Pagi harinya pada tanggal 13 November, Bupati Kartadiningrat bersama dengan komandan Veldpolitie, Martens, dan sembilan orang polisi bergerak menuju Menes dan Labuan. Di tengah perjalanan, rombongan ini terlibat bentrokan dengan para pemberontak, tetapi berhasil memukul mundur mereka. Setibanya di Menes, bupati mendapati kediaman wedana dilalap api, dan wedana beserta tiga orang polisi tewas di tempat itu. Malam harinya, personil yang berada di bawah komando Kapten Becking tiba di Labuan dan melakukan operasi pertama di Caringin untuk mencari keberadaan Asisten Wedana Labuan yang telah ditawan oleh pemberontak. Pasukan ini di bawah pimpinan Letnan Van Der Vinne berhasil menemukan Asisten Wedana yang hanya dijaga oleh satu orang saja tidak melakukan perlawanan. Sesampainya di rumah Tb. Emed, mereka disambut dengan tembakan dari arah warung yang ada di sana. Kejadian ini membuat tujuh orang pemberontak tewas tertembak. Pasukan patroli ini terpaksa harus kembali ke Labuan tanpa menangkap Tb. Emed, karena Tb. Emed berhasil meloloskan diri sebelum insiden di Caringin terjadi.
Dampak dan Setelahnya
Apa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dan media pers terhadap aksi pemberontakan sangatlah memojokan para partisipan PKI. Dampak dari pemberontakan ini 99 orang dibuang ke Boven Digul, Irian Barat dan ratusan lainnya dipenjarakan untuk massa yang lama dan bahkan empat tokoh pemberontak dihukum mati di antaranya yaitu Jas'a, Jamin, Doelsalam, H. Asikin (Michael C. Williams, 2003: 147-164). Serta dampak lainnya dari segi politik pemberontakan PKI dianggap membahayakan oleh pemerintah kolonial, sehingga mengakibatkan penindasan terhadap semua gerakan nasionalis. Pemerintah melakukan tindakan represif terhadap tokoh-tokoh nasionalis lainnya, yang berdampak pada melemahnya gerakan kemerdekaan Indonesia secara keseluruhan (Pusjarah TNI, 2009: 37)
Serta pemerintah kolonial berusaha menyoroti isu bahwa tindakan perlawanan PKI merupakan sebuah pemberontakan yang dilakukan sekolompok pecundang yang hanya ingin berbuat kekacauan dan aksinya tidak dilandasi dengan alasan yang konkrit.
Sebagaimana diberitakan dalam Haagsche Courant terbitan 20 November 1926 dalam artikel yang berjudul Geen economische oorzaken voorden communistischen opstand in West-Bantam - Hoe de regeering haar taak volbracht. Yang di dalamnya memuat berbagai informasi mengenai upaya pemerintah dalam mensejahterakan petani dan nelayan Banten salah satunya melalui perluasan wilayah sawah dan irigasi. Padahal aksi pemberontakan PKI merupakan bentuk perlawanan atas berbagai peninasan yang dialami masyarakat Banten oleh pemerintah kolonial (Haagche Courant, 1926).
Kesimpulan
Pemberontakan PKI di Banten pada 12-15 November 1926 merupakan momen penting dalam sejarah Indonesia, menandai aksi perlawanan pertama oleh kaum komunis terhadap pemerintah kolonial Belanda. Dipimpin oleh petani dan ulama lokal, pemberontakan ini muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan perpajakan yang memberatkan dan kondisi ekonomi yang sulit. Meskipun persiapan yang dilakukan oleh PKI terbilang kurang matang, aksi ini berhasil menarik perhatian berbagai elemen masyarakat, termasuk ulama, untuk berpartisipasi dalam perjuangan melawan kolonialisme. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakpuasan sosial dan ekonomi dapat memicu gerakan kolektif yang signifikan.
Namun, meskipun pemberontakan ini mendapatkan dukungan luas, tindakan represif dari pemerintah kolonial mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tujuan mereka. Pemberontakan di Banten tidak hanya memicu penangkapan para pemimpin PKI, tetapi juga menghasilkan stigma negatif terhadap gerakan tersebut di mata publik. Akibatnya, banyak partisipan yang dibuang ke tempat-tempat pengasingan seperti Boven Digul. Meskipun gagal, pemberontakan ini tetap menjadi tonggak awal bagi gerakan revolusioner di Indonesia dan memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya persatuan dan perencanaan yang matang dalam perjuangan melawan penindasan.
Pada akhirnya Aksi pemberontakan ini dapat dikatakan gagal dikarenakan beberapa aspek seperti aspek kurang baiknya kordinasi antara pengurus besar PKI, partisipan PKI, petinggi-petinggi PKI yang sedang terasingkan. Serta karena aspek taktik dan strategi yang kurang mapan dalam aksi pemberontakannya. Â
Pemberontakan PKI di Banten pada tahun 1926 tidak hanya merupakan sebuah episode dalam sejarah perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, tetapi juga memiliki dampak jangka panjang terhadap perkembangan politik dan sosial di Indonesia. Meskipun gagal, peristiwa ini memperkuat kesadaran kolektif akan perlunya perjuangan melawan penindasan dan membentuk narasi perjuangan nasional yang lebih kompleks di Indonesia.
Refrensi