Kedua, Â penggunaan tenaga kerja. Tingkat penggunaan atau partisipasi tenaga kerja yang tinggi adalah lebih sekedar tujuan ekonomi, dengan tingginya tingkat penggunaan tenaga kerja yang tinggi lantas akan diikuti oleh penurunan tingkat pengangguran.
Setiap orang sudah pasti menginginkan mendapat pekerjaan yang baik dengan tingkat gaji atau upah yang tinggi, namun bagaimana bila ekspetasi itu diluar jangkaun mereka. Tentu penderitaan sebagai akibat dari pengangguran yang tidak dikehendaki berakibat pada kesulitan keuangan disetiap rumah tangga, dan berikutnya ketegangan ekonomi yang diikuti oleh korban psikologis, sosial dan kesejahteraan masyarakat (Samuelson dan Nordhaus).
Bahkan dua ekonom kenamaan ini pun mempertanyakan keberadaan eksistensi sistem kapitalisme modern di suatu negara dalam memaksimalkan penggunaan tenaga kerja yang tinggi. Mereka menganalogikan bagaimana bisa terjadi  8 atau 10 juta orang menganggur sementara begitu banyak lapangan pekerjaan tersedia?
Cacat apa sesunggunya yang terdapat pada sistem perekonomian campuran modern yang mampu membuat begitu banyak orang menganggur? Padahal banyak orang ingin dan benar-benar mau bekerja! Mereka pun mempertanyakan apakah masalah ini kaitannya dengan inflasi, menyangkut para pekerja, para penyusun kebijakan atau ahli ekonomi.
Bila kita giring apa yang di analogikan dua ekonom di atas menyangkut konteks tulisan ini sangat relevan dengan situasi buruh atau pekerja formal dewasa ini di Indonesia. Penerapan fleksibilisasi pasar kerja oleh corporasi melalui sistem outsourcing dan kontrak menjadi salah satu variabel terciptanya pengangguran di Indonesia.
RUU Omnibus law (sapu jagad) melindungi kelas pekerja atau Modal!
Melihat situasi atau iklim kerja tersebut bagi kelas pekerja, RUU Cipta Kerja atau sapu jagad merupakan instrumen legalisasi atas Fleksibeliasi pasar kerja, artinya proses liberalisai ini diarahkan untuk mengurangi peran pemerintah dalam pasar dan mengarahkan perekonomian sesuai dengan mekanisme pasar yang berlaku. Seperti yang dipercaya para ekonom Neoklasik. Alhasil bila kenyataan ini terjadi atau RUU cipta Kerja ini disahkan, tentu saja di hari ulang tahun Buruh tanggal 1 Mei 2020 , para buruh mendapat kado buruk bagi iklim kerja di Indonesia.
Terlepas dari berbagai kontroversi tersebut, pemerintah mungkin punya alasan tersendiri kenapa RUU harus dipaksakan hadir, namun kehadiran RUU sapu jagad itu sendiri jangan sampai melahirkan oligarki ekonomi antara para pemodal dengan elektoral.
Bila itu terjadi kelas pekerja akan tercerabut ke dasar kekuatan kapitalisme. Sehingga tidak heran bila Eric Wright dalam (Filc dan Ram, 2014) mengemukakan kalau relasi kelas eksis "ketika hak-hak dan kekuatan-kekuatan dari rakyat atas aset produktif tidak didistribusikan dengan setara ketika beberapa orang memiliki hak-hak/kekuatan lebih besar berkaitan dengan jenis spesifik aset produktif atas lainnya".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H