Dengan segala fakta yang demikian, apakah tidak wajar jika orang-orang yang minim fasilitas itu terpana melihat handphone, laptop atau baju bagus yang sukar dimiliknya? Apalagi keteledoran pemiliknya akan sangat memudahkan setan menggodanya. Bukan kebiasaan daerah yang memicunya, namun semata-mata karena kegagalan penguasa malakukan riayah syuunil ummah, pelayanan terhadap umat. Hingga, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin terpuruk nasibnya.
Sampang, hanya satu dari banyak cerita. Pernahkah sampeyan mendengar kisah balita gizi buruk di lumbung padi? Atau ribuan bahkan jutaan calon mahasiswa yang surut langkah karena ngeri dengan biaya pendidikan tinggi? Atau cerita mbah Minah yang dikurung 5 bulan penjara karena tiga butir kakao? Atau dongeng para TKW yang begitu berjasa namun murah nyawanya?
Kisah-kisah menggiriskan begitu banyak di negeri ini, berserakan di koran, didramatisasikan di televisi, dan disuarakan di radio. Saya bertanya-tanya, tak pernahkah Pak Presiden melihat berita? Mungkin, pikir saya, karena sedemikian sibuknya. Tapi, saya tak mengerti sibuk untuk kepentingan siapa.
Sampang, menyimpan kisah yang memilukan tentang pengabaian nasib rakyat kecil. Sampang, kembali mencetak potret buram negeri ini, di tengah berbagai ironi yang melingkupi. Sementara para penguasa, sedang menyelamatkan diri dari tsunami korupsi. Bukan untuk menghindar, melainkan kabur karena merekalah penyebab, pelaku, dan pendukung korupsi itu sendiri. Lalu bagaimana akhir kisah rakyat, yang tidak punya cukup tenaga untuk menghakimi mereka yang berhak mendapat ganjarannya? Tapi rakyat punya senjata, doa orang-orang yang teraniaya, yang pasti diijabah oleh Sang Pemilik Alam Semesta. Bukankah keadilanNya tidak perlu diragukan lagi? Dan janjiNya akan segera teralisasi oleh orang-orang yang istiqamah memperjuangkan kebenaran!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H