Di samping aku sendiri masih sekolah kelas tiga SMA, aku juga tidak punya tempat tinggal, selain rumah warisan dari orang tua kami.
Sayangnya, aku harus mengalah. Ketimbang terus hidup bersama seorang kakak kandung yang pemabuk dan hobi berjudi.
Malam merayap menuju pukul 22.30 WIB dan aku berada di antara hidup dan mati. Dengan luka-luka dan memar sehabis dipukul oleh Bang Oji, kuterabas pekat malam. Berjalan terseok, seolah luruh semua harapku pada hidup ini.
Kemana aku harus rebahkan segala penat. Sedang di hidup ini kepemilikanku hanya kosong. Tubuh dengan tulang tanpa taring apalagi kekayaan.
Ingatanku hanya tertuju pada gudang koran tempat aku biasa ambil loperan pelanggan. Bang Reno? Ya ... dia pasti bisa membantuku.
Keyakinan itu datang entah darimana. Dengan sisa receh kularikan semua harap menuju gudang surat kabar milik Bang Reno.
Lumayan jauh dari tempatku berada saat ini. Aku harus naik KOPAJA 27 menuju stasiun senen. Alhamdulillah sesampai di sana, kulihat Bang Reno masih nongkrong, sibuk bagi komisi anak buahnya.
"Malam Bang," sapaku pada Bang Reno.
"Eh ada Lu, Kim? Malam amat, ada apa, nih?"
"Euuhh ... gini, Bang ... gua ...."
"Sebentar ...," potong Bang Reno. Pria itu menyelesaikan pembayarannya pada seseorang. "Sini duduk." ajak Bang Reno.
Aku duduk di atas sebuah tumpukan kayu palet berbentuk box, yang biasa di pakai orang untuk menyimpan dagangan.