Akibat terbatasnya relasi baik tersebut terbatas pulalah informasi yang bisa didapat oleh setiap orang. Terbatas pula kapasitas setiap orang untuk memungkinkan realitas menjadikan hidup mereka membaik dan semakin bermartabat. Maka cemas, gundah, frustrasi, stres, insomnia, dan sebagainya menjadi kerap mencengkeram mereka. Keresahan sosial pun menjadi seperti lumut dan lumpur di musim hujan. Ekspresinya pun beragam.
Pemerintah pun terlanda dampaknya.  Berbagai kebijakan dan peraturan dibuat untuk mengatasinya. Namun sekeras-keras  usaha pemerintah tetap saja aksesnya ke informasi, dan dengan sendirinya akses ke kompleksitas realitas, terbatas. Maka seperti ruang-ruang di wilayahnya, ruang-ruang pemerintahan pun diguncang-guncang gundah.
Di situlah media massa terbit. Jurnalisme beroperasi. Jurnalis berkreasi. Terbitnya, operasinya, kreasinya adalah untuk memungkinkan terlampauinya batas perolehan informasi, untuk memenuhi kebutuhan informasi orang-seorang, komunitas-komunitas, dan pemerintahan serta institusi-institusi lainnya. Negara pun menjadi mungkin berkembang menjadi rumah bersama. Dan di situ, berkembang serta berbuahlah kebaikan bersama.
Itulah demokrasi kita, cita-cita luhur para pendiri bangsa kita. Demokrasi yang mereka cita-citakan bukan saja demokrasi politik, tapi juga demokrasi ekonomi. Jika demokrasi politik belaka, jadi seperti Prancis dahulu kala, juga mungkin sekarang. Yang dicapainya sebatas kemerdekaan politik (memilih dalam pemilu). Kesetaraan dan persaudaraan jauh panggang dari api. Demokrasi kita pun, seperti berulang dinyatakan para pendiri bangsa, sudah berabad-abad berakar di dusun-dusun Nusantara. Jadi, negara kita ini sangat besar kemungkinannya menumbuhkan demokrasi yang merupakan pelakasanaan kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan.
Berita Menghipnotis
Akan tetapi, untuk itu jelas dibutuhkan informasi, dibutuhkan berita. Apalagi hari ini. Tak satu pun negara terisolasi. Politik, ekonomi, dan teknologi komunikasi menjadikan batas-batas teritori bisa dikata mencair. Kebutuhan akan berita menjadi lebih besar lagi.
Berita yang dibutuhkan tentulah bukan karangan, bukan berita menyesatkan seperti, misalnya, berita mengenai pandemi Covid-19 yang disebarkan Donald Trump baik melalui media sosial atau brifing pers Gedung Putih. Pada Februari 2020, dalam wawancara dengan jurnalis legendaris Bob Woodward, Trump mengaku bahwa ia tahu bahaya virus korona baru.Â
Virus ini disebutnya menyebar melalui udara dan jauh lebih mematikan daripada flu berat. Tapi Trump selalu ingin mengecilkannya. Inilah yang membuatnya terus menyebarkan penyangkalannya bahkan sampai setelah ia terinfeksi. Jadilah "America First" di dunia dalam hal warga yang terjangkit Covid-19 dan meninggal akibatnya.
Begitulah jika berita palsu terus menyebar, menjalar, dan mengakar. Bisa jadi bahkan akibatnya jauh lebih mengerikan lagi. Tentu saja itu bukanlah tugas jurnalis. Tugas jurnalis tulis adalah menulis seperti dikatakan Gabriel Garcia Marquez ketika menjadi mentor lokakarya reportase kepada tiga puluh orang jurnalis Amerika Latin.
"Reportase adalah cerita lengkap, rekonstruksi utuh sebuah peristiwa. Tiap detil kecil punya makna. Inilah dasar kredibilitas dan kekuatan cerita," ucap Gabo dalam lokakarya yang diadakan Yayasan Jurnalisme Ibero-Amerika Baru tersebut.
Pada kesempatan yang sama di tahun 1995 itu, Gabo pun tegas mengatakan apa itu menulis bagi seorang jurnalis. "Menulis adalah aksi menghipnotis," ujarnya. "Jika berhasil, si penulis telah menghipnotis pembaca. Manakala ada ganjalan, pembaca pun terjaga, keluar dari hipnotis dan berhenti membaca. Bila prosanya pincang, pembaca pun meninggalkanmu. Orang harus membuat pembaca terhipnotis dengan merawat setiap detail, setiap kata. Ini aksi berkelanjutan di mana kalian meracuni pembaca dengan kredibilitas dan dengan irama."
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!