Mohon tunggu...
Hilda Nurmalihah
Hilda Nurmalihah Mohon Tunggu... -

Kedokteran UI 2014

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pernikahan Anak: Masalah yang Tak Kunjung Usai

3 September 2017   23:59 Diperbarui: 4 September 2017   05:55 3419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelahiran, pernikahan dan kematian merupakan tiga kejadian penting dalam kehidupan. Tak ada orang yang dapat benar-benar memilih kapan dilahirkan dan meninggal, namun pernikahan menjadi satu hal yang dapat berada dalam kuasa pilihan seseorang. Meski begitu, hingga saat ini masih tak sedikit orang yang menjalani pernikahan di usia anak tanpa diberikan kesempatan untuk memilih.

Beberapa dipaksa untuk menikah di usia dini, beberapa lainnya terlalu muda untuk mengetahui dan membuat keputusan yang tepat atas dirinya. Pernikahan dini dianggap menjadi salah satu cara untuk memastikan mempelai perempuan terlindungi dalam kontrol mempelai laki-laki. 

Mempelai perempuan menjadi patuh pada suaminya dan mertua serta dapat memiliki anak secara 'legal'. Menikahkan anak pada usia dini juga ditujukan untuk mencegah hubungan seksual pranikah. Banyak kebudayaan, termasuk Indonesia, mengagungkan keperawanan perempuan sebelum menikah sehingga pernikahan dini dianggap sebagai langkah untuk menjaga harga diri itu.[1]

Hukum mengenai pernikahan di Indonesia diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang yang kini berumur 43 tahun tersebut menyebutkan di pasal 7 ayat (1) bahwa, "Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun." Di sisi lain, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (1) yakni, "Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan," dapat dilihat bahwa hukum negara ini tidak berusaha mencegah adanya pernikahan anak. 

Pada UU No. 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (2) pun disebutkan bahwa orang tua mempelai dapat meminta dispensasi apabila terdapat penyimpangan usia. Dengan itu, pernikahan dapat diajukan berapa pun usia mempelai yang akan dinikahkan. Meski terdengar seolah masih ada pengawasan pernikahan anak, pada realisasinya, nyaris semua permintaan dispensasi pernikahan dikabulkan oleh Kantor Urusan Agama. 

Hal itu berarti batas usia perkawinan yang tercantum dalam UU yang berumur nyaris setengah abad itu nyaris tak memiliki pengaruh apa pun, bahkan secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa negara ini telah melegalkan praktik pernikahan anak. Di ASEAN saja, Indonesia peringkat kedua pernikahan dini. Satu dari enam anak Indonesia menikah setiap tahunnya. Sebanyak 26,7% perempuan di bawah 22 tahun menikah pertama kali saat berusia di bawah 18 tahun dan angka pernikahan anak usia 16-17 tahun masih terus meningkat.[2.,3]

Pernikahan dini seringkali lebih merugikan anak perempuan, selain karena kejadiannya yang lebih sering juga karena dampak kesehatan yang ditimbulkan. Menolak serangan seksual suami merupakan hal yang sulit dilakukan oleh istri, terlebih istri yang masih berusia anak. Hal ini menjadikan anak perempuan yang menikah pada usia dini lebih rentan luka dan trauma akibat hubungan seksual yang terjadi atas keinginan sepihak atau kekerasan seksual. 

Pada sebagian besar negara Asia, termasuk Indonesia, pasangan suami-istri mendapat tekanan tinggi untuk segera memiliki keturunan. Dengan didukung oleh faktor sosial lain seperti budaya patriarki serta faktor biologis seperti fluktuasi hormon, hubungan seksual yang aman menjadi suatu hal yang sulit diharapkan. Hubungan seksual yang tidak aman membuat anak lebih rentan terhadap berbagai penyakit menular seksual dan kehamilan di usia dini bagi pihak perempuan.

Perempuan usia 15-19 tahun berisiko 20-200% lebih tinggi mengalami kematian terkait kehamilan dibandingkan perempuan usia 20-24 tahun. Perempuan usia di bawah 15 tahun bahkan memiliki risiko hingga enam kali lipat. Untuk setiap anak perempuan yang meninggal terkait kehamilan, 30 lainnya mengalami cidera, infeksi dan disabilitas yang dapat bertahan hingga seumur hidup. Meski sebagian diakibatkan oleh buruknya pelayanan kesehatan dan status sosioekonomi yang rendah, risiko utama dari kejadian kematian terkait kehamilan ini ialah fisik ibu atau calon ibu yang masih imatur mengingat usianya yang masih belia.[1,4]

Pada umumnya anak yang menikah akan keluar dari sekolah sehingga pernikahan yang terjadi di usia anak diasosiasikan dengan hilangnya kesempatan anak untuk menempuh pendidikan. Ini menghambat kesempatan bagi anak untuk memaksimalkan potensinya sebagai warga negara yang sehat dan produktif. 

Ninik Rahayu, anggota Ombudsman RI pada kolomnya di Tempo.co menyampaikan bahwa kesehatan dan pendidikan yang terbatas akan berdampak langsung terhadap turunnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Posisi Indonesia yang sebelumnya di urutan ke-110, turun ke posisi 113 pada tahun 2016. Tingkat pembangunan manusia sangat menentukan kemampuan penduduk dalam menyerap dan mengelola sumber-sumber pertumbuhan  ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dalam suatu wilayah menjadi indikator penting untuk menilai kesejahteraan masyarakatnya.[5,6]

Terdapat beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengantisipasi dampak negatif dari pernikahan anak di Indonesia. Cara yang paling efektif ialah dengan mengamandemen UU tentang Perkawinan dengan menaikkan batas atas usia pernikahan menjadi 18 tahun, yang merupakan batas seseorang disebut anak. Akan tetapi pada tahun 2014, Yayasan Kesehatan Perempuan dan Yayasan Pemantauan Hak Anak sudah pernah mengajukan uji materi terhadap UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan menggugat agar batas usia minimal untuk menikah dinaikkan menjadi 18 tahun. Sayangnya Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tersebut dan tetap mempertahankan batas usia minimal untuk menikah.[7] Oleh karena langkah uji materi UU telah gagal ditempuh, maka langkah yang bisa diambil ialah mengenai bagaimana agar dapat memperbaiki kualitas hidup orang-orang yang menikah di usia anak.

Masalah paling fundamental dari pernikahan anak ialah terkait risiko kesehatan dan rendahnya pendidikan.[8] Karena anak-anak yang sudah menikah seringkali dianggap sudah dewasa, pendampingannya seringkali luput sehingga hak-haknya terengut begitu saja. Dinas Pendidikan di tiap wilayah melalui sekolah-sekolah berperan untuk mengawasi agar tidak ada anak yang putus sekolah karena pernikahan, atau bahkan menikah karena tak bisa sekolah.[9] Kementerian Pendidikan dan Kementerian Sosial pun harus bekerja sama untuk mengedukasi warga negara mengenai norma apa saja yang benar baik dan apa saja yang perlu diluruskan di masyarakat. 

Sudah sepatutnya pula Kementerian Kesehatan bekerja keras agar pelayanan kesehatan, terutama pelayanan untuk ibu dan anak, dapat diakses oleh masyarakat Indonesia tanpa memandang latar belakang sosial dan ekonomi. Selain itu, upaya menekan jumlah penularan penyakit menular seksual turut menjadi hal penting untuk mengurangi risiko kesehatan yang dapat dialami anak yang menikah dini. Hal ini juga terkait dengan kesadaran masyarakat akan kesehatan dan bagaimana caranya untuk mencegah terjadinya penyakit. 

Ketika amandemen UU tentang Perkawinan tak lagi bisa dilakukan, semua tindakan yang diambil haruslah berfokus pada bagaimana anak-anak yang sudah menikah tetap memperoleh haknya sebagai anak dan warga negara. Oleh karena itu, semua pihak yang terkait, pemangku kebijakan, termasuk masyarakat sudah seharusnya bekerja sama untuk meningkatkan kualitas hidup anak-anak ini.

Referensi:

  1. Hawke A. Early Marriage: Child Spouses. Florence: UNICEF. 2001.
  2. Sigit. BKKBN-Kemenag Sinergi Cegah Nikah Usia Dini [Internet]. 2017. [diakses pada 1 September 2017]. Disadur dari: http://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/bkkbn-kemenag-sinergi-cegah-nikah-usia-dini
  3. Male C, Wodon Q. Basic Profile of Child Marriage in Indonesia.Washington DC: World Bank Group. 2016.
  4. Subdirektorat Statistik Rumah Tangga. Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. 2016.
  5. Rahayu N. Mengapa Perlu Amandemen UU Perkawinan [Internet]. 2017 [diakses pada 2 September 2017]. Disadur dari: https://www.tempo.co/read/kolom/2017/05/16/2533/mengapa-perlu-amendemen-uu-perkawinan
  6. Dewi NLS, Sutrisna IK. Pengaruh komponen indeks pembangunan manusia terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi Bali. E-Jurnal EP Unud; 3(3):106-14.
  7. BBC Indonesia. MK Tolak Naikkan Batas Usia Minimal untuk Menikah [Internet]. 2015 [diakses pada 3 September 2017]. Disadur dari: http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/06/150618_indonesia_mk_nikah
  8. United Nations Population Fund. Marrying Too Young: End Child Marriage. New York: United Nations Population Fund. 2012.
  9. Rachmawati I. "Jika Sekolah Murah, Saya Tidak Mau Menikah" [Internet]. 2015 [diakses pada 3 September 2017]. Disadur dari: http://regional.kompas.com/read/2015/07/15/16144631/.Jika.Sekolah.Murah.Saya.Tidak.Mau.Menikah.

 Sumber gambar: 

  1. Rachmawati I. "Jika Sekolah Murah, Saya Tidak Mau Menikah" [Internet]. 2015 [diakses pada 3 September 2017]. Disadur dari: http://regional.kompas.com/read/2015/07/15/16144631/.Jika.Sekolah.Murah.Saya.Tidak.Mau.Menikah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun