Dalam beberapa hari terakhir, saya telah menemukan banyak berita tentang pemerkosaan dan pelecehan seksual. Sayangnya, para pelaku adalah anggota keluarga mereka sendiri.Â
Sebagai unit terkecil dari masyarakat, keluarga memikul tanggung jawab utama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.Â
Ketika kebutuhan dasar anak terpenuhi, mereka akan mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, seperti kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan) dan kebutuhan psikologis (berupa dukungan, perhatian, dan perawatan).Â
Namun ironisnya, keluarga justru menjadi sumber ancaman dan kecemasan bagi anak-anak, karena anak seringkali mendapat perlakuan kasar dari keluarganya, terutama orang tuanya.Â
"Sangat di sayangkan, apabila pelaku  adalah bagian dari anggota keluarga sendiri, karena seharusnya keluarga menjadi sosok pelindung utama"
Hubungan anak dengan orang tua merupakan sumber emosional dan kognitif bagi anak. Hubungan tersebut memberi kesempatan bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan maupun kehidupan sosial.Â
Hubungan anak pada masa-masa awal dapat menjadi model dalam hubungan-hubungan selanjutnya. Hubungan awal ini dimulai sejak anak terlahir ke dunia, bahkan sebetulnya sudah dimulai sejak janin berada dalam kandungan (Sutcliffe,2002).
Belajar menjaga kelekatan anak pada film "Hope". Film Hope dengan judul lain adalah Wish adalah salah satu film Korea berdasarkan kisah nyata yang terjadi pada tahun 2008. Â
Film ini menceritakan kehidupan sehari-hari SoWon, seorang gadis cantik berusia 8 tahun yang tinggal bersama orang tuanya. Ayah SoWon, DongHoon, bekerja di sebuah pabrik, sementara ibu SoWon, MiHee, menjalankan toko kelontong mereka di rumah setiap hari. MiHee saat ini sedang mengandung anak keduanya.
Orang tua SoWon begitu sibuk dengan pekerjaan sehingga SoWon tidak mendapatkan perhatian yang cukup, tetapi bukan kurangnya perhatian yang menjadi broken home, hanya saja SoWon lebih dewasa dan mandiri, untuk usia yang seharusnya.
Suatu pagi hujan deras, SoWon sibuk mengikat rambutnya sambil bersiap pergi ke sekolah sambil menonton drama anak-anak Kokomong. Hari itu, ibunya menawarkan untuk mengantar SoWon ke sekolah, tapi SoWon menolak dan memutuskan untuk pergi sendiri. Ibunya menyuruhnya untuk mengambil jalan utama, bukan gang belakang.
SoWon berjalan ke sekolah membawa payung kuning, seperti yang diperintahkan oleh ibunya untuk berjalan di jalan utama. Karena agak terlambat, SoWon tidak bisa menemukan siswa lain yang akan pergi ke sekolah.Â
Di tengah jalan, dia bertemu dengan seorang pria mabuk yang tiba-tiba menyeretnya ke toilet gereja yang tidak digunakan, meninju wajah dan perutnya karena menolak membuka pakaian saat diminta, mencekiknya, dan merendam wajahnya di toilet sampai akhirnya dia keluar dan diperkosa oleh laki-laki.
Setelah melakukan aksi bejatnya, untuk menghilangkan barang bukti, pria itu mengambil pompa toilet dan terus membersihkan alat kelamin SoWon sehingga mengakibatkan kerusakan alat kelamin, usus besar, serta anus SoWon.Â
Ia juga melakukan tindakan pencabulan lainnya yang melukai SoWon dengan serius, lalu ia langsung pergi meninggalkan SoWon.Â
Untungnya, SoWon ditemukan dan selamat. Kondisi SoWon sangat buruk, ada banyak luka robek di wajahnya. Usus besar dan anusnya robek, mendorong tim dokter untuk mengangkat usus besarnya dan membuat anus buatan untuknya.
Trauma psikologis SoWon sangat parah dan menyebabkan dia berubah 180 derajat dari kepribadian sebelumnya. Sekarang dia murung, pemalu dan tidak ingin berbicara dengan siapa pun.Â
Apalagi dengan laki-laki, SoWon menjadi tidak mau bicara apalagi menyentuh ayahnya, jika ayah masuk ke kamar, dia akan menutupi dirinya dengan selimut karena malu.Â
Ayahnya, DongHoon sangat khawatir dengan kondisi SoWon, sehingga ia akhirnya menghubungi psikolog anak yang telah menangani banyak kasus korban kekerasan seksual. MiHee pada awalnya tidak setuju, pada akhirnya MiHee setuju untuk mencari bantuan psikiater ini agar SoWon bisa sembuh.
Rupanya psikiater itu memiliki seorang anak berusia 16 tahun yang juga mengalami pelecehan seksual, tetapi anak itu tidak tahan dengan rasa malu dan akhirnya bunuh diri, jadi dia sangat ingin membantu SoWon karena dia melihat sosok anaknya pada diri So-Won.Â
Setelah beberapa sesi terapi, SoWon secara bertahap menjawab pertanyaan psikiater itu meskipun dia hanya mengangguk dan menggelengkan kepalanya.
Ayah SoWon datang dengan ide untuk selalu mengenakan kostum Kokomong setiap kali dia ingin melihat putrinya. Selama ayah So-Won memakai kostum, SoWon bisa tersenyum dan tidak merasa malu seperti biasanya.
Selama terapi, SoWon memberi tahu psikiater bahwa dia mengkhawatirkan orang tuanya. Dia takut orang tuanya tidak bisa bekerja dan menghabiskan terlalu banyak uang untuknya.Â
Kemudian dia bercerita bahwa ketika kakaknya lahir, dia ingin memeluk adiknya tetapi dia khawatir adiknya akan menjadi kotor jika terkena kantung kolostominya. Â
SoWon juga menceritakan bahwa dia sangat merindukan sekolah dan teman-temannya, tetapi dia sangat malu dengan kejadian itu sehingga dia tidak pernah ingin memberi tahu siapa pun tentang hal itu.
Waktunya telah tiba bagi SoWon untuk dinyatakan sembuh dan dapat pulang dari rumah sakit. SoWon sangat takut dan ia meminta untuk tinggal di rumah sakit karena dia takut tinggal di rumah.Â
Bahkan dalam perjalanan pulang, dia panik dan muntah, tetapi kepanikan itu hilang saat dia mencapai pintu. Di pintunya tergantung banyak memo-memo dan foto teman sekelas SoWon.
Pada keesokan harinya SoWon pergi ke sekolah seperti biasa, ayahnya (masih memakai kostum Kokomong) mengikuti So-Won kemana-mana dan selalu menyambut setiap kesempatan, yang membuat SoWon tidak gugup dan takut sendirian.Â
Ayah SoWon juga berpesan kepada para guru untuk mewaspadai anak-anak mereka dan sebisa mungkin menghindari kontak langsung dengan anak-anak mereka.
Trauma SoWon berangsur-angsur membaik, ia sudah bisa berjalan bersama teman laki-lakinya (sebelumnya teman-temannya hanya diperbolehkan berjalan di belakangnya).Â
Suatu hari, SoWon bertanya apakah boneka Kokomong yang mengikutinya adalah ayahnya. Hari itu, SoWon menggandeng tangan ayahnya dan pulang ke rumah dan menyeka keringat ayahnya karena pakaiannya terlalu panas. Dia tidak lagi takut pada ayahnya.
Dari film ini kita belajar, bahwa tanpa adanya dukungan, perawatan, dan perhatian orang tua dengan baik. SoWon tak akan cepat pulih dari trauma yang di milikinya. Keterikatan bukanlah ikatan alami.Â
Ada serangkaian proses yang harus dilalui untuk membentuk keterikatan.Â
Anak-anak yang merasa percaya diri dalam menerima lingkungannya, serta mengembangkan keterikatan yang aman. Maka, dengan bentuk keterikatan yang aman tersebut mereka akan bisa mengembangkan rasa percaya tidak hanya pada ibu mereka, tetapi juga pada lingkungan di sekitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H