Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Utopia Taylor, Kuil Agung Google dan Manusia Mesin

14 Juli 2015   14:46 Diperbarui: 14 Juli 2015   14:46 1851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oke, saya mengaku. Di usia 34 tahun ini saya masih main video game. Playstation tepatnya. Saya gemar video game sejak kecil waktu dibelikan Atari oleh ayah saya tahun 1984. Berlanjut ke game komputer, Nintendo sampai Sega. Ngacir ke tempat main dingdong dulu adalah salah satu kenakalan saya. Meski sederhana sekali, game zaman dulu jauh lebih susah dan lama menyelesaikannya. Game sekarang makin rumit dan menuntut kecerdasan, tapi bisa diselesaikan 1-2 malam. Ini semua 'gara-gara' Google yang menyediakan semua cara dan jawaban menyelesaikan game, termasuk teka-teki di dalamnya. Dulu bisa berminggu-minggu menyelesaikan teka-teki dalam satu tahap sampai tidak bisa tidur karena berpikir. Sekarang, 5 menit tidak bisa menyelesaikan puzzle langsung tanya Mbah Google. Ini memang pilihan kita. Tapi siapa yang bisa menolak kenikmatan yang ditawarkan Google? Secara alamiah, otak manusia akan memprioritaskan cara termudah.

Tawaran Google untuk mengajak kita 'tidak berpikir' ini tampak setiap kita melakukan pencarian. Google punya teknologi Google Autocomplete atau Google Prediction yang bisa menebak frase apa yang ingin kita cari ketika baru menulis satu kata. Frase tebakan ini tak semata-mata hasil search rank (peringkat pencarian) atau page rank (peringkat kunjungan) populer. Tapi olahan data pribadi yang kita yang jauh lebih rumit yang dipegang Google: lokasi, usia, gender, situs yang paling sering dikunjungi, ketertarikan, dll. Seolah-olah Google tahu benar siapa kita dan apa yang kita inginkan, bahkan 'mendikte'. Sudah seperti istri saja.

[caption caption="Autocomplete pada Google (Dokpri)"]

[/caption]

[caption caption="Hasil pencarian keyword 'Apakah Jokowi' pada Google (Dokpri)"]

[/caption]

"Mesin pencari terhebat adalah yang mampu menyamai kepandaian manusia, atau lebih pandai. Kami terus mengembangkan kecerdasan buatan yang lebih tinggi. Bila kita memiliki semua informasi dari seluruh dunia tertanam langsung di otak, atau kecerdasan buatan yang lebih pandai dari otak kita, hidup kita akan jadi lebih baik," kata Larry Page, pencipta Google kepada Newsweek.

Apa maksud Page 'hidup kita jadi lebih baik'? Tidak jelas apakah yang lebih baik itu artinya internet menjadi suplemen bagi otak manusia, atau menggantikan otak kita.

Memang menyenangkan punya Google, seperti punya perpustakaan maha besar di ujung jari dan gratis. Mencari informasi (nyaris) apapun bisa ketemu. Semua yang ditawarkan Google, kata Clive Thompson dari Wired's, adalah produk sempurna pergantian otak ke memori silikon. "Adalah karunia yang luar biasa bagi cara berpikir kita," pujinya.

UTOPIA TAYLOR

Setelah mendapat izin dari pemilik pabrik baja Midvale di Philadelphia, Frederick Winslow Taylor mengamati lekat-lekat para pekerja beraktivitas. Ada stopwatch di tangan anak muda yang mengawali kariernya sebagai klerk di Midvale itu. Ia mencatat dengan rajin berapa waktu yang dibutuhkan seorang pekerja untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan dan urutannya. Kalau satu cara pengerjaan dianggap lama, ia akan minta pekerja pakai cara lain hingga mencapai catatan waktu tercepat.

Laporan hasil penelitian dan pengamatan itu ia serahkan kepada pemilik dan petinggi pabrik berjudul Scientific Management atau Manajemen Ilmiah pada tahun 1890. Isinya adalah bagaimana meningkatkan efisiensi dan efektivitas pekerjaan untuk mendongkrak peningkatan keuntungan perusahaan. Pekerjaan yang ini perlu berapa orang, waktu maksimal pengerjaan, cara paling efisien, dll. Pemilik perusahan girang bukan main dan langsung menerapkannya. Karyawan pabrik protes karena selain dianggap memeras tenaga, mereka merasa seperti perangkat automaton atau robot. Tapi bukti adanya kenaikan produktivitas dan laba, membuat protes itu jadi tak penting.

Mimpi atau utopia yang diusung oleh Taylor adalah efisiensi yang sempurna. Utopia ini ada di hampir semua pelaku industri modern saat ini. Termasuk perusahaan tempat saya bekerja. Semua harus terukur dengan angka atau alogaritma yang ditetapkan. Sistem ditegakkan dengan disiplin. "Di masa lalu manusia menjadi prioritas utama. Di masa depan, sistem harus yang paling utama," kata Taylor.

Bagi semua pencipta perangkat lunak (software), utopia Taylor ini sangat penting. Para programmer selalu berjibaku menemukan alogaritma pemprograman yang sempurna atau 'one best method'. Artinya, program harus bisa bekerja berat tapi efisien dengan hasil yang sempurna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun