Mohon tunggu...
Hikmah Komariah
Hikmah Komariah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seseorang yang suka mengeluh atas berbagai ketidakidealan dan kerusakan yang ada, mencoba berpikir out of the box dan berusaha menemukan ide yang mencerahkan untuk dunia saat ini dan dunia dimasa mendatang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hadiah dari Emak untuk Si Bungsu

25 Desember 2017   22:07 Diperbarui: 25 Desember 2017   22:29 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun saya ingin bercerita tentang kasih sayang Emak dan pemberian berkesannya, harus saya katakan bahwa tulisan ini tidak akan menggambarkan beliau seperti Ibu Peri. Tidak akan begitu. Karena memang ibu saya ini hanya manusia biasa yang punya dua sisi: positif dan negatif. Beliau juga bukan mbak-mbak protagonis dalam sinetron yang akan diam saja ketika didzolimi. 

Emak akan melawan, lebih beringas malahan. Beliau bisa berteriak dengan tatapan mengerikan kalau kesabarannya sudah habis. Tapi lepas dari semua itu, Emak punya stok kasih sayang yang banyak untuk kami. Suami dan anak-anaknya. Waktu Bapak sering minta dipijit, walau sambil menggerutu soal kebiasaan jelek Bapak, toh permintaan Bapak tetap dituruti. 

Emak mengasihi keluarganya dengan gayanya sendiri. Memang bukan tipe ibu super sabar yang tidak pernah marah, tapi Emak adalah ibu terbaik buat saya. Lagipula memang tidak bisa bertukar Ibu, kan?

22 Desember lalu ketika orang-orang merayakan Hari Ibu, semua media sosial saya dipenuhi dengan berbagai ucapan kasih sayang pada Ibu lengkap dengan foto manis bersama ibu tercinta. Di rumah, saya dan keluarga tidak merayakan Hari Ibu. Jangankan memberi hadiah, sekedar mengucapkan "Happy Mothers Day, Mak!" saja tidak. 

Bukan karena tidak mau memberi hadiah. Jujur, saya ingin sekali memberi hadiah pada Emak. Tapi saya tahu, hadiah yang paling diinginkan Emak dari saya saat ini adalah saya yang pulang membawa calon suami. Karena saya masih sendiri dan calon suami tidak bisa dibeli di toko, maka niat memberi hadiah tidak saya lakukan. 

Tanpa kado dan ucapan cinta sekalipun, kami tetap sayang Emak, kok. Sama halnya seperti mereka yang mengatakan "I Love You, Mom" di media sosial masing-masing. Berbakti pada Ibu dan berusaha untuk tidak mengecewakan beliau adalah bahasa cinta juga, kan? Meski tentu saja, rasa cinta kami pada Emak masih kalah besar dibanding rasa cinta Emak pada kami semua.

Bicara tentang hadiah, tentu lebih banyak hadiah yang diberikan Emak pada kami, anak-anaknya. Kalau ditanya tentang apa saja pemberian dari Emak, jawabannya akan panjang. 1500 kata tidak akan cukup untuk menceritakan itu semua. 

Tapi diantara sekian banyak hadiah, ada dua hadiah (menurut saya, tidak tahu apakah Emak juga mengingat itu sebagai hadiah..haha) yang paling menempel di hati. Apa saja hadiahnya? Mari lanjut membaca cuap-cuap saya ini.

Pianika

Sewaktu SD, ada pelajaran musik di sekolah. Ada dua alat musik yang digunakan: seruling dan pianika. Saya punya satu seruling, warisan dari kakak. Pianika, saya tidak punya. Waktu itu, saya merengek minta dibelikan pianika karena teman-teman yang lain sudah punya. Emak ogah-ogahan membelikan saya pianika. 

Bukan perkara uang. Kami bukan orang kaya. Bapak dan Emak memang hanya punya warung nasi kecil di pinggir jalan untuk menghidupi anak-anaknya. Tapi untuk membeli satu pianika, tidak terlalu sulit bagi mereka. Saat semua kebutuhan prioritas terpenuhi, Bapak dan Emak bisa menyisihkan uang untuk membeli keperluan sekolah yang tidak masuk dalam list mereka.

Yang membuat Emak ogah-ogahan itu sebetulnya kebiasaan jelek saya yang suka sekali bongkar semua mainan dan barang yang saya punya. Alhasil, hampir semua barang yang saya punya tidak panjang umur. Dalam hitungan bulan bahkan hari, pasti sudah rusak. Ini yang dikhawatirkan Emak: pianika saya rusak hanya dalam hitungan bulan. 

Beli satu pianika oke lah ya, tapi kalau harus beli dua sampai tiga pianika dalam setahun ya jelas bangkrut. Itu mungkin yang dipikirkan Emak. Dan begitulah beliau, perhitungannya selalu detail dan logis.

Tapi karena saya minta terus dan memang butuh untuk sekolah, akhirnya Emak mau membelikan pianika buat saya. Dengan satu syarat. Saya harus janji akan merawat pianika itu baik-baik. Harus awet, kata Emak. 

Ajaibnya, ternyata saya bisa memenuhi janji itu sampai hari ini. Sejak SD sampai sekarang saya berumur 25 tahun, pianikanya masih bagus dan bisa dipakai. Hanya warna tutsnya yang memudar termakan usia.

Pianika beserta syarat dari Emak jadi hadiah yang spesial buat saya, karena ternyata keduanya bisa mendorong saya untuk berubah, walau cuma sedikit. Saya jadi lebih menghargai dan bisa menjaga barang-barang yang saya miliki. 

Tidak sesembrono dulu. Toh, semuanya dibeli pakai uang dan uang hanya bisa didapat setelah banting tulang bekerja. Itulah pesan tersembunyi dari pianika pemberian Emak yang betul-betul saya resapi maknanya sekarang ini.

Kepercayaan

Hadiah kedua yang berarti untuk saya adalah kepercayaan. Memang bukan benda yang bisa dilihat, dipegang, dan dimainkan, tapi ketika Emak memberikan kepercayaan pada saya, rasa sayang pada beliau semakin berlipat.

Saya adalah anak bungsu. Agak sedikit dimanja, ya. Intinya, semua orang di rumah merasa saya tidak bisa hidup mandiri. Selalu butuh orang lain dan sembrono. 

Tiap kali jalan di tempat ramai, Emak merasa harus memegang tangan saya supaya saya tidak hilang, jatuh, atau tertabrak. Lalu ketika saya kelas 3 SMA, saya bilang pada Emak kalau saya ingin melanjutkan kuliah di Surabaya yang jaraknya sekitar 796 km dari rumah. 

Emak tidak setuju. Selain khawatir tidak bisa membiayai sampai selesai, Emak juga meragukan kemampuan saya hidup sendiri di perantauan. Gimana makannya? Tinggal sama siapa disana? Kamu memang bisa nyuci sendiri? Gimana pergaulannya? Dan pertanyaan bagaimana lain yang cukup bikin emosi.

Berbulan-bulan saya bersitegang dengan Emak. Saya kekeuh dengan keinginan saya. Emak juga kekeuh dengan pendapatnya tentang survival skill saya. Dan karena itu juga, saya semakin sadar bahwa saya ini anak Emak. Sifat keras kepalanya diturunkan pada saya juga, anak bungsunya. Saya tidak menyerah, saya berusaha meyakinkan Emak kalau saya sudah besar. Saya mulai mengurus kebutuhan saya sendiri.

Dan ijin yang dinanti-nanti pun akhirnya datang. Yap, Emak akhirnya luluh dan mengijinkan saya merantau ke Surabaya. Saat itu, belum ada rasa percaya memang, tapi lama kelamaan kepercayaan itu juga diberikan oleh Emak. Sampai hari ini. 

Sejak saat itu, Emak bukan lagi jadi ibu yang mengatur setiap pilihan dalam hidup saya. Mulai dari sekolah sampai urusan baju yang harus dipakai. Emak percaya saya bisa memilih apa yang terbaik untuk hidup saya.

Ketika lulus dan memutuskan bekerja di sebuah yayasan sosial, meski bukan pekerjaan yang beliau suka, toh beliau tetap mendukung penuh pilihan saya itu. "Selamat berjuang untuk masyarakat." Itu kalimat yang beliau ucapkan saat saya pamit di hari pertama saya bekerja, masih saya ingat dengan jelas. Dan kalimat itu sukses bikin hati saya berbunga-bunga sepanjang hari. 

Lalu, ketika saya berhenti bekerja dan mulai membangun usaha sendiri pun, Emak tetap mendukung dengan tulus. Beliau percaya pada pilihan saya. Beliau selalu percaya pada kemampuan saya.

Kepercayaan beliau adalah hadiah paling berarti untuk saya sejak saat itu sampai detik ini. Saat saya sendiri ragu dengan kemampuan saya, beliau dengan caranya sendiri meyakinkan saya mampu. Dan kepercayaan Emak jadi semacam sandaran hidup yang membuat saya survivedi tengah kondisi yang serba tidak terduga seperti sekarang.

Dan ternyata menulis tentang hadiah dari Emak ini bikin saya terharu juga. Ah, saya makin sayang Emak. Kalaupun ada kesempatan untuk bertukar Ibu, saya tetap akan memilih Emak sebagai ibu saya. Terimakasih, Mak. Untuk semuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun