Mohon tunggu...
Hilal Faturrahman
Hilal Faturrahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta

Mahasiswa fakultas syariah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Skripsi "Pandangan Hakim dalam Perkara Perceraian yang Disebabkan Tidak Memiliki Keturunan Perspektif Kompilasi Hukum Islam"

1 Juni 2024   13:06 Diperbarui: 1 Juni 2024   13:22 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 A. Gambaran umum tentang pengadilan agama Bantul 1B

  • Sejarah berdirinya pengadilan agama Bantul

Sebelum tahun 1960-an, satu-satunya Pengadilan Agama untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hanya terdapat di Kota Yogyakarta. Lembaga Pengadilan Agama (PA) dengan wilayah yuridiksi 5 kabupaten dan 1 kota provinsi ini mengakibatkan kesulitan bagi daerah luar kota Yogyakarta apabila akan mengajukan perkaranya. Di sisi lain mayoritas penduduk terbesar DIY adalah pemeluk Agama Islam maka persoalan hukum kekeluargaannya diselesaikan oleh Lembaga Peradilan Agama yang menetapkan hukum dan peraturan sesuai dengan syari'at Islam. Untuk memenuhi kehendak hukum masyarakat DIY yang implisit di dalamnya kaum mislimin Kabupaten Bantul, maka Menteri Agama memandang perlu untuk menerbitkan sebuah peraturan yang menjadi landasan terbentuknya sebuah Lembaga PA yang dibutuhkan oleh kaum muslimin. Pada tanggal 1 Agustus 1961 secara resmi dibentuk Cabang Kantor PA Bantul. Penambahan kata "Cabang Kantor" karena pada waktu itu belum memenuhi persyaratan untuk didirikan PA. 

Sebelum berdirinya Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, yurisdiksi Pengadilan Agama Bantul berada di dalam yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Semarang hingga tahun 1993. Pengadilan Agama Bantul dan pengadilan agama dalam wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selanjutnya berada di bawah yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta yang berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1992 tanggal 31 Agustus 1992 dan diresmikan pengoperasiannya pada tanggal 30 Januari 1993 oleh Ketua Mahkamah Agung RI. 

Setelah diadakan pendekatan dan pembicaraan oleh H. Jamhari dengan tokoh masyarakat dan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kabupaten Bantul, maka selanjutnya diambil langkah pembentukan Cabang Kantor Pengadilan Agama Bantul. Atas dasar pemikiran yang sedemikian itu, kemudian keluarlah Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 61 tahun 1961 tanggal 25 Juli 1961 yang ditandatangani oleh K.H. Wahid Wahab tentang pembentukan Cabang Kantor PA Bantul. 

Pada saat cabang kantor PA Bantul diresmikan, tidak disertakan dengan tenaga pengelola yang berkemampuan sepadan maupun sarana yang diperlukan. Untuk memimpin lembaga yang baru lahir tersebut dipercayakan kepada K.H. Nawawi dengan beberapa orang karyawan. Majelis hakim sendiri terdiri dari K.H. Nawawi sebagai ketua majelis dan K. Tondolaksito dan Abdul Hamid Asyahari sebagai hakim anggota, dibantu pula oleh Buchori Jamal sebagai Panitera dan K.H. Maksum sebagai pendamping. Selain hakim tetap masih ada beberapa hakim honor yang  terdiri dari K.H. Abdur Rahman, K.H. Muhyiddin, K.H. Hisyam dan K.H. Syifah. Semua hakim dan karyawan tersebut merupakan orang-orang yang awam tentang seluk beluk pemerintahan mereka berasal dari berbagai latar belakang berbeda, ada yang berasal dari profesi ulama, petani, pedagang, veteran, dan lain sebagainya. Hanya K. Tondolaksito dan Buchori Jamal yang mengerti tentang pemerintahan karena merupakan pegawai KUA dan mantan kepala sekolah. Modal dasar para karyawan hanyalah iktikad yang baik dans semangat yang membaja untuk mengabdi kepada negara dan agama. Jadi tentang pengetahuan pemerintahan mereka belajar pada instansi lain. 

Semenjak berkantor untuk pertama kalinya, selama tujuh bulan pertama para hakim mengadakan studi kasus dan melihat praktek Peradilan di Pengadilan Agama Yogyakarta, yang akhirnya dengan kemampuan pribadi para hakim tentang hukum agama, tugas sehari-hari dapat dijalankan dengan baik dalam arti semua produk putusannya sesuai dengan rasa keadilan, hal ini terbukti adanya sebuah putusan yang dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Surakarta. 

Perkembangan yang tidak kalah penting adalah status "Cabang Kantor" Pengadilan Agama Bantul menjadi Pengadilan Agama Bantul. Perubahan ini terjadi pada saat diberlakukannya secara efektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Mulai saat itu perkembangan Pengadilan Agama Bantul mennjadi lebih baik di bidang personalia maupun wewenangnya. Kekuasaan Pengadilan menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ialah Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tingkat pertama antara orang-orang yang beragam Islam.

  •  Visi dan Misi Pengadilan Agama Bantul

Visi : Terwujudnya Pengadilan Agama Bantul Yang Adil Dan Berwibaw 

Misi : a. Meningkatkan kapabilitas dan kredibilitas aparat peradilan sebagai penegak hukum dan keadilan yang profesional 

b. Meningkatkan manajemen lembaga peradilan yang moderen 

c. Memberikan pelayanan prima terhadap masyarakat pencari keadilan 

d. Meningkatkan sarana dan prasarana yang memadai 

e. Meningkatkan transparasi dan akuntabilitas lembaga peradilan.

B. perkara perceraian yang disebabkan tidak memiliki keturunan

 Berikut ini penulis paparkan pembuktian dalam penyelesaian dua perkara perceraian dengan alasan tidak memiliki keturunan:

  • Putusan Perkara Nomor 379/Pdt.G/2021/PA.Btl

Penggugat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Bantul karena sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan Tergugat tidak memberikan nafkah yang layak kepada Penggugat, Tergugat juga sering berjudi dan mabok, Penggugat sangat menginginkan keturunan, akan tetapi Tergugat tidak bisa memberikan keturunan. Perselisihan tersebut semakin rumit ketika pihak keluarga mengetahui dan pihak keluarga kedua belah pihak telah berupaya merukunkan namun tidak berhasil. Puncak keretakan rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat, yakni Tergugat pergi meninggalkan Penggugat hingga sekarang, dan selama itu pula sudah tidak ada lagi hubungan lahir dan batin di antara Penggugat dan Tergugat dan sampai kasus ini masuk ke Pengadilan keberadaan Tergugat tidak diketahui. 

Sidang pertama dalam perkara tersebut dihadiri oleh Penggugat akan tetapi Tergugat tidak datang menghadap ke muka sidang dan tidak menyuruh orang lain untuk menghadap sebagai wali atau kuasa hukumnya meski sudah di panggil secara resmi. Tergugat yang tidak diketahui keberadaannya atau tempat tinggalnya telah dipanggil melalui Radio Siaran Daerah di Wilayah Kabupaten Bantul, namun tidak pernah hadir dan tidak ternyata bahwa tidak datangnya itu disebabkan suatu halangan yang sah. Oleh sebab itu, sidang dilangsungkan tanpa hadirnya Tergugat. Hakim telah berusaha mendamaikan Penggugat agar Penggugat tidak meneruskan gugatannya dan bersabar menunggu Tergugat sampai kembali, tetapi usaha itu tidak berhasil. 

Untuk dapat melakukan perceraian dengan alasan tersebut di atas, maka berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 berikut penjelasannya jo. Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dan Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam, harus dibuktikan unsur-unsurnya, yakni : 

a. Ada tidaknya perselisihan dan pertengkaran, serta bagaimana bentuknya. 

b. Apa penyebab perselisihan tersebut. 

c. Apakah antara suami istri tersebut, benar-benar tidak ada harapan lagi akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Berdasarkan fakta-fakta di atas maka dapat disimpulkan bahwa antar penggugat dan tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran yang penyebabnya tidak memberikan nafkah yang layak kepada Penggugat, Tergugat sering berjudi dan mabok, Penggugat sangat menginginkan keturunan tetapi Tergugat tidak bisa memberikan keturunan.

Berdasarkan keterangan 2 orang saksi yang dihadirkan oleh penggugat diperoleh kejelasan bahwa antara penggugat dan tergugat memang terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan tergugat tidak memberikan nafkah yang layak, sering berjudi dan mabok, dan juga Tergugat tidak bisa memberikan keturunan. Hingga akhirnya penggugat dan tergugat pisah rumah, selama itu pula tidak ada komunikasi di antara penggugat dan tergugat. 

Menurut Majelis Hakim bahwa keterangan dua orang saksi telah cukup bukti sebagai alasan perceraian menurut Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, yakni antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Sehingga Majelis Hakim memberikan putusan mengabulkan gugatan penggugat dan memutus secara verstek. Jenis talak yang dijatuhkan adalah talak satu bain sughra. Putusan ini telah memiliki kekuatan hukum tetap karena para pihak tidak menggunakan upaya hukum serta waktu pengajuannya telah habis. 

  • Putusan Perkara Nomor 960/Pdt.G/2021/PA.Bt

Penggugat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Bantul karena sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan Penggugat sudah tidak tahan lagi dengan tekanan dari keluarga Tergugat dikarenakan belum adanya keturunan, ditambah sikap kurang baiknya Tergugat hingga sering berkata kasar terhadap Penggugat, dan juga Tergugat ikut menyalahkan Penggugat. Hingga akhirnya Tergugat pergi meninggalkan rumah dan tidak memedulikan keadaan Penggugat dan kehidupan rumah tangga serta tidak memberikan nafkah lahir maupun batin kepada Penggugat secara berturut-turut lebih dari 6 (enam) bulan. 

Sidang pertama dalam perkara tersebut Penggugat telah datang menghadap ke muka sidang, sedangkan Tergugat tidak datang menghadap ke muka sidang dan tidak menyuruh orang lain untuk menghadap sebagai wakil atau kuasa hukumnya meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut sebanyak 2 (dua) kali. Sedangkan tidak ternyata bahwa tidak datangnya itu disebabkan suatu halangan yang sah. Oleh sebab itu, sidang dilangsungkan tanpa hadirnya Tergugat. Hakim telah berusaha menasehati Penggugat agar Penggugat tidak meneruskan gugatannya dan bersabar menunggu Tergugat sampai kembali, tetapi usaha itu tidak berhasil.

 Berdasarkan keterangan penggugat yang dikuatkan dengan alat bukti tertulis dan keterangan beberapa saksi di persidangan Majelis Hakim menemukan fakta-fakta sebagai berikut:

a. Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah pasangan suami istri yang sah. 

b. Bahwa awalnya rumah tangga Penggugat dan Tergugat harmonis belum dikaruniai anak. 

c. Bahwa sejak tahun 2019 rumah tangga Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan Tergugat menuntut Penggugat segera memberikan keturunan, Tergugat sering pergi-pergi dan akhirnya Tergugat pergi dan tidak pulang lagi. 

d. Bahwa akibat perselisihan dan pertengkaran tersebut antara Penggugat dan Tergugat sudah pisah rumah kediaman bersama sejak bulan April tahun 2019 sampai sekarang dan selama itu pula keduanya sudah tidak ada komunikasi lagi dan tidak melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing sebagaimana layaknya suami isteri. 

e. Bahwa majelis hakim dalam persidangan telah menasehati Penggugat, maupun pihak keluarga sudah berusaha menasehati Penggugat untuk rukun kembali membina rumah tangga Penggugat dan Tergugat, akan tetapi tidak berhasil, karena Penggugat bersikukuh ingin bercerai dengan Tergugat.

Menurut Majelis Hakim bahwa keterangan dua orang saksi telah cukup bukti sebagai alasan perceraian menurut Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, yakni antara  suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidan ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Sehingga Majelis Hakim memberikan putusan mengabulkan gugatan penggugat dan memutus secara verstek. Jenis talak yang dijatuhkan adalah talak satu bain sughra. Putusan ini telah memiliki kekuatan hukum tetap karena para pihak tidak menggunakan upaya hukum serta waktu pengajuannya telah habis.

 Perceraian dengan alasan tidak memiliki keturunan tidak diatur secara pasti baik dalam ketentuan normatif maupun yuridis. Apabila mencermati putusan yang telah dibahas sebelumnya, maka dapat diketahui perceraian tersebut terjadi karena perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat yang disebabkan alasan tidak memiliki keturunan. Permasalahan tersebut menyimpang dari tujuan utama akad perkawinan, yaitu untuk memperoleh keturunan dalam rangka membentuk keluarga yang bahagia atau keluarga yang sakinah. 

Pada dasarnya perkara perceraian dengan alasan tidak memiliki keturunan ini bukan alasan primer dalam perceraian, tetapi merupakan alasan sekunder. Hal ini juga terkait tidak adanya ketentuan hukum positif dan hukum Islam yang menyebutkan bahwa tidak memiliki keturunan sebagai alasan perceraian. 

C. Pandangan Hakim yang Memutus Perkara Perceraian yang Disebabkan Tidak Memiliki Keturunan 

Guna memperoleh data dan informasi yang lengkap, maka penulis melakukan wawancara dengan 3 Hakim di Pengadilan Agama Bantul yang memutus perkara perceraian yang disebabkan tidak memiliki keturunan tersebut. 

Menurut bapak Arief Rahman, S.H., mengapa sampai diputusnya perkara perceraian yang disebabkan tidak memiliki keturunan karena (misalnya) sudah terbukti bahwa rumah tangga itu sudah tidak rukun, cekcok karena persoalan itu. Majelis hakim hanya sebatas menasehati bahwa masih banyak cara untuk mempunyai anak. Tapi kalau alasan bercerainya mereka karena berselisih yang disebabkan tidak punya anak, maka yang akan dinilai itu tentang soal perselisihan dan pertengkarannya, bukan penyebab siapa yang salah dan benar. Kita menilai bahwa kedua belah pihak sudah tidak bisa didamaikan. Tapi apabila masing-masing sudah dirukunkan tetapi tidak bisa, untuk apa dipertahankan.

Bapak Arief Rahman, S.H. perlu adanya pembuktian dalam perkara ini yang paling utama itu harus membuktikan dalil gugatan penggugat. Sebenarnya dalil utama tentang terjadinya perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan oleh tidak adanya keturunan. Jadi, yang kita buktikan itu adalah benar atau tidak terjadinya pertengkaran dan perselisihan itu. Dari permasalahan tersebut yang paling mudah dibuktikan itu antara suami istri sering cekcok, sering bertengkar, sering ribut, atau sebaliknya antara suami istri itu tidak ada komunikasi. Itu bisa diartikan dalam hubungan mereka memang ada perselisihan dan pertengkaran. Yang bisa membuktikan perselisihan dan pertengkaran antara lain terjadinya pisah rumah antara penggugat dan tergugat. Kalau memang sudah terbukti pisah rumah, berarti memang ada konflik di dalam rumah tangganya. Salah satu pemmicunya karena tidak memiliki keturunan.

Bapak Arief Rahman, S.H. menyebutkan bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam itu tidak ada bercerai karena tidak memiliki keturunan. Tapi bercerai karena alasan yang dikarenakan pertengkaran dan perselisihan yang disebabkan tidak memiliki keturunan, itu bisa jadi. Dasar hukumnya ya kembali lagi pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 

Dalam pertimbangan yang digunakan oleh bapak Umar Faruq, S.Ag., M.S.I. pada putusnya perkara ini menggunakan teori kemaslahatan. Seperti lebih maslahat jika memang harus bercerai. Dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Tahun 1975, 116 huruf f. Menurut hakim ketiga yakni bapak H. Muh. Dalhar Asnawi, S.H. berpendapat bahwa sebenarnya itu hak para pihak masing-masing. Jika memang para pihak menginginkan perceraian, ya mau bagaimana lagi. Ketika dia mengajukan perceraian pasti ada alasan-alasannya.

Dalam pertimbangan yang digunakan oleh bapak H. Muh. Dalhar Asnawi, S.H. pada putusnya perkara ini ya adanya perselisihan-perselisihan batin yang mengakibatkan perceraian itu. Dasar hukum yang digunakan yakni Pasal 19, Kompilasi Hukum Islam. Diambil dari alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dan tidak dapat dirukunkan kembali.  

Pandangan hakim dalam perkara perceraian yang disebabkan tidak memiliki keturunan

A. Pandangan Hakim terhadap Perkara Perceraian Karena Alasan Tidak Memiliki Keturunan dalam Putusan Nomor 379/Pdt.G/2021/PA.Btl dan Nomor 960/Pdt.G/2021/PA.Btl 

Pada perkara perceraian dengan nomor perkara 379/Pdt.G/2021/PA .Btl para pihak memutus bercerai dengan didasarkan alasan Tergugat tidak memberikan nafkah yang layak kepada Penggugat, Tergugat juga sering berjudi dan mabok, Penggugat sangat menginginkan keturunan, akan tetapi Tergugat tidak bisa memberikan keturunan. 

Kemudian pada perkara 960/Pdt.G/2021/PA.Btl para pihak memutus bercerai dengan didasarkan alasan Penggugat sudah tidak tahan lagi dengan tekanan dari keluarga Tergugat dikarenakan belum adanya keturunan, ditambah sikap kurang baiknya Tergugat hingga sering berkata kasar terhadap Penggugat, dan juga Tergugat ikut menyalahkan Penggugat. Hingga akhirnya Tergugat pergi meninggalkan rumah dan tidak memedulikan keadaan Penggugat dan kehidupan rumah tangga serta tidak memberikan nafkah lahir maupun batin kepada Penggugat secara berturut-turut lebih dari 6 (enam) bulan.

Alasan perceraian yang dikarenakan tidak memiliki keturunan perlu ditinjau berdasarkan alasan perceraian yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116. Peninjauan ini dilakukan agar tercapai kejelasan apakah alasan perceraian yang didalilkan Penggugat sudah sesuai dengan alasan perceraian yang telah ditentukan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116.

 Apabila alasan perceraian dilihat secara tersendiri yakni karna tidak memiliki keturunan maka alasan tersebut tidak memenuhi ketentuan yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116, sedangkan apabila melihat alasan perceraian secara menyeluruh yakni tidak adanya keturunan dalam perkawinan kamudian mengakibatkan pertengkaran dan perselesihan secara terus menerus dan dari pertengkaran tersebut menimbulkan perbuatan saling menyakiti perasaan satu sama lain sampai tidak memberikan nafkah. Maka alasan tersebut bisa memenuhi ketentuan alasan perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116. 

B. Pandangan Hakim terhadap Perkara Perceraian yang Disebabkan Tidak Memiliki Keturunan Perspektif Kompilasi Hukum Islam 

Diputusnya perkara perceraian yang disebabkan tidak memiliki keturunan karena (misalnya) sudah terbukti bahwa rumah tangga itu sudah tidak rukun, cekcok karena persoalan itu. Majelis hakim hanya sebatas menasehati bahwa masih banyak cara untuk mempunyai anak. Tapi kalau alasan bercerainya mereka karena berselisih yang disebabkan tidak punya anak, maka yang akan dinilai itu tentang soal perselisihan dan pertengkarannya, bukan penyebab siapa yang salah dan benar. Kita menilai bahwa kedua belah pihak sudah tidak bisa didamaikan. Tapi apabila masing-masing sudah dirukunkan tetapi tidak bisa, untuk apa dipertahankan.

Dalam hal ini Pengadilan Agamalah yang bertindak sebagai hakim dalam kasus perceraian, oleh sebab itu Pengadilan Agama sebagai instansi yang memberikan legalitas hukum harus lebih berhati-hati dalam memutuskan perkara perceraian yang diajukan oleh para pencari keadilan. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan atau pertimbangan hakim, bahwa suami dan istri memang tidak dapat hidup bersama lagi.

Mengenai keturunan, perspektifnya adalah pasangan suami dan istri tersebut menikah dan memiliki tujuan salah satunya ingin memiliki keturunan. Ketika salah satu tujuan dan harapan tersebut tidak dapat dimilikinya, maka hal tersebutlah yang menjadi konflik. Karena tujuan perkawinan sudah tidak bisa dicapai, maka apabila perkawinan suami dan istri tersebut tetap dipertahankan, sudah dapat dipastikan kemudharatan yang lebih besar akan melanda rumah tangga tersebut. Maka tidak ada jalan lain selain harus bercerai dan diceraikan, dengan alasan kemudharatan yang lebih kecil harus didahulukan, sebelum datang kemudharatan yang lebih besar, serta menolak kerusakan didahulukan daripada menarik kemaslahatan.  

Dalam kasus pertimbangan hukum yang digunakan hakim dalam memutus perkara perceraian yang disebabkan tidak memiliki keturunan merupakan sama. Upaya perdamaian yang dilakukan oleh hakim tidak berhasil karena salah satu pihak tidak dapat hadir dalam persidangan yaitu pihak tergugat, hakim menasehati penggugat untuk bersabar menunggu tergugat sampai kembali dan mencabut gugatannya, akan tetapi juga tidak berhasil dan penggugat tetap melanjutkan gugatannya.


Kesimpulan yang dapat  Saya simpulkan

Hasil dari mereview skripsi ini adalah alasan perceraian dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, Penyebab perceraian yang tidak memberikan nafkah yang layak, seringnya berjudi dan mabok, sangat menginginkan keturunan akan tetapi tidak bisa memberikan keturunan. Dikarenakan alasan tidak memiliki keturunan tidak diatur dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam yang mengklasifikasi alasan-alasan perceraian, maka hakim menggunakan alasan terjadinya perselisihan dan pertengkaran sebagai landasan dalam memutus perkara perceraian yang disebabkan tidak memiliki keturunan. 

RENCANA SKRIPSI YANG AKAN DI TULIS

rencana skripsi yang akan saya tulis yaitu membahas mengenai pola pikir seorang korban perceraian dalam perfektif hukum islam, yang disana akan membahas bagaimana tanggapan seorang pelaku perceraian jika tidak memiliki keturunan ternyata dapat menyebabkan juga perceraian yang sudah di jelaskan bahwa perceraian karena alasan tidak memiliki keturunan. Perceraian karena alasan tidak memiliki keturunan tidak termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi, hakim Pengadilan Agama Bantul mengabulkan permohonan perceraian karena alasan tidak memiliki keturunan.

meliputi beberapa hal yang menyebabkan perceraian salah satunya terjadinya perselisihan dan pertengkaran diantara penggugat dan tergugat yang disebabkan adanya sikap yang tidak baik, tidak memberikan nafkah yang layak, dan sangat menginginkan keturunan akan tetapi tidak bisa memberikan keturunan. Sehingga hakim menggunakan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam tersebut sebagai landasan dalam memutus perkara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun