Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Utopia Taylor, Kuil Agung Google dan Manusia Mesin

14 Juli 2015   14:46 Diperbarui: 14 Juli 2015   14:46 1851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak seperti komputer super HAL yang merasa otaknya berkembang, Nicholas Carr yakin (cara kerja) otaknya sudah berubah karena teknologi. "Saya tak lagi berpikir seperti cara-cara sebelumnya," sebut penulis buku international best seller The Shallow itu dalam makalahnya berjudul Is Google Making Us Stupid?

Tidak sedikit orang yang punya keluhan sama dengan Carr. Termasuk saya. Dulu, kita bisa tahan membaca buku berjam-jam, membolak-balik halaman, mengikuti narasi dan argumen tulisan, hingga mencoret-coret kertas buku. Sekarang, konsentrasi itu dengan mudah terganggu setelah halaman kedua atau ketiga. Mudah lupa apa yang ada di halaman sebelumnya, bahkan ada dorongan besar untuk melompati halaman atau melakukan hal lain. Untuk tenggelam dalam bacaan, kata Carr, belakangan menjadi pergulatan yang berat.

Apakah yang berubah hanya sekedar cara membaca kita? Tidak.

Di tahun 370 SM, Socrates dalam Plato's Phaedrus sudah cemas dengan berkembangnya budaya menulis. Ia khawatir manusia akan terlalu mengandalkan buku untuk menggantikan pengetahuan yang disimpan dalam otak.

"Mereka akan berhenti melatih ingatan dan mudah lupa," tulis Socrates.

Filosof Yunani ini melanjutkan kekhawatirannya. Manusia akan menerima ilmu dalam jumlah banyak tanpa petunjuk dan kebijaksanaan. Mereka akan jadi congkak. Mereka mereka pikir mereka sangat pandai, padahal bebal. Socrates banyak benarnya meski ia tak sempat menyaksikan betapa banyak manfaat buku atau tulisan bagi kehidupan.

Membaca bukanlah kemampuan bawaan lahir dan tertulis dalam gen. Dikatakan psikolog dari Tufts University, Maryanne Wolf, manusia mengajarkan otaknya menerjemahkan huruf sebagai simbol menjadi bahasa yang ia kenal. Hal besar yang berada di balik kemampuan membaca adalah kemampuan berpikir. Wolf cemas dengan cara membaca 'efisien' ala internet bisa melemahkan kapasitas manusia dalam berpikir.

"Kita tidak hanya apa yang kita baca, tapi bagaimana kita membaca. Tenggelam dalam bacaan (deep reading) berimplikasi langsung pada pemikiran yang dalam (deep thinking)," kata Wolf.

Otak manusia itu sangat fleksibel. Seperti plastik, kata James Olds, profesor neuroscience George Mason University. Syaraf otak dengan rutin menciptakan koneksi baru dan menghilangkan yang lama. Otak punya kemampuan memprogramulang dirinya sendiri menyesuaikan dengan cara ia difungsikan.

Saya merasa otak saya sudah terprogramulang karena internet. Tidak sanggup lagi membaca buku War and Peace karya Leo Tolstoy yang tebalnya 1.300 halaman yang dulu saya habiskan saat masih kuliah itu. Doctor Zhivago yang cuma 700 halaman pun tak kuat lagi.

Kita bangun tidur jam 5 subuh, sarapan jam 7, tiba di kantor jam 8, makan siang jam 12, adalah contoh teknologi mengubah otak kita. Sejak jam mekanik ditemukan di abad ke-14, manusia terikat dengan waktu yang disusun dalam urutan matematika. Disebut pakar komputer dari MIT Joseph Weizenbaum, manusia tak lagi beraktivitas sesuai nalurinya sebagai mahluk. Sebelum ada jam mekanik, manusia makan ketika lapar, tidur ketika lelah. Sekarang makan ada jamnya, tidur harus jam 10 malam. Otak bekerja sesuai urutan jam. Nah, di zaman komputer, otak bekerja seperti software komputer: efisien, ringkas, disiplin, terstruktur dan beralogaritma sempurna.

GOOGLE INGIN KITA TAK BERPIKIR

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun