Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Utopia Taylor, Kuil Agung Google dan Manusia Mesin

14 Juli 2015   14:46 Diperbarui: 14 Juli 2015   14:46 1851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Googleplex, markas Google di California, adalah 'kuil paling agung' dunia internet. 'Agama' yang ada di baliknya adalah Taylorian. Bila Taylor menemukan sistem bagaimana sesuatu harus dikerjakan, Google menemukan sistem bagaimana sesuatu harus dipikirkan. "Google adalah perusahaan yang menemukan ilmu pengetahuan baru dalam ilmu pengukuran. Kami membuat segalanya jadi sistematis," kata Eric Schmidt, CEO Google.

Bagi Google, informasi adalah komoditas dan sumberdaya yang bisa diproses untuk kepentingan perusahaan. Sangat terbatas ruang yang disediakan oleh Google sebagai jeda berpikir atau kontemplasi. Tak ada tempat bagi ambiguitas. Karena bila kita tak menemukan satu pencarian, kita akan lompat ke pencarian lain. Bila sudah selesai atau bosan dengan yang satu, lompat lagi ke yang lain.

"Otak manusia seperti komputer kuno di hadapan Google, dan Google memaksa otak kita jadi lebih cepat dan berdaya tampung besar seperti Google," kata Nicholas Carr.

Membuat otak kita bekerja lebih cepat seperti komputer dan melompat-lompat juga adalah strategi bisnis Google. Makin banyak kita mengunjungi website, iklan Google yang tersebar dimana-mana itu makin banyak pemirsanya. Makin banyak pula data dan perilaku kita yang mereka dapatkan, kemudian dijual kepada pengiklan. Perilaku membaca dengan lambat tidak sesuai dengan tujuan bisnis mereka. Mengalihkan perhatian kita lewat hyperlink (tautan), gambar iklan yang menarik mata, popup dll agar kita segera melompat, semata-mata adalah demi kepentingan finansial Google yang tahun lalu mencetak laba Rp282 triliun.

"Konsentrasi dalam membaca (deep reading) berhubungan langsung dengan kedalaman pemahaman (deep thinking). Setiap orang yang konsentrasi dalam membaca pasti memerlukan jeda waktu untuk berpikir. Bila jeda ini diisi dengan hal lain seperti konten, kita tidak hanya berisiko mengorbankan diri kita, tapi juga kebudayaan kita," ujar Maryanne Wolf.

***

"Aku bisa merasakannya, Dave. Aku bisa merasakannya. Aku takut..." ucap HAL lirih.

Tapi Dave tak peduli. Sebagai seorang astronot yang terbiasa berpikir ilmiah, penanganan situasi seperti ini sudah ada di buku petunjuk: ia harus mematikan penuh HAL. Ketika HAL berkata ia bisa merasa, Dave dengan ekspresi dingin membunuhnya.

Mungkin itulah ramalan tersembunyi yang ingin disampaikan sutradara Stanley Kubrick. Bahwa suatu saat kita akan menciptakan komputer yang awalnya untuk membantu meningkatkan kualitas kehidupan, tapi justru membuat kecerdasan kita layaknya kecerdasan buatan sebuah robot. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun