Mohon tunggu...
Saiful Huda
Saiful Huda Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Agak cengengesan, tapi kalem kok, kata Ibuku yang sedang mengantuk.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pulpen

6 Januari 2017   09:55 Diperbarui: 6 Januari 2017   09:59 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Panas matahari di atas ubun-ubun kota, saat zuhur, dengan kejam menguras kesejukan dalam tubuh manusia sehingga siapapun tampak uzur. Tak terkecuali Andi, laki-laki kurus yang menyeret langkahnya sejauh seratus duapuluh sembilan meter. Untuk membeli sebatang pulpen.

Oh, kata "membeli" dan "sebatang" tentu akan melukai hatinya. Terutama jika sambil mengingat kejadian semalam. Aku mendatangi kos untuk mengajaknya ngopi sebagaimana biasa. Tapi keadaan kamarnya tak biasa. Kau akan langsung menyadarinya begitu membuka pintu. Ruangan itu begitu murung. Hanya berpenerangan lampu belajar yang redup. Buku-bukunya berserakan di pojok dan laki-laki itu, laki-laki berumur 23 yang melankolis dan jomblo itu, tengah terpekur di mejanya.

Di meja hanya ada lampu kecil dan secarik kertas polos, dan sebatang pulpen tergetak di atasnya. Seperti siap dikafani. Tentunya itu lebih tepat dikatakan membungkus, andai pemuda di depannya yang duduk terpekur (wajahnya amat menyedihkan. Sungguh. Dan perasaannya tampak terpukul) semacam seorang peziarah berkabung. Wajahnya separung terang separuh terlindung. Agak 

"Dua bulan, duapuluh hari, sebelas jam lewat beberapa menit. Itu umurnya." Ia menjelaskan tanpa diminta. Pelan dan berat.

"Umur--pulpen? Sebatang pulpen?"

"Seorang Pulpen," katanya meralat. Aku merasa ganjil. Tentu ganjil. "Namanya Sasa. Dia telah menghadiahiku tujuh cerita pendek dan sembilan puisi. Kami melewati masa-masa hebat. Dia mengharukan."

Sasa? Mengharukan? Bahkan itu lebih terdengar seperti nama tarian dan, soal yang mengharukan, bukankah laptop milikku yang terkena efek samping untuknya mengetik naskah hingga diinapkan di Rumah Reparasi Barang-Barang Elektronik selama sepekan itu lebih mengharukan (dan menjengkelkan)?

Tapi saat-saat seperti ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat.

Aku menepi ke beranda, mengeluarkan rokok dan menyulutnya.

Namanya Andi Wijaya. Pulpen adalah teman seperjuangan, begitu ia pernah katakan. Kertas adalah kota. Tulisan adalah kehidupan. Kau tahu kenapa Tuhan bersumpah atas nama pena? Ia  pernah bertanya padaku, suatu malam, ketika ngopi di warung Bu Yatmi. Dan setengah berkisah setengah membual, inilah yang kemudian kudengar: Setiap pagi aku membayangkan ada seribu limaratus kurcaci menyebar di trotoar lalu membagi-bagikan kisah untuk bahan para pengarang. Di antara deret cemara aku berjalan. Dan temanku, Sasa (pasti Si Pulpen, maksudnya), menyembul dari balik saku. Dengan pelan aku tanyakan padanya, 'Apa yang kau pikirkan? Ada sebuah cerita yang bisa kita bangun?' lalu ia dengan antusias mengangguk. 'Baiklah,' sahutku mantap. (Aku hampir tidak bisa menahan tawa, tapi raut mukanya serius. Aku harus menghargai teman sendiri. Kegilaannya sekalipun.) Tigapuluh menit kami, aku dan Sasa, lewati dengan membuat sebuah puisi. Itu puisi yang amat menyentuh. Aku berjanji akan membukukannya suatu saat. Lalu aku peluk Sasa dan kertas di mana baru saja kami bangun suatu kehidupan di atasnya. Sasa tersenyum. Yang tidak dimiliki orang-orang sekarang adalah hubungan yang baik dengan pulpen dan kertas buku. (Ia menoleh kepadaku sehingga aku teringat tentang bukunya yang kupinjam dan kulepas beberapa halamannya untuk contekan ulangan). Dan lagi, kapan terakhir kali kau menimbang berat buku di atas perutmu saat terbaring di atas teras? Sambil menghirup harum daun sehabis hujan, itu pasti mengharukan.

Itu pasti mengharukan, ulangnya.

Err, Andi, sebetulnya apa hubungan antara perut dan sumpah Tuhan atas nama pena?

*

Aku merima pesan dari Andi. Serius sekali. "Sasa sekarat, tak bisa ditolong. Aku coba membantu detak jantungnya dengan mencoretkannya banyak-banyak ke kertas kosong tapi nihil. Hanya sesekali masih ada tinta tapi kabur dan--ya Tuhan."

Kubalas: "Nanti malam aku ke situ. Ikut bersedih." Aku pun tertawa.

*

Aku mengeluarkan rokok lagi. Dan menyulutnya.

Sambil aku membayangkan perjalanan sedih (atau lucu?) tentang Andi dan Sasa--seorang pulpen, aku melihat ke dalam ruangan. Andi tampak mengetik sesuatu di laptopku. Kalau boleh aku menduga, itu mungkin tulisan berjudul Ode untuk Pulpen, atau mungkin juga Catatan Obituari tentang Sasa, Si Pulpen Setia.

Ia tampak menghela nafas berat. Termenung. Dan itu membuatku mengingat lagi catatan kecilku. Sebelum punya HP, tentunya. Dan aku lupa kapan terakhir kali aku menggambari catatan kecilku saat bosan dengan kuliah. Menggurat beberapa kata dan memandangi bentuk dan kerapian tulisan tangan. Mengirim kumpulan puisi (jika memang pantas dikatakan begitu) tulisan tangan untuk Najma, kekasihku. Sudah lama, ternyata.

*

Selesai salat zuhur, aku melihat Andi berjalan sendirian. Menyeret langkahnya di bawah cengkeraman panas matahari.

Tadi ia mengirim sms: "Aku mau menjemput Vara." Aku balas: "Hah, siapa Vara?" "Itu nama calon pulpen baruku." "Kau mau beli pulpen?" "Membeli?" "Eh, maaf, mau menjemput pulpen barumu?" "Iya. Mau ikut?" "Ah, aku sedang berada di luar, menyusun makalah. Besok presentasi. Titip kopi ya." "Oh baiklah."

Aku bergegas menutup jendela kamar. 

_

6 Januari 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun