Mohon tunggu...
HIJRASIL
HIJRASIL Mohon Tunggu... Administrasi - pemula

menjadi manusia seutuhnya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

RUU Sapu Jagad dan Fleksibilisasi Pasar Kerja Indonesia

6 Mei 2020   17:58 Diperbarui: 6 Mei 2020   17:59 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Dunia ketenagakerjaan dalam dekade belakangan ini mendapat perhatian dari berbagai kalangan tak terkecuali para buruh. RUU Omnibus Law (sapu jagad) adalah salah satu pemantik kenapa para buruh diseluruh indonesia lewat serikat-serikat buruh bereaksi memprotes rencana kebijakan pemerintah yang dibuat bagi para buruh, RUU ini terkesan diskriminatif, sarat kepentingan dan tidak melindungi para pekerja.

RUU sapu jagad ini pun kini telah diserahkan naskah akademisnya ke tangan DPR, kini harapan para pekerja di seantero Indonesia bergantung kepada lembaga perwakilan rakyat ini. Dalam tulisan ini penulis ingin mengajak kepada pembaca melihat secara kritis dan jernih bila RUU ini disahkan DPR.

Proses demokratisasi dan liberalisasi ekonomi Indonesia dan ditambah dengan kepentingan globalisasi telah mensaratkan liberalisasi pada setiap lini ekonomi terutama pasar kerja Indonesia, semua ini berkelindan dengan permintaan pasar yang berbau proses maksimalisasi keuntungan. Fleksibilisasi pasar kerja adalah syarat dari semua itu.

Tekanan yang kuat dari berbagai corporasi berskala nasional dan multinasional akan perlunya fleksibilatas pasar kerja rupanya membuat pemerintah harus ikut dalam arus pusaran pasar global. Konsep pasar kerja fleksibel sebenarnya diciptakan oleh Bank  Dunia yang didasari oleh kondisi perekonomian global yang semakin kompetitif dan liberal.

Proses fleksibilisasi pasar kerja sebenarnya sudah lama berlangsung di Indonesia hingga saat ini, fleksibilitas kerja ini masuk dalam ruang sistem outsourcing dan kontrak, dimana sistem ini lazim dipraktikan perusahaan-perusahaan swasta maupun BUMN. Praktik lama ini rupanya melanggengkan konflik dalam hubungan idustrial atau konflik antara para kaum pekerja dengan perusahaan, dari konflik dalam tubuh organisasi perusahaan ini ikut merembet pada pemerintah sebagai pengadil antara keduanya.

Konflik ini lahir sebagai akibat tuntutan pekerja untuk diangkat sebagai pekerja tetap dalam perusahaan, namun semuanya itu rupanya tidak tercover dalam sistem outsurcing dan sistem kontrak yang selama ini dipraktekan perusahaan. Secara iklim kerja dua sistem ini dirasa belum ramah bagi masa depan pekerja karena suatu waktu dapat dilepas ke perusahaan lain atau pun diberhentikan baik sebelum masa kontrak selesai. Telah banyak konflik yang terjadi disebabkan dua sistem ini yang dirasa tidak ramah bagi para pekerja salah satunya dalam pemberian pesangon bagi pekerja yang di PHK atau dirumahkan.

Dengan dalih perkembangan ekonomi yang suatu waktu berubah-ubah dan efesiensi kerja, narasi ini menjadikan kelas pekerja semakin tersubordinasi oleh kekuatan corporasi. Fleksibilatas kerja akan selalu dipraktikan dan para pekerja hidup dalam sebuah ketidak pastian. Dengan Demikian konflik industrial pun akan terus langgeng. Anomali perilaku organisasi dilingkungan perusahan akan menjadi buruk bila mana pemerintah sebagai pengadil tidak bisa memberikan keadilan bagi kalangan pekerja.

bila mana kebijakan pemerintah hanya berpihak pada modal sebagaimana teori Keynesian tentang pentingnya modal atau investasi tentu kehidupan kelas pekerja akan tercerabut. Modal akan mendapat tempat pertama di negeri ini.

 Pentingnya fleksibilisasi Pasar Kerja

Sebagai manifestasi liberalisasi di bidang ekonomi fleksibiltas pasar kerja adalah salah satu mata rantai dari perekonomian liberal, fleksibilitas kerja dianggap subtitusi dari sistem kerja yang kaku yang selama ini menjadi momok bagi Industri dalam negeri. Menurut Nugroho & Tjandraningsih dalam Tjandraningsih (2013) Fleksibilisasi pasar kerja diperlukan untuk menggantikan pasar kerja yang terlalu kaku yang ditandai oleh intervensi pemerintah dalam perlindungan pekerja yang membuat biaya tenaga kerja menjadi tidak fleksibel karena jumlah dan jenis pekerja yang digunakan tidak dapat menyesuaikan fluktuasi tekanan persaingan dalam pasar komoditas.

Manifestasi fleksebilas kerja tersebut di atas tentu saja memiliki latar belakang relasi ekonomi, bila melihat satistik ekonomi indonesia beberapa dekade tahun terakhir ini, Pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh Internasional dilihat memiliki prospek jangka panjang yang baik, ini dasari data PDB indonesia setelah krisis keuangan tahun 1998, ekonomi Indonesia mengalami pemulihan dimulai sejak tahun 2000 -2004 dengan tingkat rata-rata pertumbuhan 4,6% sampai puncaknya di tahun 2011, PDB indonesia mencapai 6,5% kemudian turun sampai 5.0% sampai di tahun 2014.

Pencapaian ini ternyata dianggap oleh Internasional sebagai kemajuan ekonomi Indonesia dengan menjadi negara dengan perekonomian terbesar di wilayah Asia Tenggara sejak tahun 2000an. Selain itu meskipun di tahun 2009 PDB indonesia hanya tumbuh 4.6% dianggap menjadi salah satu yang terbaik diseluruh dunia dan memiliki peringkat tertinggi ketiga di antara negara-negara dengan perekonomian besar yang tergabung di dalam grup G-20 (baca laporan tahunan Bank Dunia) .

Bahkan Pada tahun 2010, Bank Dunia melaporkan bahwa karena suburnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, setiap tahunnya sekitar 7 juta penduduk Indonesia masuk dalam kelas menengah negara ini. Di 2012, jumlah penduduk kelas menengah Indonesia mencapai sekitar 75 juta orang (dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 240 juta orang) dan perusahaan penelitian seperti Boston Consulting Group (BCG) dan McKinsey menyatakan bahwa kelompok kelas menengah ini akan bertambah kira-kira dua kali lipat pada tahun 2020-2030.

Meskipun pertumbuhan penduduk kelas menengah telah berkurang karena perlambatan perekonomian negara ini yang terjadi setelah 2011, Indonesia memiliki kekuatan konsumen yang mendorong perekonomian dan telah secara signifikan memicu pertumbuhan investasi domestik dan asing sejak 2010.

Demikian proyeksi tersebut di atas oleh lembaga dunia, secara tidak langsung memberikan gambaran kepada kita bahwa potensi perekonomian Indonesia begitu besar, tak lain didorong kinerja ekonomi dan bonus demografi dengan tingkat kerja usia produktif lebih banyak yang akan memunculkan kelas-kelas menengah baru yang tak lain adalah kelas pekerja di sektor formal itu sendiri.

Setali tiga uang, Ekonom seperti Faisal Basri pun mengemukakan bahwa yang paling menjadi daya tarik para investor untuk datang dan menanamkan modalnya di Indonesia adalah dengan melihat potensi Indonesia dalam jangka menengah dan jangka panjang. Indonesia sedang berada dalam fase demographic bonus atau demographic dividend, yaitu jumlah proporsi penduduk usia kerja yang terbesar dan mencapai puncaknya pada tahun 2030.

Jumlah tenaga kerja produktif yang tersedia relatif besar, sehingga diharapkan akan mampu menjadi motor penggerak perekonomian nasional. Kelompok usia produktif ini juga diyakini akan memiliki tingkat produktifitas yang tinggi, tingkat konsumsi yang tinggi dan memiliki potensi tabungan yang juga tinggi. Dengan terus melihat pergerakan generasi tersebut maka diyakini strata menengah-atas akan mendominasi perekonomian Indonesia pada tahun 2025. Inilah yang kemudian menjadi alasan Indonesia memiliki potensi ekonomi yang sangat baik di masa yang akan datang (Risza, 2013 hal 68).

Menjaga Modal

Melihat potensi ekonomi Indonesia dalam jangka pendek maupun jangka panjang membangkitkan rasa optimisme bagi pemerintah Indonesia membumbung tinggi. Untuk menjaga dan meraih optimisme tersebut sterilisi terhadap iklim investasi baik disektor ekonomi maupun politik dilakukan, semuanya agar arus modal yang masuk ke dalam negeri tetap terjaga. Untuk menjaga arus modal tentu saja pemerintah mempunyai harapan atau tujuan yang tinggi dari aktivitas modal atau investasi.

Secara perspektif makro ekonomi ada beberapa tujuan yang ingin diperoleh pemerintah. Samuelson dan Nordhaus (1986, hal 102) ada empat bidang pokok yang harus diperhatikan agar permasalahan makro ekonomi terjamin baik yaitu bidang output, penggunaan tenaga kerja, harga dan perdagangan luar negeri. Disini kita hanya akan membahas dua dari empat bidang pokok yang semuanya bertali temali.

 Pertama, output. Yang menjadi tolak ukur terakhir dari suatu keberhasilan ekonomi adalah kemampuan negara menghasilkan output berupa barang/jasa ekonomi dalam jumlah besar serta laju pertumbuhannya yang pesat. Tolak ukur yang dipakai mengukur output suatu negara yaitu Produk Nasional Bruto atau Gross National Produk dan Produk Domestik Bruto atau Gross Domestic Product, namun menyesuaikan dengan kepentingan pembahasan dalam tulisan ini penulis hanya memakai Gross Domestic Produc (GDP) sebagai tolak ukur untuk melihat pertumbuhan ekonomi secara komprehensif. dimana GDP  merupakan seluruh barang jadi yang dihasilkan atau diproduksi oleh seluruh warga masyarakat pada suatu wilaya negara bersangkutan (termasuk produksi warga negara asing di negara tersebut) dalam periode tertentu, Prasetyo (2012, hal 28).

Sebagai dasar tolak ukur kemajuan ekonomi, pengejaran terhadap pertumbuhan ekonomi oleh pemerintah akan semakin masif dengan menggunakan berbagai sumber daya yang dimiliki untuk mengejar pertumbuhan ekonomi sebagai tolak ukur pembangunan ekonomi. Tak pelak ide pembangunan ini akan menjadi pintu masuk bagi arus modal atau investasi asing ke dalam negeri. Meskipun demikian pengejaran terhadap pertumbuhan ekonomi selama ini belum diikuti oleh kesejahteraan para buruh dan masyarakat, distribusi pendapatan yang tidak merata hanya dinikmati oleh segelitir orang sehingga pembangunan ekonomi masih bias terhadap kualitas hidup buruh dan masyarakat.

Kedua,  penggunaan tenaga kerja. Tingkat penggunaan atau partisipasi tenaga kerja yang tinggi adalah lebih sekedar tujuan ekonomi, dengan tingginya tingkat penggunaan tenaga kerja yang tinggi lantas akan diikuti oleh penurunan tingkat pengangguran.

Setiap orang sudah pasti menginginkan mendapat pekerjaan yang baik dengan tingkat gaji atau upah yang tinggi, namun bagaimana bila ekspetasi itu diluar jangkaun mereka. Tentu penderitaan sebagai akibat dari pengangguran yang tidak dikehendaki berakibat pada kesulitan keuangan disetiap rumah tangga, dan berikutnya ketegangan ekonomi yang diikuti oleh korban psikologis, sosial dan kesejahteraan masyarakat (Samuelson dan Nordhaus).

Bahkan dua ekonom kenamaan ini pun mempertanyakan keberadaan eksistensi sistem kapitalisme modern di suatu negara dalam memaksimalkan penggunaan tenaga kerja yang tinggi. Mereka menganalogikan bagaimana bisa terjadi  8 atau 10 juta orang menganggur sementara begitu banyak lapangan pekerjaan tersedia?

Cacat apa sesunggunya yang terdapat pada sistem perekonomian campuran modern yang mampu membuat begitu banyak orang menganggur? Padahal banyak orang ingin dan benar-benar mau bekerja! Mereka pun mempertanyakan apakah masalah ini kaitannya dengan inflasi, menyangkut para pekerja, para penyusun kebijakan atau ahli ekonomi.

Bila kita giring apa yang di analogikan dua ekonom di atas menyangkut konteks tulisan ini sangat relevan dengan situasi buruh atau pekerja formal dewasa ini di Indonesia. Penerapan fleksibilisasi pasar kerja oleh corporasi melalui sistem outsourcing dan kontrak menjadi salah satu variabel terciptanya pengangguran di Indonesia.

RUU Omnibus law (sapu jagad) melindungi kelas pekerja atau Modal!

Melihat situasi atau iklim kerja tersebut bagi kelas pekerja, RUU Cipta Kerja atau sapu jagad merupakan instrumen legalisasi atas Fleksibeliasi pasar kerja, artinya proses liberalisai ini diarahkan untuk mengurangi peran pemerintah dalam pasar dan mengarahkan perekonomian sesuai dengan mekanisme pasar yang berlaku. Seperti yang dipercaya para ekonom Neoklasik. Alhasil bila kenyataan ini terjadi atau RUU cipta Kerja ini disahkan, tentu saja di hari ulang tahun Buruh tanggal 1 Mei 2020 , para buruh mendapat kado buruk bagi iklim kerja di Indonesia.

Terlepas dari berbagai kontroversi tersebut, pemerintah mungkin punya alasan tersendiri kenapa RUU harus dipaksakan hadir, namun kehadiran RUU sapu jagad itu sendiri jangan sampai melahirkan oligarki ekonomi antara para pemodal dengan elektoral.

Bila itu terjadi kelas pekerja akan tercerabut ke dasar kekuatan kapitalisme. Sehingga tidak heran bila Eric Wright dalam (Filc dan Ram, 2014) mengemukakan kalau relasi kelas eksis "ketika hak-hak dan kekuatan-kekuatan dari rakyat atas aset produktif tidak didistribusikan dengan setara ketika beberapa orang memiliki hak-hak/kekuatan lebih besar berkaitan dengan jenis spesifik aset produktif atas lainnya".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun