TITISAN Â MALAIKAT
Penulis : Ana.
_______
IBU menatap lurus ke depan sejak tadi. Ambulance berjalan dengan kecepatan tinggi. Membelah malam dingin, yang dipenuhi puing pertanyaan.
9 Desember ... itulah hari terakhir kami tak lagi memiliki seorang AYAH.
"Kita semua akan baik-baik saja." Di antara tetes air mata yang tertahan, Ibu mengubah setiap kesedihan menjadi semangat juang.
***
"Sebelum berangkat sekolah, bawa ini sekalian. Warung Tante Sofi sudah buka dari pagi," ucap Ibu sembari merapikan dagangan es lilin dalam sebuah box es.
"Ya, Bu," sahut kami berdua.
Aku dan kakakku termasuk anak yang beruntung karena dilahirkan oleh seorang wanita yang berkeperibadian kuat, pendiam, , sederhana, pintar dan sabar.
Beliau adalah seorang ibu yang konsisten dengan rencana dan tanggung jawabnya bagi masa depan kami. Tanpa banyak bicara yang terkesan menasehati, Ibu selalu mempraktekkan dengan tingkah laku keseharian. Apa yang harus kami lakukan dan apa yang tidak perlu kami kerjakan.
Bagi kami Ibu adalah malaikat yang Tuhan hadirkan dalam keluarga. Sosoknya selayak sumur yang terus menerus mengeluarkan air bagi penghidupan. Darinya aku belajar banyak. Tentang arti kata sabar yang berarti ikhlas tanpa air mata. Tekun berusaha dan tidak lupa beribadah adalah juga bagian dari mengisi perjalanan hidup, begitu ucapan beliau.
Jika ada yang bertanya arti seorang Ibu, maka IBU adalah  separuh nyawa bagiku.
Setiap hari sebelum berangkat sekolah kami selalu membawa dagangan untuk dititip ke beberapa warung tetangga. Pulang sekolahnya baru kami mengambil uang hasil jualan kami, dan biasanya di malam hari sepulang mengaji dari masjid raya, kami membantu ibu membuat es lilin untuk dagangan esok hari.
Semua pekerjaan itu membuat  kami belajar banyak. Bahwa mencari rizki yang berkah salah satunya adalah jangan lupa berbagi. Ajaran beliau yang satu ini membuat kami mengenal banyak jalan menuju Roma, banyak cara mencari rizki yang berkah.
Ibu adalah juga seorang pegawai kecil di salah satu instansi pemerintah saat itu. Kami hidup sederhana bersama seorang Ayah yang sakit-sakitan. Namun, tak pernah sekalipun kulihat Ibu meneteskan airmata.
Saat-saat senggang banyak yang beliau ajarkan pada kami, berhubung dikaruniai anak dengan gender perempuan semua, maka beliau banyak mengajarkan pada kami beberapa resep masakan dan kue.
"Memasak itu hukumnya wajib bagi perempuan. Selain buat menghidangkan masakan yang baik dan sehat bagi keluarga, ketrampilan memasak pun dapat dijadikan ladang mencari uang."
Ucapan beliau ini kami ikuti. Kebetulan sekali akhirnya aku dan kakakku menjadi pandai membuat camilan sejak di usia sekolah menengah atas. Bahkan tak jarang pagi-pagi buta kami bangun, hanya untuk membuat beberapa jenis kue yang kemudian dijual di kelas sebelum jam pelajaran sekolah dimulai. Hasilnya lumayan juga buat tambah uang jajan dan bantu membayar keperluan biaya sekolah.
IBU adalah sosok paling inspiratif buat kami. Guru yang secara langsung mengajarkan praktek bagaimana cara menjalani kehidupan sebagai orang yang serba kekurangan.
Kehidupan sekolah, bekerja sekaligus sambil berdagang seperti sengaja diajarkan pada kami, anak-anaknya, agar siap menghadapi segala hal di masa mendatang.
Enam belas tahun sakit keras, mengantarkan Ayah pada titik di mana kami harus mengikhlaskan Beliau menghadap Illahi.
"Anak kita masih kecil-kecil," ucap Ayah pada Ibu. Dengan beragam selang dan kabel yang melekat di tubuhnya.
Aku hanya menguping dari balik gorden UGD sebuah rumah sakit. Tidak kupungkiri, saat itu aku merasa takut dengan predikat sebagai anak yatim yang akan kami sandang. Kami masih kecil-kecil, Â sedang kehidupan kami tidak berkecukupan. Saudara-saudara entah di mana, ada tapi seperti tak ada. Memiliki keluarga. Namun seolah sebatang kara.
"Ada aku, Pa. Soal anak-anak tenang aja," jawab ibu tegar.
"Meskipun sulit. Tapi, kita wajib ikhtiar mengobati orang sakit, sampai Allah yang memutuskan untuk berhenti," ucap Ibu pada kami. Padahal saat itu untuk makan saja kami begitu sulit. Di tambah harus membayar biaya pengobatan Ayah.
Itulah kehebatan Beliau di mata kami. Keyakinannya akan kuasa Tuhan begitu kuat. Semua beliau kerjakan dengan penuh kejujuran. Amanah dari suaminya tak ada satupun yang ia lalaikan. Bahkan Beliau memilih tetap hidup sendiri bersama anak-anaknya sepeninggal Ayah.
"Seorang wanita bisa menjadi ayah dan ibu bagi anak-anaknya. Tapi, lain halnya dengan seorang laki-laki." Begitu ucapannya. Jujur aku sangat membenarkan ucapan beliau. Karena Ibu selalu benar di mataku.
Hari-hari tanpa sosok Ayah memang tidaklah mudah. Namun, Ibu berdiri paling tangguh mengajarkan pada kami agar sanggup berdikari. Kami melanjutkan kehidupan seperti biasa, ibu tetap bekerja sambil berdagang.
Begitupun kami, sekolah sambil berdagang. Lalu bekerja, melanjutkan kuliah dan masih sambil berdagang pula.
Masih teringat ketika, Ibu bertekad menyekolahkan adik agar menjadi seorang perawat, beliau bahkan rela sepulang bekerja, harus kerja lagi di klinik salah seorang temannya hingga pulang larut malam.
"Salah satu dari kalian harus mengerti ilmu kesehatan, agar bisa membantu keluarga yang lain saat sakit. Ingatkan ... dulu waktu Ayah sakit, biaya berobat sangat mahal? Jadi nanti kalian harus saling tolong menolong," terangnya. "Ibu bukan orang tua yang kaya raya, jadi bisanya membekali kalian dengan ilmu. Sekolahlah dengan baik dan jadilah anak sholehah yang berguna," tambahnya.
Hingga kami semua telah berkeluarga ajaran Ibu, kami turunkan kembali ke cucu-cucunya. Belajar interpreuner sejak kecil, menjaga tali silaturahmi antar saudara dan jangan pernah tidak mengakui saudara yang miskin.
"Menjadi kaya adalah takdir. Kesabaran dan keikhlasan adalah ketrampilan yang harus dipelajari. Belajar, bekerja dan beribadah adalah kewajiban." Motto hidup beliau.
IBU ... 'tak ada kalimat yang terbaik untukmu selain doa kami, agar Allah menempatkanmu sebagai pewaris surga-Nya, suatu saat nanti.
Fin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H