Panas matahari di atas ubun-ubun kota, saat zuhur, dengan kejam menguras kesejukan dalam tubuh manusia sehingga siapapun tampak uzur. Tak terkecuali Andi, laki-laki kurus yang menyeret langkahnya sejauh seratus duapuluh sembilan meter. Untuk membeli sebatang pulpen.
Oh, kata "membeli" dan "sebatang" tentu akan melukai hatinya. Terutama jika sambil mengingat kejadian semalam. Aku mendatangi kos untuk mengajaknya ngopi sebagaimana biasa. Tapi keadaan kamarnya tak biasa. Kau akan langsung menyadarinya begitu membuka pintu. Ruangan itu begitu murung. Hanya berpenerangan lampu belajar yang redup. Buku-bukunya berserakan di pojok dan laki-laki itu, laki-laki berumur 23 yang melankolis dan jomblo itu, tengah terpekur di mejanya.
Di meja hanya ada lampu kecil dan secarik kertas polos, dan sebatang pulpen tergetak di atasnya. Seperti siap dikafani. Tentunya itu lebih tepat dikatakan membungkus, andai pemuda di depannya yang duduk terpekur (wajahnya amat menyedihkan. Sungguh. Dan perasaannya tampak terpukul) semacam seorang peziarah berkabung. Wajahnya separung terang separuh terlindung. AgakÂ
"Dua bulan, duapuluh hari, sebelas jam lewat beberapa menit. Itu umurnya." Ia menjelaskan tanpa diminta. Pelan dan berat.
"Umur--pulpen? Sebatang pulpen?"
"Seorang Pulpen," katanya meralat. Aku merasa ganjil. Tentu ganjil. "Namanya Sasa. Dia telah menghadiahiku tujuh cerita pendek dan sembilan puisi. Kami melewati masa-masa hebat. Dia mengharukan."
Sasa? Mengharukan? Bahkan itu lebih terdengar seperti nama tarian dan, soal yang mengharukan, bukankah laptop milikku yang terkena efek samping untuknya mengetik naskah hingga diinapkan di Rumah Reparasi Barang-Barang Elektronik selama sepekan itu lebih mengharukan (dan menjengkelkan)?
Tapi saat-saat seperti ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat.
Aku menepi ke beranda, mengeluarkan rokok dan menyulutnya.
Namanya Andi Wijaya. Pulpen adalah teman seperjuangan, begitu ia pernah katakan. Kertas adalah kota. Tulisan adalah kehidupan. Kau tahu kenapa Tuhan bersumpah atas nama pena? Ia  pernah bertanya padaku, suatu malam, ketika ngopi di warung Bu Yatmi. Dan setengah berkisah setengah membual, inilah yang kemudian kudengar: Setiap pagi aku membayangkan ada seribu limaratus kurcaci menyebar di trotoar lalu membagi-bagikan kisah untuk bahan para pengarang. Di antara deret cemara aku berjalan. Dan temanku, Sasa (pasti Si Pulpen, maksudnya), menyembul dari balik saku. Dengan pelan aku tanyakan padanya, 'Apa yang kau pikirkan? Ada sebuah cerita yang bisa kita bangun?' lalu ia dengan antusias mengangguk. 'Baiklah,' sahutku mantap. (Aku hampir tidak bisa menahan tawa, tapi raut mukanya serius. Aku harus menghargai teman sendiri. Kegilaannya sekalipun.) Tigapuluh menit kami, aku dan Sasa, lewati dengan membuat sebuah puisi. Itu puisi yang amat menyentuh. Aku berjanji akan membukukannya suatu saat. Lalu aku peluk Sasa dan kertas di mana baru saja kami bangun suatu kehidupan di atasnya. Sasa tersenyum. Yang tidak dimiliki orang-orang sekarang adalah hubungan yang baik dengan pulpen dan kertas buku. (Ia menoleh kepadaku sehingga aku teringat tentang bukunya yang kupinjam dan kulepas beberapa halamannya untuk contekan ulangan). Dan lagi, kapan terakhir kali kau menimbang berat buku di atas perutmu saat terbaring di atas teras? Sambil menghirup harum daun sehabis hujan, itu pasti mengharukan.
Itu pasti mengharukan, ulangnya.