Mohon tunggu...
Hilma Hasanah
Hilma Hasanah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis pemula yang membutuhkan banyak kritik dan saran mendukung.

Bismillah, hamasah! Menebar kebaikan lewat tulisan. Semoga menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dia Bapakku

2 Januari 2020   23:21 Diperbarui: 2 Januari 2020   23:31 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tersenyum. Lantas mengambil tangan Bapak dan menggenggamnya. "Bicara saja pak."

"Suatu saat, akan ada laki-laki yang siap untuk  menggenggam tanganmu, nak. Bukan untuk sesaat. Tapi sampai akhir hayat. Saat itu, Bapak akan melepaskan seluruh tanggung jawab bapak terhadapmu kepadanya." Tatapan Bapak berubah sendu. Ada air mata yang seperti ingin menetes waktu itu.

Aku faham bahwa Bapak seperti tidak siap melepasku. "Ah, Bapak. Itu masih lama. Gak usah difikirkan. Toh kalau ada pun, aku akan milih tinggal disini, pak. Nemenin Ibu sama Bapak. Lagi pula pak, rasanya gak siap buat membuka celah untuk laki-laki lain masuk kedalam hati ini selain bapak." Aku berusaha memperbaiki suasana. Berusaha menyunggingkan senyuman dan berharap Bapak akan tersenyum juga.

"Iya nak. Bagaimanapun, itu akan terjadi, Nak. Semoga kamu sehat selalu ya. Bapak do'akan." Kali ini bapak memelukku. Aku hanya tersenyum dan balas mengeratkan pelukan. Hangat. Dan penuh akan kasih sayang juga pengorbanan.

Itulah sekilas tentangmu, Pak. Itu tentang senyum kebahagiaanmu. Tentang banyaknya pengorbananmu. Tentang berharganya kasih sayangmu. Tentang Bapak yang selalu menyayangimu. Tentangmu, yang kini terbujur kaku dihadapanku. Dengan balutan kain putih yang menutup tubuhmu.

Sakit, Pak. Saat aku tahu pelukan kemarin pagi adalah pelukan terakhir darimu. Sakit, Pak. Saat aku tahu nasihat kemarin pagi adalah tak lain ucapan perpisahan kita.

Ya! Pagi ini, di akhir sujud dalam sholat tahajjudmu, Kau pulang. Dipanggil sang pencipta. Dan itu terjadi dihadapanku. Aku yang waktu itu sholat tepat dibelakangmu.

Bapak, Aku bisa bicara apa? Aku bisu pak. Saat tubuhmu di bawa beramai ramai kesebuah tempat sepi tanpa penghuni.

Aku bisu, Pak. Menatap wajah cerah bapak yang mulai dimasukan keliang lahat. Ingin berteriak rasanya. Tapi kenapa bibir ini menjadi semakin kelu. Untuk yang terakhir kalinya, aku melihat sorot senyuman Bapak dalam balutan kain kafan.

Selamat jalan, Pak. Aku akan merindukanmu.

Hingga upacara pemakaman selesai dan semua orang memilih pulang, aku masih membisu dengan derai tangis yang tiada henti. Sepertinya, aku yang paling berduka disini. Aku yang paling kehilangan disini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun