PANDANGAN HAKIM DALAM PERKARA PERCERAIAN YANG DISEBABKAN TIDAK MEMILIKI KETURUNAN PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM (STUDI DI PENGADILAN AGAMA BANTUL 1 B)
Skripsi atas nama: Nurul Hidayati
Tahun Skripsi: 2023
Oleh: Hilal Faturrahman 222121166
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dalam wujud aturan-aturan yang disebut dengan hukum perkawinan. Dalam Islam juga mengatur keluarga bukan secara garis besar tetapi sampai terperinci. Yang demikian ini menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, karena itu perkawinan sangat dianjurkan oleh Islam bagi yang telah mempunyai kemampuan.Â
Namun, realita kehidupan manusia menunjukkan banyak hal yang menjadikan rumah tangga tersebut hancur (broken home) sekalipun banyak pengarahan dan bimbingan. Dengan demikian, kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan kelangsungan hidup bersama suami istri itu bukanlah sesuatu perkara yang mudah untuk dilaksanakan.Â
Perceraian merupakan putusnya suatu ikatan lahir batin antara suami dan istri yang dapat mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan istri tersebut.2 Pengertian perceraian sendiri dalam Kompilasi Hukum Islam secara jelas ditegaskan dalam Pasal 117 yang menyebutkan bahwa perceraian adalah ikrar suami dihadapkan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal-hal mengenai perceraian telah diatur dalam Pasal 113 sampai dengan Pasal 148 Kompilasi Hukum Islam. Dengan melihat isi pasal-pasal tersebut, dapat ditemukan bahwa prosedur bercerai itu tidaklah mudah, dikarenakan harus mempunyai alasan-alasan yang kuat dan harus benar-benar sesuai menurut hukum.
 Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa alasan-alasan perceraian dalam Pasal 116 adalah suatu yang menjadi dasar diperbolehkan apabila salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami ataupun istri serta terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga yang dapat mengakibatkan suami melanggar taklik talak. Dalam sebuah perkawinan disyariatkan agar setiap manusia memiliki keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat.Â
Alasan-alasan perceraian yang ada di Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan pertimbangan hakim dalam menentukan perkara perceraian di pengadilan. Namun ada 2 perkara perceraian di Pengadilan Agama Bantul yakni perkara dengan Nomor 379/Pdt.G/2021/PA.Btl dan Nomor 960/Pdt.G/2021/PA.Btl yang alasan perceraiannya disebabkan oleh tidak memiliki keturunan dalam pernikahannya. Yang mana alasan tidak adanya keturunan tidak tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116.Â
ALASAN MEMILIH JUDUL SKRIPSI INI
Skripsi ini menarik untuk direview karena sebagai mahasiswa hukum keluarga islam, topik ini sangat relevan dengan matakuliah yang kita jalani didalam semester semester ini dengan fokus ke pembahasan perkara perceraian menurut pandangan para hakim dalam pengadilan agama yang berkaitan dengan keluarga.
Tujuan Pembahasan
- Untuk menjelaskan pandangan hakim terhadap perkara perceraian karena alasan tidak memiliki keturunan dalam putusan Nomor 379/Pdt.G/2021/PA.Btl dan Nomor 960/Pdt.G/2021/PA.BtlÂ
- Untuk mendeskripsikan mengenai pandangan hakim terhadap perkara perceraian karena alasan tidak memiliki keturunan perspektif Kompilasi Hukum Islam.
Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat dalam pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:Â
1. Manfaat teoritis:
- Memberikan sumbangan pemikiran atau wawasan pengetahuan tentang arti pentingnya pernikahan dan memahami akibat hukum di bidang perceraian.
- Memberikan wawasan pengetahuan dan informasi yang lebih luas untuk disesuaikan dan dipadukan dengan pengetahuan teori yang telah didapatkan di bangku kuliah.
- Sebagai pijakan dan referensi literatur pada penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan pernikahan dan perceraian yang dikarenakan tidak memiliki keturunan. Â
2. Manfaat praktis:
- Bagi Peneliti: Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana yang bermanfaat dalam mengimplementasikan pengetahuan penulis tentang perceraian yang dikarenakan tidak memiliki keturunan.Â
- Bagi Masyarakat: Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam memahami serta lebih mengerti tentang masalah perkawinan, terutama masalah perceraian.
Kerangka Teori
- Perceraian: Pada dasarnya pengertian mengenai perceraian ini tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun bukan berarti perceraian itu tidak diperbolehkan. Dikarenakan tujuan sebuah perkawinan itu untuk membentuk keluarga yang berbahagia dan kekal hingga akhir hayat. Maka dari itu, undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya sebuah perceraian. Perceraian itu sebenarnya dimungkinkan, namun ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan, apabila setelah Pengadilan yang bersangkuktan sudah berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian itu sendiri sebenarnya tidak dilarang apabila alasan-alasan perceraian tersebut berdasarkan atas ketentuan-ketentuan yang mengatur, yaitu berdasarkan dengan Undang-Undang Perkawinan. Akibat yang paling pokok dalam perceraian adalah masalah hubungan suami dan istri, percekcokan, perekonomian, dan pemeliharaan bagi kelangsungan hidup untuk anak-anak merekaÂ
- Alasan perceraian: Dalam terjadinya perceraian banyak sekali alasan-alasan yang dikemukakan, salah satunya dalam kasus ini, dimana yang menjadi alasan dari perceraian tersebut adalah karena tidak memiliki keturunan, sedangkan apabila dilihat dari esensi pernikahan atau tujuan pernikahan, maka banyak sekali yang akan kita jumpai. Sedangkan dalam hal keturunan tersebut masih bisa teratasi apabila pasangan memiliki cara lain agar huungan rumah tangga mereka dapat terselamatkan. Sehingga perceraian dikarenakan tidak memiliki keturunan akan sangat berdampak pada salah satu pasangan apabila pernikahan tersebut diakhiri dengan perceraian.Â
Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan proses kegiatan dalam bentuk pengumpulan data, analisis dan memberikan interprestasi yang terkait dengan tujuan penelitian. Metode penelitian ini merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. 15 Dalam menjelaskan dan menyampaikan objek penelitian secara integral dan terarah maka penulisan menggunakan metode penulisan:Â
1. Jenis Penelitian: Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini termasuk dalam kategori penelitian lapangan (field research) yakni untuk memperoleh gambaran yang jelas dan terperinci dalam kesesuaian teori mengenai pandangan hakim dalam perkara perceraian terhadap suami istri yang disebabkan tidak memiliki keturunan menurut perspektif Kompilasi Hukum Islam Tentang Perkawinan.Â
2. Sumber data: Dibedakan menjadi dua (2) yaitu:
- Data primer, merupakan data yang dikumpulkan secara perorangan atau suatu organisasi secara langsung dari objek yang diteliti dan untuk kepentingan studi yang bersangkutan berupa interview/wawancara.
- Data sekunder, merupakan data yang diperoleh atau dikumpulkan dan disatukan oleh studi-studi sebelumnya atau yang diterbitkan oleh berbagai instansi lain. Biasanya melalui sumber tidak langsung berupa data dokumentasi dan arsip-arsip resmi.
3. Â Lokasi Penelitian: Penyusun mengambil tempat di Pengadilan Agama Bantul Jl. Urip Sumoharjo No. 8, Bejen, Bantul, Kec. Bantul, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55711 sebagai lokasi penelitian, dikarenakan tempat tersebut merupakan lokasi yang dekat dan mudah untuk dijangkau sehingga memudahkan penulis untuk melakukan penelitian. Dan Pengadilan Agama Bantul pernah memutuskan perkara perceraian yang didasarkan alasan tidak adanya keturunan dalam perkawinan, sehingga perkara tersebut memiliki keterkaitan dengan penelitian ini.Â
4. Teknik pengumpulan data:Â
- Teknik Wawancara/Interview: Pada penelitian ini, peneliti akan melakukan wawancara dengan beberapa hakim di Pengadilan Agama Bantul mengenai perkara perceraian dengan alasan tidak memiliki keturunan menurut perspektif Kompilasi Hukum Islam Tentang Perkawinan, yang permasalahannya diantara suami istri tersebut tidak terdapat kecacatan berupa impoten maupun mandul, hanya saja memang belum dikaruniai keturunan.
- Teknik dokumentasi: Pada penelitian ini, peneliti akan melakukan dokumentasi dan record untuk keperluan penelitian, karena berguna sebagai bukti untuk suatu pengujian sesuai dengan penelitian kualitatif karena sifatnya yang alamiah, sesuai dengan konteks, dan untuk hasil pengkajian isinya akan membuka kesempatan untuk lebih memperluas tubuh pengetahuan terhadap sesuatu yang diselidiki.
5. Teknik analisi data: Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Dalam teknik analisis data ini bersifat induktif yaitu proses yang berlangsung terus menerus selama penelitian berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar terkumpul sebagaimana terlihat dari kerangka konseptual penelitian, permasalahan studi, dan pendekatan pengumpulan data yang dipilih peneliti.Â
Sistematika penulisan
- Bab I Pendahuluan. Bab ini menjelaskan skripsi secara keseluruhan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian teori, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
- Bab II Landasan Teori. Bab ini berisi tentang memberikan arah pada bab berikutnya, dalam bab ini akan dipaparkan tinjauan umum tentang perceraian. Bab ini terdiri dari sub bab yang berbicara tentang perceraian meliputi: pengertian perceraian, dasar hukum, macam-macam perceraian, alasan-alasan perceraian, akibat hukum dalam perceraian dan tata cara penyelesaian perkara perceraian.
- Bab III Deskripsi data penelitian. Bab ini berisi tentang deskripsi data yang berkaitan dengan gambaran umum tentang penelitian di Pengadilan Agama Bantul, perkara perceraian yang disebabkan tidak memiliki keturunan, dan pandangan hakim yang memutus perkara perceraian.
- Bab IV Analisis Data. Bab ini berisi tentang analisis pandangan hakim dalam perkara perceraian yang disebabkan tidak memiliki keturunan perspektif Kompilasi Hukum Islam.
- Bab V Penutup. Bagian ini berisi terdiri dari kesimpulan-kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan disini merupakan jawaban atas pokok masalah dalam penelitian dan saran-saran.
PEMBAHASAN SKRIPSI
Tinjauan umum tentang perceraian
A. Perceraian
Perceraian menurut bahasa berarti "pisah" dari kata dasar "cerai". Menurut istilah, perceraian adalah sebutan untuk melepaskan sebuah ikatan pernikahan. Dalam artian umum berarti segala macam bentuk perceraian yang sudah dijatuhkan oleh suami, yang juga ditetapkan oleh hakim. Sedangkan dalam artian khusus merupakan perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami saja.Â
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ini tidak memberikan definisi mengenai arti perceraian. Akan tetapi, putusnya hubungan perkawinan sudah diatur dalam Pasal 38: a. Kematian; b. perceraian; dan c. atas keputusan Pengadilan. Pengertian perceraian sendiri dalam Kompilasi Hukum Islam secara jelas ditegaskan dalam Pasal 117 yang menyebutkan bahwa perceraian adalah ikrar suami dihadapkan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. pun juga tidak mengatur tentang pengertian perceraian. Putusnya hubungan perkawinan menurut KHI diatur dalam Pasal 113: a. kematian; b. perceraian; dan c. putusan Pengadilan. Dengan melihat isi pasal-pasal tersebut, dapat ditemukan bahwa prosedur bercerai itu tidaklah mudah, dikarenakan harus mempunyai alasan-alasan yang kuat dan harus benar-benar sesuai menurut hukum.Â
Di dalam pasal 39 Undang-Undang Perkawinan juga dijelaskan bahwa perceraian itu hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan dan bukan putusan Pengadilan. Pasal ini bermaksud untuk mengatur mengenai perkara talak pada sebuah perkawinan menurut Agama Islam. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menggunakan istilah cerai talak dan cerai gugat, hal ini bermaksud agar dapat membedakan pengertian yang dimaksud oleh huruf c pada undang-undang tersebut.Â
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga diatur tentang tata cara perceraian di dalam Pasal 115 bahwa "Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak". Meskipun dalam prosedur perceraian yang termaktub dalam KHI Pasal 115 tidak diatur dalam fiqh klasik, namun hal tersebut tidak mennjadikan sebagai teori yang bertentangan justru akan memberikan keamanan dan kenyamanan pada pihak yang bersengketa.
 B. Alasan-alasan perceraian
Perceraian dapat diajukan dengan alasan-alasan yang dijabarkan dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 116 yakni:Â
- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
- Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
- Â Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
- Â Suami melanggar taklik-talak
- Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya.
Alasan perceraian memberikan perlindungan kepada istri yang sering kita dengar mendapatkan pernyataan "cerai liar" dari suami tanpa suatu proses peradilan. "Cerai liar" atau yang lebih dikenal dengan (Cerai di bawah tangan) yang dilakukan suami tidak didepan sidang pengadilan yang ditetapkan untuk itu, dengan demikian tidak dapat menguji alasan dari sang suami menceraikan sang istri. Proses pengujian di sidang pemeriksaan Pengadilan inilah yang melindungi pihak istri dari pernyataan "cerai liar" yang dilakukan suami yang dilakukan secara serampangan, tanpa alasan dan tanpa pembuktian.
C. Keturunan
Anak adalah mahkluk yang membutuhkan kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu anak juga merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.Â
Dalam Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan "Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah". Sedangkan dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 dijelaskan "Anak sah adalah : Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, dam Hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan olehistri tersebut".
 Definisi anak dalam pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 74 Tentang Perkawinan disebutkan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Apabila pasangan suami istri tersebut dalam perkawinannya tidak bisa mempunyai keturunan, maka mereka juga dapat meneruskan keturunan agar tidak punah dengan cara mengangkat anak atau sering juga disebut dengan adopsi. Dalam perkembangannya tujuan pengangkatan anak tidak semata-mata motivasi untuk meneruskan keturunan saja tetapi tidak jarang karena faktor politik, sosial budaya, ekonomi dan sebagainya.Â
Gambaran umum pengadilan agama bantul dan perkara perceraian yang  disebabkan tidak memiliki keturunan
 A. Gambaran umum tentang pengadilan agama Bantul 1B
- Sejarah berdirinya pengadilan agama Bantul
Sebelum tahun 1960-an, satu-satunya Pengadilan Agama untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hanya terdapat di Kota Yogyakarta. Lembaga Pengadilan Agama (PA) dengan wilayah yuridiksi 5 kabupaten dan 1 kota provinsi ini mengakibatkan kesulitan bagi daerah luar kota Yogyakarta apabila akan mengajukan perkaranya. Di sisi lain mayoritas penduduk terbesar DIY adalah pemeluk Agama Islam maka persoalan hukum kekeluargaannya diselesaikan oleh Lembaga Peradilan Agama yang menetapkan hukum dan peraturan sesuai dengan syari'at Islam. Untuk memenuhi kehendak hukum masyarakat DIY yang implisit di dalamnya kaum mislimin Kabupaten Bantul, maka Menteri Agama memandang perlu untuk menerbitkan sebuah peraturan yang menjadi landasan terbentuknya sebuah Lembaga PA yang dibutuhkan oleh kaum muslimin. Pada tanggal 1 Agustus 1961 secara resmi dibentuk Cabang Kantor PA Bantul. Penambahan kata "Cabang Kantor" karena pada waktu itu belum memenuhi persyaratan untuk didirikan PA.Â
Sebelum berdirinya Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, yurisdiksi Pengadilan Agama Bantul berada di dalam yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Semarang hingga tahun 1993. Pengadilan Agama Bantul dan pengadilan agama dalam wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selanjutnya berada di bawah yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta yang berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1992 tanggal 31 Agustus 1992 dan diresmikan pengoperasiannya pada tanggal 30 Januari 1993 oleh Ketua Mahkamah Agung RI.Â
Setelah diadakan pendekatan dan pembicaraan oleh H. Jamhari dengan tokoh masyarakat dan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kabupaten Bantul, maka selanjutnya diambil langkah pembentukan Cabang Kantor Pengadilan Agama Bantul. Atas dasar pemikiran yang sedemikian itu, kemudian keluarlah Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 61 tahun 1961 tanggal 25 Juli 1961 yang ditandatangani oleh K.H. Wahid Wahab tentang pembentukan Cabang Kantor PA Bantul.Â
Pada saat cabang kantor PA Bantul diresmikan, tidak disertakan dengan tenaga pengelola yang berkemampuan sepadan maupun sarana yang diperlukan. Untuk memimpin lembaga yang baru lahir tersebut dipercayakan kepada K.H. Nawawi dengan beberapa orang karyawan. Majelis hakim sendiri terdiri dari K.H. Nawawi sebagai ketua majelis dan K. Tondolaksito dan Abdul Hamid Asyahari sebagai hakim anggota, dibantu pula oleh Buchori Jamal sebagai Panitera dan K.H. Maksum sebagai pendamping. Selain hakim tetap masih ada beberapa hakim honor yang  terdiri dari K.H. Abdur Rahman, K.H. Muhyiddin, K.H. Hisyam dan K.H. Syifah. Semua hakim dan karyawan tersebut merupakan orang-orang yang awam tentang seluk beluk pemerintahan mereka berasal dari berbagai latar belakang berbeda, ada yang berasal dari profesi ulama, petani, pedagang, veteran, dan lain sebagainya. Hanya K. Tondolaksito dan Buchori Jamal yang mengerti tentang pemerintahan karena merupakan pegawai KUA dan mantan kepala sekolah. Modal dasar para karyawan hanyalah iktikad yang baik dans semangat yang membaja untuk mengabdi kepada negara dan agama. Jadi tentang pengetahuan pemerintahan mereka belajar pada instansi lain.Â
Semenjak berkantor untuk pertama kalinya, selama tujuh bulan pertama para hakim mengadakan studi kasus dan melihat praktek Peradilan di Pengadilan Agama Yogyakarta, yang akhirnya dengan kemampuan pribadi para hakim tentang hukum agama, tugas sehari-hari dapat dijalankan dengan baik dalam arti semua produk putusannya sesuai dengan rasa keadilan, hal ini terbukti adanya sebuah putusan yang dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Surakarta.Â
Perkembangan yang tidak kalah penting adalah status "Cabang Kantor" Pengadilan Agama Bantul menjadi Pengadilan Agama Bantul. Perubahan ini terjadi pada saat diberlakukannya secara efektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Mulai saat itu perkembangan Pengadilan Agama Bantul mennjadi lebih baik di bidang personalia maupun wewenangnya. Kekuasaan Pengadilan menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ialah Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tingkat pertama antara orang-orang yang beragam Islam.
- Â Visi dan Misi Pengadilan Agama Bantul
Visi : Terwujudnya Pengadilan Agama Bantul Yang Adil Dan BerwibawÂ
Misi : a. Meningkatkan kapabilitas dan kredibilitas aparat peradilan sebagai penegak hukum dan keadilan yang profesionalÂ
b. Meningkatkan manajemen lembaga peradilan yang moderenÂ
c. Memberikan pelayanan prima terhadap masyarakat pencari keadilanÂ
d. Meningkatkan sarana dan prasarana yang memadaiÂ
e. Meningkatkan transparasi dan akuntabilitas lembaga peradilan.
B. perkara perceraian yang disebabkan tidak memiliki keturunan
 Berikut ini penulis paparkan pembuktian dalam penyelesaian dua perkara perceraian dengan alasan tidak memiliki keturunan:
- Putusan Perkara Nomor 379/Pdt.G/2021/PA.Btl
Penggugat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Bantul karena sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan Tergugat tidak memberikan nafkah yang layak kepada Penggugat, Tergugat juga sering berjudi dan mabok, Penggugat sangat menginginkan keturunan, akan tetapi Tergugat tidak bisa memberikan keturunan. Perselisihan tersebut semakin rumit ketika pihak keluarga mengetahui dan pihak keluarga kedua belah pihak telah berupaya merukunkan namun tidak berhasil. Puncak keretakan rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat, yakni Tergugat pergi meninggalkan Penggugat hingga sekarang, dan selama itu pula sudah tidak ada lagi hubungan lahir dan batin di antara Penggugat dan Tergugat dan sampai kasus ini masuk ke Pengadilan keberadaan Tergugat tidak diketahui.Â
Sidang pertama dalam perkara tersebut dihadiri oleh Penggugat akan tetapi Tergugat tidak datang menghadap ke muka sidang dan tidak menyuruh orang lain untuk menghadap sebagai wali atau kuasa hukumnya meski sudah di panggil secara resmi. Tergugat yang tidak diketahui keberadaannya atau tempat tinggalnya telah dipanggil melalui Radio Siaran Daerah di Wilayah Kabupaten Bantul, namun tidak pernah hadir dan tidak ternyata bahwa tidak datangnya itu disebabkan suatu halangan yang sah. Oleh sebab itu, sidang dilangsungkan tanpa hadirnya Tergugat. Hakim telah berusaha mendamaikan Penggugat agar Penggugat tidak meneruskan gugatannya dan bersabar menunggu Tergugat sampai kembali, tetapi usaha itu tidak berhasil.Â
Untuk dapat melakukan perceraian dengan alasan tersebut di atas, maka berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 berikut penjelasannya jo. Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dan Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam, harus dibuktikan unsur-unsurnya, yakni :Â
a. Ada tidaknya perselisihan dan pertengkaran, serta bagaimana bentuknya.Â
b. Apa penyebab perselisihan tersebut.Â
c. Apakah antara suami istri tersebut, benar-benar tidak ada harapan lagi akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Berdasarkan fakta-fakta di atas maka dapat disimpulkan bahwa antar penggugat dan tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran yang penyebabnya tidak memberikan nafkah yang layak kepada Penggugat, Tergugat sering berjudi dan mabok, Penggugat sangat menginginkan keturunan tetapi Tergugat tidak bisa memberikan keturunan.
Berdasarkan keterangan 2 orang saksi yang dihadirkan oleh penggugat diperoleh kejelasan bahwa antara penggugat dan tergugat memang terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan tergugat tidak memberikan nafkah yang layak, sering berjudi dan mabok, dan juga Tergugat tidak bisa memberikan keturunan. Hingga akhirnya penggugat dan tergugat pisah rumah, selama itu pula tidak ada komunikasi di antara penggugat dan tergugat.Â
Menurut Majelis Hakim bahwa keterangan dua orang saksi telah cukup bukti sebagai alasan perceraian menurut Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, yakni antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Sehingga Majelis Hakim memberikan putusan mengabulkan gugatan penggugat dan memutus secara verstek. Jenis talak yang dijatuhkan adalah talak satu bain sughra. Putusan ini telah memiliki kekuatan hukum tetap karena para pihak tidak menggunakan upaya hukum serta waktu pengajuannya telah habis.Â
- Putusan Perkara Nomor 960/Pdt.G/2021/PA.Bt
Penggugat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Bantul karena sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan Penggugat sudah tidak tahan lagi dengan tekanan dari keluarga Tergugat dikarenakan belum adanya keturunan, ditambah sikap kurang baiknya Tergugat hingga sering berkata kasar terhadap Penggugat, dan juga Tergugat ikut menyalahkan Penggugat. Hingga akhirnya Tergugat pergi meninggalkan rumah dan tidak memedulikan keadaan Penggugat dan kehidupan rumah tangga serta tidak memberikan nafkah lahir maupun batin kepada Penggugat secara berturut-turut lebih dari 6 (enam) bulan.Â
Sidang pertama dalam perkara tersebut Penggugat telah datang menghadap ke muka sidang, sedangkan Tergugat tidak datang menghadap ke muka sidang dan tidak menyuruh orang lain untuk menghadap sebagai wakil atau kuasa hukumnya meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut sebanyak 2 (dua) kali. Sedangkan tidak ternyata bahwa tidak datangnya itu disebabkan suatu halangan yang sah. Oleh sebab itu, sidang dilangsungkan tanpa hadirnya Tergugat. Hakim telah berusaha menasehati Penggugat agar Penggugat tidak meneruskan gugatannya dan bersabar menunggu Tergugat sampai kembali, tetapi usaha itu tidak berhasil.
 Berdasarkan keterangan penggugat yang dikuatkan dengan alat bukti tertulis dan keterangan beberapa saksi di persidangan Majelis Hakim menemukan fakta-fakta sebagai berikut:
a. Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah pasangan suami istri yang sah.Â
b. Bahwa awalnya rumah tangga Penggugat dan Tergugat harmonis belum dikaruniai anak.Â
c. Bahwa sejak tahun 2019 rumah tangga Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan Tergugat menuntut Penggugat segera memberikan keturunan, Tergugat sering pergi-pergi dan akhirnya Tergugat pergi dan tidak pulang lagi.Â
d. Bahwa akibat perselisihan dan pertengkaran tersebut antara Penggugat dan Tergugat sudah pisah rumah kediaman bersama sejak bulan April tahun 2019 sampai sekarang dan selama itu pula keduanya sudah tidak ada komunikasi lagi dan tidak melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing sebagaimana layaknya suami isteri.Â
e. Bahwa majelis hakim dalam persidangan telah menasehati Penggugat, maupun pihak keluarga sudah berusaha menasehati Penggugat untuk rukun kembali membina rumah tangga Penggugat dan Tergugat, akan tetapi tidak berhasil, karena Penggugat bersikukuh ingin bercerai dengan Tergugat.
Menurut Majelis Hakim bahwa keterangan dua orang saksi telah cukup bukti sebagai alasan perceraian menurut Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, yakni antara  suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidan ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Sehingga Majelis Hakim memberikan putusan mengabulkan gugatan penggugat dan memutus secara verstek. Jenis talak yang dijatuhkan adalah talak satu bain sughra. Putusan ini telah memiliki kekuatan hukum tetap karena para pihak tidak menggunakan upaya hukum serta waktu pengajuannya telah habis.
 Perceraian dengan alasan tidak memiliki keturunan tidak diatur secara pasti baik dalam ketentuan normatif maupun yuridis. Apabila mencermati putusan yang telah dibahas sebelumnya, maka dapat diketahui perceraian tersebut terjadi karena perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat yang disebabkan alasan tidak memiliki keturunan. Permasalahan tersebut menyimpang dari tujuan utama akad perkawinan, yaitu untuk memperoleh keturunan dalam rangka membentuk keluarga yang bahagia atau keluarga yang sakinah.Â
Pada dasarnya perkara perceraian dengan alasan tidak memiliki keturunan ini bukan alasan primer dalam perceraian, tetapi merupakan alasan sekunder. Hal ini juga terkait tidak adanya ketentuan hukum positif dan hukum Islam yang menyebutkan bahwa tidak memiliki keturunan sebagai alasan perceraian.Â
C. Pandangan Hakim yang Memutus Perkara Perceraian yang Disebabkan Tidak Memiliki KeturunanÂ
Guna memperoleh data dan informasi yang lengkap, maka penulis melakukan wawancara dengan 3 Hakim di Pengadilan Agama Bantul yang memutus perkara perceraian yang disebabkan tidak memiliki keturunan tersebut.Â
Menurut bapak Arief Rahman, S.H., mengapa sampai diputusnya perkara perceraian yang disebabkan tidak memiliki keturunan karena (misalnya) sudah terbukti bahwa rumah tangga itu sudah tidak rukun, cekcok karena persoalan itu. Majelis hakim hanya sebatas menasehati bahwa masih banyak cara untuk mempunyai anak. Tapi kalau alasan bercerainya mereka karena berselisih yang disebabkan tidak punya anak, maka yang akan dinilai itu tentang soal perselisihan dan pertengkarannya, bukan penyebab siapa yang salah dan benar. Kita menilai bahwa kedua belah pihak sudah tidak bisa didamaikan. Tapi apabila masing-masing sudah dirukunkan tetapi tidak bisa, untuk apa dipertahankan.
Bapak Arief Rahman, S.H. perlu adanya pembuktian dalam perkara ini yang paling utama itu harus membuktikan dalil gugatan penggugat. Sebenarnya dalil utama tentang terjadinya perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan oleh tidak adanya keturunan. Jadi, yang kita buktikan itu adalah benar atau tidak terjadinya pertengkaran dan perselisihan itu. Dari permasalahan tersebut yang paling mudah dibuktikan itu antara suami istri sering cekcok, sering bertengkar, sering ribut, atau sebaliknya antara suami istri itu tidak ada komunikasi. Itu bisa diartikan dalam hubungan mereka memang ada perselisihan dan pertengkaran. Yang bisa membuktikan perselisihan dan pertengkaran antara lain terjadinya pisah rumah antara penggugat dan tergugat. Kalau memang sudah terbukti pisah rumah, berarti memang ada konflik di dalam rumah tangganya. Salah satu pemmicunya karena tidak memiliki keturunan.
Bapak Arief Rahman, S.H. menyebutkan bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam itu tidak ada bercerai karena tidak memiliki keturunan. Tapi bercerai karena alasan yang dikarenakan pertengkaran dan perselisihan yang disebabkan tidak memiliki keturunan, itu bisa jadi. Dasar hukumnya ya kembali lagi pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.Â
Dalam pertimbangan yang digunakan oleh bapak Umar Faruq, S.Ag., M.S.I. pada putusnya perkara ini menggunakan teori kemaslahatan. Seperti lebih maslahat jika memang harus bercerai. Dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Tahun 1975, 116 huruf f. Menurut hakim ketiga yakni bapak H. Muh. Dalhar Asnawi, S.H. berpendapat bahwa sebenarnya itu hak para pihak masing-masing. Jika memang para pihak menginginkan perceraian, ya mau bagaimana lagi. Ketika dia mengajukan perceraian pasti ada alasan-alasannya.
Dalam pertimbangan yang digunakan oleh bapak H. Muh. Dalhar Asnawi, S.H. pada putusnya perkara ini ya adanya perselisihan-perselisihan batin yang mengakibatkan perceraian itu. Dasar hukum yang digunakan yakni Pasal 19, Kompilasi Hukum Islam. Diambil dari alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dan tidak dapat dirukunkan kembali. Â
Pandangan hakim dalam perkara perceraian yang disebabkan tidak memiliki keturunan
A. Pandangan Hakim terhadap Perkara Perceraian Karena Alasan Tidak Memiliki Keturunan dalam Putusan Nomor 379/Pdt.G/2021/PA.Btl dan Nomor 960/Pdt.G/2021/PA.BtlÂ
Pada perkara perceraian dengan nomor perkara 379/Pdt.G/2021/PA .Btl para pihak memutus bercerai dengan didasarkan alasan Tergugat tidak memberikan nafkah yang layak kepada Penggugat, Tergugat juga sering berjudi dan mabok, Penggugat sangat menginginkan keturunan, akan tetapi Tergugat tidak bisa memberikan keturunan.Â
Kemudian pada perkara 960/Pdt.G/2021/PA.Btl para pihak memutus bercerai dengan didasarkan alasan Penggugat sudah tidak tahan lagi dengan tekanan dari keluarga Tergugat dikarenakan belum adanya keturunan, ditambah sikap kurang baiknya Tergugat hingga sering berkata kasar terhadap Penggugat, dan juga Tergugat ikut menyalahkan Penggugat. Hingga akhirnya Tergugat pergi meninggalkan rumah dan tidak memedulikan keadaan Penggugat dan kehidupan rumah tangga serta tidak memberikan nafkah lahir maupun batin kepada Penggugat secara berturut-turut lebih dari 6 (enam) bulan.
Alasan perceraian yang dikarenakan tidak memiliki keturunan perlu ditinjau berdasarkan alasan perceraian yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116. Peninjauan ini dilakukan agar tercapai kejelasan apakah alasan perceraian yang didalilkan Penggugat sudah sesuai dengan alasan perceraian yang telah ditentukan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116.
 Apabila alasan perceraian dilihat secara tersendiri yakni karna tidak memiliki keturunan maka alasan tersebut tidak memenuhi ketentuan yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116, sedangkan apabila melihat alasan perceraian secara menyeluruh yakni tidak adanya keturunan dalam perkawinan kamudian mengakibatkan pertengkaran dan perselesihan secara terus menerus dan dari pertengkaran tersebut menimbulkan perbuatan saling menyakiti perasaan satu sama lain sampai tidak memberikan nafkah. Maka alasan tersebut bisa memenuhi ketentuan alasan perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116.Â
B. Pandangan Hakim terhadap Perkara Perceraian yang Disebabkan Tidak Memiliki Keturunan Perspektif Kompilasi Hukum IslamÂ
Diputusnya perkara perceraian yang disebabkan tidak memiliki keturunan karena (misalnya) sudah terbukti bahwa rumah tangga itu sudah tidak rukun, cekcok karena persoalan itu. Majelis hakim hanya sebatas menasehati bahwa masih banyak cara untuk mempunyai anak. Tapi kalau alasan bercerainya mereka karena berselisih yang disebabkan tidak punya anak, maka yang akan dinilai itu tentang soal perselisihan dan pertengkarannya, bukan penyebab siapa yang salah dan benar. Kita menilai bahwa kedua belah pihak sudah tidak bisa didamaikan. Tapi apabila masing-masing sudah dirukunkan tetapi tidak bisa, untuk apa dipertahankan.
Dalam hal ini Pengadilan Agamalah yang bertindak sebagai hakim dalam kasus perceraian, oleh sebab itu Pengadilan Agama sebagai instansi yang memberikan legalitas hukum harus lebih berhati-hati dalam memutuskan perkara perceraian yang diajukan oleh para pencari keadilan. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan atau pertimbangan hakim, bahwa suami dan istri memang tidak dapat hidup bersama lagi.
Mengenai keturunan, perspektifnya adalah pasangan suami dan istri tersebut menikah dan memiliki tujuan salah satunya ingin memiliki keturunan. Ketika salah satu tujuan dan harapan tersebut tidak dapat dimilikinya, maka hal tersebutlah yang menjadi konflik. Karena tujuan perkawinan sudah tidak bisa dicapai, maka apabila perkawinan suami dan istri tersebut tetap dipertahankan, sudah dapat dipastikan kemudharatan yang lebih besar akan melanda rumah tangga tersebut. Maka tidak ada jalan lain selain harus bercerai dan diceraikan, dengan alasan kemudharatan yang lebih kecil harus didahulukan, sebelum datang kemudharatan yang lebih besar, serta menolak kerusakan didahulukan daripada menarik kemaslahatan. Â
Dalam kasus pertimbangan hukum yang digunakan hakim dalam memutus perkara perceraian yang disebabkan tidak memiliki keturunan merupakan sama. Upaya perdamaian yang dilakukan oleh hakim tidak berhasil karena salah satu pihak tidak dapat hadir dalam persidangan yaitu pihak tergugat, hakim menasehati penggugat untuk bersabar menunggu tergugat sampai kembali dan mencabut gugatannya, akan tetapi juga tidak berhasil dan penggugat tetap melanjutkan gugatannya.
Kesimpulan yang dapat  Saya simpulkan
Hasil dari mereview skripsi ini adalah alasan perceraian dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, Penyebab perceraian yang tidak memberikan nafkah yang layak, seringnya berjudi dan mabok, sangat menginginkan keturunan akan tetapi tidak bisa memberikan keturunan. Dikarenakan alasan tidak memiliki keturunan tidak diatur dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam yang mengklasifikasi alasan-alasan perceraian, maka hakim menggunakan alasan terjadinya perselisihan dan pertengkaran sebagai landasan dalam memutus perkara perceraian yang disebabkan tidak memiliki keturunan.Â
RENCANA SKRIPSI YANG AKAN DI TULIS
rencana skripsi yang akan saya tulis yaitu membahas mengenai pola pikir seorang korban perceraian dalam perfektif hukum islam, yang disana akan membahas bagaimana tanggapan seorang pelaku perceraian jika tidak memiliki keturunan ternyata dapat menyebabkan juga perceraian yang sudah di jelaskan bahwa perceraian karena alasan tidak memiliki keturunan. Perceraian karena alasan tidak memiliki keturunan tidak termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi, hakim Pengadilan Agama Bantul mengabulkan permohonan perceraian karena alasan tidak memiliki keturunan.
meliputi beberapa hal yang menyebabkan perceraian salah satunya terjadinya perselisihan dan pertengkaran diantara penggugat dan tergugat yang disebabkan adanya sikap yang tidak baik, tidak memberikan nafkah yang layak, dan sangat menginginkan keturunan akan tetapi tidak bisa memberikan keturunan. Sehingga hakim menggunakan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam tersebut sebagai landasan dalam memutus perkara.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H