanya jadi sistematis," kata Eric Schmidt, CEO Google.

Bagi Google, informasi adalah komoditas dan sumberdaya yang bisa diproses untuk kepentingan perusahaan. Sangat terbatas ruang yang disediakan oleh Google sebagai jeda berpikir atau kontemplasi. Tak ada tempat bagi ambiguitas. Karena bila kita tak menemukan satu pencarian, kita akan lompat ke pencarian lain. Bila sudah selesai atau bosan dengan yang satu, lompat lagi ke yang lain.

"Otak manusia seperti komputer kuno di hadapan Google, dan Google memaksa otak kita jadi lebih cepat dan berdaya tampung besar seperti Google," kata Nicholas Carr.

Membuat otak kita bekerja lebih cepat seperti komputer dan melompat-lompat juga adalah strategi bisnis Google. Makin banyak kita mengunjungi website, iklan Google yang tersebar dimana-mana itu makin banyak pemirsanya. Makin banyak pula data dan perilaku kita yang mereka dapatkan, kemudian dijual kepada pengiklan. Perilaku membaca dengan lambat tidak sesuai dengan tujuan bisnis mereka. Mengalihkan perhatian kita lewat hyperlink (tautan), gambar iklan yang menarik mata, popup dll agar kita segera melompat, semata-mata adalah demi kepentingan finansial Google yang tahun lalu mencetak laba Rp282 triliun.

"Konsentrasi dalam membaca (deep reading) berhubungan langsung dengan kedalaman pemahaman (deep thinking). Setiap orang yang konsentrasi dalam membaca pasti memerlukan jeda waktu untuk berpikir. Bila jeda ini diisi dengan hal lain seperti konten, kita tidak hanya berisiko mengorbankan diri kita, tapi juga kebudayaan kita," ujar Maryanne Wolf.

***

"Aku bisa merasakannya, Dave. Aku bisa merasakannya. Aku takut..." ucap HAL lirih.

Tapi Dave tak peduli. Sebagai seorang astronot yang terbiasa berpikir ilmiah, penanganan situasi seperti ini sudah ada di buku petunjuk: ia harus mematikan penuh HAL. Ketika HAL berkata ia bisa merasa, Dave dengan ekspresi dingin membunuhnya.

Mungkin itulah ramalan tersembunyi yang ingin disampaikan sutradara Stanley Kubrick. Bahwa suatu saat kita akan menciptakan komputer yang awalnya untuk membantu meningkatkan kualitas kehidupan, tapi justru membuat kecerdasan kita layaknya kecerdasan buatan sebuah robot. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun