"Anak kita masih kecil-kecil," ucap Ayah pada Ibu. Dengan beragam selang dan kabel yang melekat di tubuhnya.
Aku hanya menguping dari balik gorden UGD sebuah rumah sakit. Tidak kupungkiri, saat itu aku merasa takut dengan predikat sebagai anak yatim yang akan kami sandang. Kami masih kecil-kecil, Â sedang kehidupan kami tidak berkecukupan. Saudara-saudara entah di mana, ada tapi seperti tak ada. Memiliki keluarga. Namun seolah sebatang kara.
"Ada aku, Pa. Soal anak-anak tenang aja," jawab ibu tegar.
"Meskipun sulit. Tapi, kita wajib ikhtiar mengobati orang sakit, sampai Allah yang memutuskan untuk berhenti," ucap Ibu pada kami. Padahal saat itu untuk makan saja kami begitu sulit. Di tambah harus membayar biaya pengobatan Ayah.
Itulah kehebatan Beliau di mata kami. Keyakinannya akan kuasa Tuhan begitu kuat. Semua beliau kerjakan dengan penuh kejujuran. Amanah dari suaminya tak ada satupun yang ia lalaikan. Bahkan Beliau memilih tetap hidup sendiri bersama anak-anaknya sepeninggal Ayah.
"Seorang wanita bisa menjadi ayah dan ibu bagi anak-anaknya. Tapi, lain halnya dengan seorang laki-laki." Begitu ucapannya. Jujur aku sangat membenarkan ucapan beliau. Karena Ibu selalu benar di mataku.
Hari-hari tanpa sosok Ayah memang tidaklah mudah. Namun, Ibu berdiri paling tangguh mengajarkan pada kami agar sanggup berdikari. Kami melanjutkan kehidupan seperti biasa, ibu tetap bekerja sambil berdagang.
Begitupun kami, sekolah sambil berdagang. Lalu bekerja, melanjutkan kuliah dan masih sambil berdagang pula.
Masih teringat ketika, Ibu bertekad menyekolahkan adik agar menjadi seorang perawat, beliau bahkan rela sepulang bekerja, harus kerja lagi di klinik salah seorang temannya hingga pulang larut malam.
"Salah satu dari kalian harus mengerti ilmu kesehatan, agar bisa membantu keluarga yang lain saat sakit. Ingatkan ... dulu waktu Ayah sakit, biaya berobat sangat mahal? Jadi nanti kalian harus saling tolong menolong," terangnya. "Ibu bukan orang tua yang kaya raya, jadi bisanya membekali kalian dengan ilmu. Sekolahlah dengan baik dan jadilah anak sholehah yang berguna," tambahnya.
Hingga kami semua telah berkeluarga ajaran Ibu, kami turunkan kembali ke cucu-cucunya. Belajar interpreuner sejak kecil, menjaga tali silaturahmi antar saudara dan jangan pernah tidak mengakui saudara yang miskin.
"Menjadi kaya adalah takdir. Kesabaran dan keikhlasan adalah ketrampilan yang harus dipelajari. Belajar, bekerja dan beribadah adalah kewajiban." Motto hidup beliau.