Mohon tunggu...
Hilma Hasanah
Hilma Hasanah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis pemula yang membutuhkan banyak kritik dan saran mendukung.

Bismillah, hamasah! Menebar kebaikan lewat tulisan. Semoga menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dia Bapakku

2 Januari 2020   23:21 Diperbarui: 2 Januari 2020   23:31 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dia, bapakku. Satu-satunya laki-laki yang pernah mengisi hatiku. Seseorang yang sangat berarti, dan kedudukannya tak kan pernah bisa diganti oleh apa dan siapapun. Bapak, berharga.

Sekelebat bayangan wajahnya hadir begitu saja di mata ini. Tergambar wajah senja bapak, dengan kulit yang sudah mulai kendur, dan warna yang tampak menghitam. Bisa ku lihat ada banyak kerutan di sekitar mata, menandakan bahwa usiamu tak lagi muda.

Bayangan wajahmu di pagi hari ini seolah membawa sukma ku untuk menjelajah ke masa masa lalu. Dimana kembali tergambar semua kebaikan dan cinta yang pernah kau beri padaku.

Aku memikirkan tentangmu, Pak. Tentangmu yang mondar-mandir tak tentu arah, gelisah. Gelisah saat ibu tengah berjuang melahirkanku. Lalu tentangmu yang tak menghiraukan apa-apa, berlari sekuat tenaga, tersenyum kepada dunia. Dan tanpa aba-aba, kamu memeluk ibu dan aku, putri pertamamu. Sorot matamu waktu itu, seolah mengatakan pada dunia tentangmu yang telah menjadi seorang Ayah untuk yang pertama kalinya.

Aku tidak tahu bagaimana saat aku dilahirkan. Tentang perjuanganmu, ekspresimu, dan apa yang kamu rasakan. Tapi aku yakin. Bahwa sesungguhnya, perjuanganmu lebih haru dari apa yang aku tulis dan dari apa yang aku tahu. Aku yakin itu Pak.

Masa terus berubah. Membawaku pada usia anak-anak. Sedikit ku ingat, bapak adalah seorang ayah yang berbeda dari bapak teman-temanku. Bapak tidak memanjakanku. Bapak tidak memberikanku apa yang aku mau. Tapi bapak telah mengajarkanku betapa tak baiknya bersifat berlebihan.

Aku merasa beruntung, Pak. Menjadi putri bapak. Yang saat masih kecil, sudah diajari banyak tentang agama. Bukan hanya tentang kebahagiaan saja. Tapi tentang bersyukur atas apa yang kita miliki.

Bapak, aku tidak tahu harus menggambarkanmu dengan kata-kata seperti apa. Aku kehabisan diksi untuk menjelaskan tentangmu. Meski bapak tak melahirkanku, tapi jasa bapak tak ubahnya ciptaan ALLOH yang bertebaran di dunia. Tak bisa kuhitung, Pak.

Bapak yang setiap malam aku tunggu kepulangannya dengan menonton televisi. Tapi tak kunjung aku temui. Hingga akhirnya, aku terlelap dan masuk ke alam mimpi. Hingga dua tangan besar membangunkanku. Tanganmu, Pak. Aku tahu itu tanganmu. Tapi aku memilih untuk terus terlelap di pangkuanmu. Berpura pura menutup mata, dan seolah tak tahu apa-apa. Saat itu, aku lihat bapak masih memakai pakaian yang biasa bapak gunakan untuk kerja. Ku lihat di dahimu ada banyak keringat yang juga membasahi sebagian kerah bajumu. Bapak? Kenapa bapak lebih mementingkan aku dari pada waktu istirahat bapak?

Bapak yang setiap hari bekerja. Mencari nafkah untuk keluarga kecilmu. Pernah aku bertanya, kalau bapak sayang aku, kenapa bapak harus kerja? Kenapa bapak gak di sini saja setiap hari? Aku tersenyum kecut mengingat itu. Betapa bodohnya aku. Tak memahami bahwa mencari nafkah adalah bentuk perjuangan, kepedulian, dan kasih sayang yang tiada tara.

Bapak yang setiap saat menggenggam tanganku. Melindungiku dari galaknya angsa peliharaan tetangga di ujung gang sana. Lucu memang. Tapi ini bukan tentang lucunya. Tapi tentang perjuangan bapak yang menggendongku, membawaku di pangkuannya lalu berlari semuat tenaga menjauhi angsa-angsa  itu. Waktu itu, Aku hanya bisa tertawa melihat Bapak yang terengah engah, lelah. Tanpa aku sadari, pahlawanku telah menyelamatkan hidupku untuk yang kesekian kalinya.

Bapak, apa Bapak ingat hari itu? Saat aku pulang sekolah sendirian, lalu datang beberapa orang preman menyekapku. Aku tak bisa apa-apa. Hanya menangis tanpa suara. Berharap seseorang akan datang dan menyelamatkan hidupku. Ternyata, do'aku terkabul. Bapak datang. Entah dari mana, yang pasti aku bahagia.

Ku lihat Bapak yang dengan segala keberanian memukul para preman itu dengan sebilah kayu bekas papan yang tergeletak dibawah sana. Hingga ku lihat aksi pukul memukul itu semakin hebat. Aku tertegun. Tak mampu berkata apa apa. Melihat Bapak sendirian melawan tiga orang preman. Banyak pukulan yang mendarat ditubuhmu, Pak. Aku lihat itu. Ada darah juga yang mengalir di beberapa bagian. Aku menangis melihatmu seperti itu. Tak mampu melakukan apa-apa.

"BAPAKK!!!!"

AKu hanya bisa berteriak. Hingga beberpa detik kemudian, preman preman itu pergi. Meninggalkan Bapak yang berusaha berdiri dan terlihat kuat dihadapanku.

Masih ku ingat wajah bapak yang dengan refleks langsung memelukku dan bertanya apa aku baik-baik saja? Apa Bapak gila? Bapak yang terluka kenapa masih mementingkan aku? Disana aku menangis dalam dekapanmu, pak. Dengan tangan mungilku yang memukul-mukul dadamu. Sambil meneriakkan kata-kata sederhana "Bapak berdarah! Bapak sakit!". Tapi apa yang Bapak lakukan? Bapak semakin mengeratkan pelukan. Dan berbisik padaku bahwa bapak tidak terluka. Bapak menenangkan hatiku yang merasa tergoncang, sampai akhirnya aku terlelap, dalam dekapanmu.

Bapak hebat. Mendidikku dengan segala sifat keberanian. Bapak tak pernah meninggalkanku. Meski usiaku sudah cukup untuk memahami lebih banyak tentang dunia. Bapak tak pernah melepaskanku begitu saja.

Selalu ku ingat, saat dipagi hari bapak menyeruput segelas kopi, dan aku yang meminum susu buatan ibu. Kita banyak berbincang pak. Tentang kehidupan, tantang pengalaman, atau tentang hati kita.

Bapak adalah seorang ayah yang bukan hanya orang tua. Tapi mampu menjadi sahabat terbaik yang aku punya.

"Nak," Panggil bapak kemarin. Sambil duduk dikursi tempat biasa bapak meminum kopi.

Aku memandangmu yang mengusap kepalaku. "Iya pak. Ada apa?" Aku bertanya sambil meletakkan segelas susu disamping kopimu.

"Bapak mau berpesan sama kamu." Bapak masih mengelus kepalaku lembut.

Aku tersenyum. Lantas mengambil tangan Bapak dan menggenggamnya. "Bicara saja pak."

"Suatu saat, akan ada laki-laki yang siap untuk  menggenggam tanganmu, nak. Bukan untuk sesaat. Tapi sampai akhir hayat. Saat itu, Bapak akan melepaskan seluruh tanggung jawab bapak terhadapmu kepadanya." Tatapan Bapak berubah sendu. Ada air mata yang seperti ingin menetes waktu itu.

Aku faham bahwa Bapak seperti tidak siap melepasku. "Ah, Bapak. Itu masih lama. Gak usah difikirkan. Toh kalau ada pun, aku akan milih tinggal disini, pak. Nemenin Ibu sama Bapak. Lagi pula pak, rasanya gak siap buat membuka celah untuk laki-laki lain masuk kedalam hati ini selain bapak." Aku berusaha memperbaiki suasana. Berusaha menyunggingkan senyuman dan berharap Bapak akan tersenyum juga.

"Iya nak. Bagaimanapun, itu akan terjadi, Nak. Semoga kamu sehat selalu ya. Bapak do'akan." Kali ini bapak memelukku. Aku hanya tersenyum dan balas mengeratkan pelukan. Hangat. Dan penuh akan kasih sayang juga pengorbanan.

Itulah sekilas tentangmu, Pak. Itu tentang senyum kebahagiaanmu. Tentang banyaknya pengorbananmu. Tentang berharganya kasih sayangmu. Tentang Bapak yang selalu menyayangimu. Tentangmu, yang kini terbujur kaku dihadapanku. Dengan balutan kain putih yang menutup tubuhmu.

Sakit, Pak. Saat aku tahu pelukan kemarin pagi adalah pelukan terakhir darimu. Sakit, Pak. Saat aku tahu nasihat kemarin pagi adalah tak lain ucapan perpisahan kita.

Ya! Pagi ini, di akhir sujud dalam sholat tahajjudmu, Kau pulang. Dipanggil sang pencipta. Dan itu terjadi dihadapanku. Aku yang waktu itu sholat tepat dibelakangmu.

Bapak, Aku bisa bicara apa? Aku bisu pak. Saat tubuhmu di bawa beramai ramai kesebuah tempat sepi tanpa penghuni.

Aku bisu, Pak. Menatap wajah cerah bapak yang mulai dimasukan keliang lahat. Ingin berteriak rasanya. Tapi kenapa bibir ini menjadi semakin kelu. Untuk yang terakhir kalinya, aku melihat sorot senyuman Bapak dalam balutan kain kafan.

Selamat jalan, Pak. Aku akan merindukanmu.

Hingga upacara pemakaman selesai dan semua orang memilih pulang, aku masih membisu dengan derai tangis yang tiada henti. Sepertinya, aku yang paling berduka disini. Aku yang paling kehilangan disini.

"Bapak..." Ucapku lirih sambil terduduk disamping gundukan tanah merah bertabur banyak bunga bervariasi warna.

"Aku sayang Bapak. Terimakasih telah menjadi Bapak terbaik dalam hidup ini. Terimakasih ya Pak. Selamat jalan. Aku yakin bapak sudah diberi kenikmatan disana. Bapak orang sholih. Bapak punya banyak amal kebaikan. Bapak khusnul khotimah. Aku yakin itu pak. Aku akan menyusul Bapak. Aku akan rindu Bapak."

Tak mampu lagi kumeneruskan kata. Hingga akhirnya, aku hanya bisa memeluk tumpukan tanah dan batu nisan yang masih belum terpasang kuat. Aku pejamkan mata, berusaha meredakan rasa dala dada, sambil berkata, "Bapak.."

End.

Karya: Hilma Hasanah
.

31 agustus 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun